Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Alissa Wahid soal Hijab & Kaitannya dengan Kebebasan Perempuan Berekspresi
26 Desember 2021 16:31 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Sejak lama, anak-anak perempuan presiden keempat Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengenakan hijab dengan gaya yang khas. Mereka memilih selendang untuk dijadikan sebagai penutup kepala. Gaya berhijab seperti ini juga dipopulerkan oleh tokoh Islam perempuan dunia seperti Benazir Bhutto yang juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Pakistan.
ADVERTISEMENT
Tapi menurut Alissa Wahid, anak pertama Gus Dur, gaya hijab ini sudah dipakai turun temurun dari nenek dan ibunya.
"Cara saya berkerudung adalah untuk menghormati beliau (Nyai Hj. Sholichah Wahid) dan ibunda saya. KZL kalau ada yg menghinanya kurang islami. Lha bu nyai Solichah itu dibimbing langsung oleh 4 ulama besar: KH Hasyim Asy'ari, KH Bisri Syansuri, KH Wahab Hasbullah, dan suaminy: KH Wahid Hasyim. Kurang islami piye," tulis Alissa Wahid di akun Instagram pribadinya.
Sering kali gaya hijab Alissa ini mendapat komentar kurang menyenangkan. Banyak yang menganggap hijabnya kurang Islami karena rambut dan leher masih terlihat. Padahal menurutnya ini hanya masalah persepsi. Alissa Wahid mengatakan kalau sekarang ini banyak sekali tafsiran mengenai hijab.
ADVERTISEMENT
"Kita melihatnya begini, orang bisa mengklaim bahwa yang benar itu hanya yang mereka yakini, jadi mereka menganggap yang lain salah, hanya mereka saja yang benar. Dalam konteks jilbab, ini menurut saya lebih berbahaya. Nyatanya Kiai Haji Hasyim Asyari yang dianggap sebagai Kiai berpengaruh, istri beliau kerudungnya juga begini dan dulu tidak jadi masalah. Nyatanya istri ulama tidak masalah pakai jilbab seperti ini," ungkap Alissa Wahid dalam wawancara She Inspires Award MMMI 2021 bersama kumparanWOMAN.
Menurutnya, saat ini banyak berkembang klaim kebenaran bahwa berjilbab hanya satu jenisnya. Sementara hijab sendiri memiliki tafsiran yang beragam dan menunjukkan spektrum. Bahwa tidak hanya model hijab tertentu saja yang harus diikuti.
"Makanya ketika mulai berkembang klaim kebenaran bahwa berjilbab hanya satu jenisnya, saya langsung terpikir nenek saya Nyai Solichah, perempuan yang sangat hebat. Beliau itu memimpin organisasi NU, anggota DPR, dan politisi P3 cukup lama. Makanya saya memutuskan akan berkerudung sebagaimana para nenek-nenek saya ini berkerudung," jelasnya.
Ini juga jadi cara bagi Alissa untuk membuat perbedaan penafsiran soal hijab di masyarakat tetap ada. Sebab di luar negeri atau negara Islam lainnya, gaya hijab yang diyakini juga sangat beragam.
ADVERTISEMENT
"Kalau kita keluar negeri lebih beragam lagi, banyak Muslimah dari Arab Saudi yang tidak berhijab, atau pakainya dengan cara yang berbeda dan itu sah-sah saja. Itu masalah perkembangan sosial. Tidak apa-apa asal jangan menjadi klaim pembenaran dan tidak saling menyalahkan... Orang memilih untuk berhijab seperti apa yang penting itu adalah pilihan dia," pungkasnya.
Ia juga mengatakan bahwa pemilihan gaya berhijab ini adalah hak perempuan. Hal ini bisa jadi cara perempuan menunjukkan ekspresi diri masing-masing lewat hijab yang dikenakan.
"Intinya, ketika banyak tafsir, perempuan punya hak untuk menentukan pilihan. Jangan kemudian dipaksa-paksa. Bagi saya itu yang lebih penting," tutup Alissa Wahid.