Alasan Keterwakilan Perempuan di Politik Tak Penuhi Target Afirmasi 30%

27 Januari 2024 19:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Keterwakilan perempuan dalam politik. Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Keterwakilan perempuan dalam politik. Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Keterwakilan perempuan dalam pemilu harus mencapai 30 persen di setiap dapil. Namun sayangnya target ini tak juga terpenuhi di pemilu 2024 kali ini. Padahal sesuai dengan peraturan yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28H Ayat 2, perempuan mendapatkan perlakuan khusus melalui kebijakan afirmasi untuk mendukung partisipasinya dalam politik.
ADVERTISEMENT
Data terbaru KPU menyebutkan bahwa dari total 9917 caleg saat ini terdapat 3676 caleg perempuan, yang artinya komposisinya sudah mencapai 37,07 persen. Sayangnya, ini hanyalah komposisi secara nasional yang meliputi seluruh dapil, yang artinya masih banyak partai politik yang tidak memenuhi syarat keterwakilan perempuan.
Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan bahwa dapil yang tidak mencapai target afirmasi untuk keterwakilan perempuan adalah bentuk pelanggaran atas Pasal 245 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Hal ini terjadi karena KPU yang memberlakukan aturan yang menyimpang dari ketentuan UU Pemilu. Tindakan KPU yang melanggar undang-undang tersebut sudah terbukti dan diputus Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 24 P/HUM/2023,” tutur Titi kepada kumparan, Sabtu (27/1).
Keterwakilan perempuan dalam politik. Foto: kumparan
Sementara itu Komisioner Komnas Perempuan, Olivia Chadidjah Salampessy, mengatakan bahwa fenomena ini sekaligus menjadi bukti bahwa kiprah perempuan dalam politik masih memiliki banyak hambatan dari aspek sosial dan budaya baik di tingkatan internal hingga masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
“Masih terdapat intimidasi, pencurian suara, penyerangan seksual, pemecatan terhadap caleg perempuan terpilih, dan penolakan karena jenis kelamin perempuan,” ungkap Olivia saat dihubungi kumparanWOMAN, Jumat (27/1).
Kurangnya keterwakilan perempuan di politik juga sering kali terjadi karena elit partai politik menganggap kebijakan afirmasi kuota 30 persen perempuan merupakan sebuah beban. Perempuan dianggap tidak mampu mengemban tugas besar di dunia politik.
“Elit partai politik banyak yang berpandangan bahwa perempuan kurang punya daya kompetisi yang sama kompetitifnya dengan caleg laki-laki. Akhirnya karena stigma bahwa perempuan kurang all out atau maksimal dalam bekerja untuk pemenangan pemilu, maka partai politik lebih suka untuk mencalonkan laki-laki,” imbuh Titi.
Keterwakilan perempuan dalam politik. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Perempuan sering kali melakukan praktik politik etis dan bersih. Mereka cenderung menolak melakukan kecurangan atau pelanggaran pemilu. Sayangnya, praktik ini justru membuat partai beranggapan bahwa caleg perempuan kurang bekerja optimal dalam pemenangan pemilu.
ADVERTISEMENT
Padahal pemilu yang berlangsung secara demokratis diharapkan dapat menjadi sarana penting untuk mewujudkan kesetaraan gender. Memastikan semua warga negaranya –tanpa memandang jenis kelamin– memiliki hak yang sama dalam mengakses hak pilih dan dipilih. Sehingga penting untuk memberikan kesempatan dan dukungan bagi perempuan untuk berkiprah di politik agar bisa memberikan peran konkret di masyarakat.
“Kehadiran perempuan di lembaga legislatif akan memberikan dampak positif dalam kaitannya dengan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan untuk menghasilkan kebijakan yang berperspektif hak asasi manusia dan gender,” pungkas Olivia.