9 dari 10 Korban Kekerasan Seksual di Indonesia Belum Dilindungi Negara

20 Februari 2025 19:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Kondisi penanganan kekerasan seksual di Indonesia dianggap masih belum memadai, bahkan setelah memasuki 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming. Sementara, menurut data, 9 dari 10 perempuan korban kekerasan masih belum dilindungi negara.
ADVERTISEMENT
Temuan ini disampaikan di media briefing oleh Konsorsium Percepatan dan Penguatan Advokasi dan Implementasi Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (ASAP!) pada Kamis (13/2) lalu di Cikini, Jakarta Pusat. Menurut konsorsium, hingga saat ini negara belum menunjukkan keberpihakan pada korban kekerasan seksual.
Hal ini terungkap dari data SIMFONI milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yang diolah oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Menurut data tersebut, pada 2023, terdapat peningkatan kasus kekerasan seksual yang mencapai 13.156 kasus.
Media briefing Konsorsium ASAP! di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (13/2/2025). Foto: Judith Aura/kumparan
Sementara itu, persentase korban yang mendapatkan perlindungan tertinggi hanya mencapai 8 persen. Konsorsium ASAP! menekankan, ada lebih dari 90 persen korban kekerasan seksual yang masih belum mendapatkan penanganan dan pemulihan komprehensif yang sesuai dengan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
ADVERTISEMENT
Salah satu yang disorot oleh Konsorsium ASAP! adalah banyaknya korban kekerasan seksual yang hak restitusinya tidak terpenuhi. Sementara, hak restitusi dan/atau kompensasi bagi korban kekerasan seksual tercantum dalam Pasal 70 ayat (1) UU TPKS.
“Kami menyesali adanya kasus-kasus kekerasan seksual yang selalu meningkat tiap tahunnya, tapi keberpihakan negara terhadap korban nihil. Hal ini diperburuk dengan kebijakan efisiensi anggaran di 100 hari pemerintahan baru. Karena ironisnya, hampir 90 persen korban kekerasan seksual masih belum mendapatkan penanganan penuh dan hak atas pemulihan yang komprehensif dari negara, sebagaimana amanat Pasal 70 ayat (1) UU TPKS, termasuk kompensasi,” ucap Project Manager ICJR, Ajeng Gandini.
Ilustrasi perlawanan pada kekerasan terhadap perempuan. Foto: Shutterstock
Konsorsium ASAP! merupakan pergerakan yang beranggotakan Forum Pengada Layanan (FPL), ICJR, Perempuan Mahardhika (PM), dan Yayasan Humanis. Lewat konsorsium ini, organisasi-organisasi tersebut mendesak agar implementasi UU TPKS bisa dilakukan secara baik, sehingga penanganan kekerasan seksual dan perlindungan korban bisa dilaksanakan secara maksimal.
ADVERTISEMENT
Mereka pun menuntut tiga agenda prioritas sesuai amanat UU TPKS kepada negara. Pertama, Konsorsium ASAP! mendorong negara agar berpihak pada korban kekerasan seksual dan menjamin perlindungan perempuan dan anak.
Kedua, Konsorsium ASAP! mendesak agar negara menghadirkan infrastruktur yang aman dan ramah perempuan, demi mencegah terjadinya kekerasan seksual di ruang publik.
Ilustrasi perempuan jadi korban kekerasan seksual siber berbasis gender. Foto: aslysun/Shuttterstock
“Kami menuntut negara memastikan adanya infrastruktur, seperti transportasi publik atau ruang publik yang ramah dan aman untuk perempuan dan kelompok disabilitas, serta mendorong pemanfaatan anggaran negara prioritas untuk menghadirkan sarana dan prasarana yang layak tanpa terkecuali dalam upaya pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban kekerasan seksual,” tegas Konsorsium ASAP!
Terakhir, mereka juga menuntut agar perempuan pembela HAM mendapatkan perlindungan dari negara. Sebab, saat ini, masih banyak pendamping korban kekerasan yang dikriminalisasi, salah satunya lewat pasal karet dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
ADVERTISEMENT