kumplus- Opini Arman Dhani- Ilustrasi KDRT

Apakah Kasus KDRT Harus Ada Saksi untuk Menuntut Pelaku?

23 Mei 2024 15:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi KDRT. Foto: charnsitr/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KDRT. Foto: charnsitr/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Apakah kasus KDRT harus ada saksi untuk menuntut pelaku di pengadilan? Informasi ini menjadi salah satu hal penting yang perlu dipahami oleh setiap korban KDRT jika ingin menempuh jalur hukum.
ADVERTISEMENT
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) pasal 1 angka 26, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
Adapun penjelasan apakah kasus KDRT harus ada saksi saat ingin menuntut pelaku di pengadilan akan dijelaskan lebih lengkap pada uraian berikut ini.

Apakah Kasus KDRT Harus Ada Saksi?

Ilustrasi KDRT. Foto: Africa Studio/Shutterstock
Data laporan kasus KDRT di masyarakat sampai saat ini terus meningkat. Menurut laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, jumlah kasus KDRT yang diinput secara real time per 1 Januari 2024 sudah mencapai 7940 kasus, yang terdiri atas data yang terverifikasi dan data yang belum terverifikasi.
ADVERTISEMENT
Data kasus KDRT di Indonesia ibarat gunung es yang belum bisa menggambarkan keseluruhan dari fenomena KDRT yang terjadi di masyarakat karena masih banyak kasus yang tidak dilaporkan. Selain karena perasaan malu, keengganan melapor pihak berwajib didasari kurangnya pengetahuan tentang hukum untuk menuntut pelaku.
Lalu, apakah kasus KDRT harus ada saksi untuk menuntut pelaku di pengadilan? Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT, setiap kasus KDRT membutuhkan keterangan seorang saksi korban sebagai alat bukti yang sah. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 55, yang menyatakan:
“Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.” Dari pasal tersebut, dapat disimpulkan, bahwa kasus KDRT memerlukan saksi sebagai alat bukti yang sah untuk pembuktian perkara.
ADVERTISEMENT

Keterangan Saksi sebagai Bukti Sah dalam Pasal 55 UU PKDRT

Ilustrasi KDRT. Foto: otnaydur/Shutterstock
Alat bukti didefinisikan sebagai apa saja yang menurut Undang-undang dapat digunakan untuk membuktikan benar atau tidaknya suatu tuduhan. Pada jurnal Alat Bukti yang Sah dalam Pemeriksaan Perkara Fisik Dalam Rumah Tangga di Pengadilan oleh Kardian Ruru, keterangan saksi dikategorikan sebagai alat bukti utama dalam suatu perkara pidana.
Itu tertuang dalam UU nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pasal 1 (27), bahwa, “Keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana berupa keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya.”
Menyadur buku Kedudukan Saksi Korban sebagai Alat Bukti dalam pembuktian Kasus KDRT karya Emei Dwinahati Setiamandani, agar keterangan saksi memiliki nilai yang kuat, ada beberapa ketentuan yang perlu dipenuhi oleh saksi, yaitu:
ADVERTISEMENT

1. Harus mengucapkan sumpah dan janji

Aturan ini tertuang dalam pasal 160 Ayat 3 KUHP, bahwa sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing.

2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti

Keterangan saksi sebagai bukti sah tertuang dalam pasal 1 (27) Undang-Undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

3. Keterangan saksi harus diberikan pada sidang pengadilan

Keterangan saksi yang sah sebagai alat bukti adalah apa yang ia nyatakan dalam sidang pengadilan sesuai dengan pasal 185 ayat (1).

4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup

Dalam pasal 185 ayat (2) KUHP, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Keterangan ini harus didukung dengan bukti lainnya seperti keterangan saksi ahli, surat visum apabila terjadi luka pada korban, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Artinya, keterangan seorang saksi tunggal belum cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Maka, saat korban KDRT ingin menuntut pelaku di pengadilan diperlukan sekurang-kurangnya dua bukti yang sah, yakni keterangan saksi dan bukti lainnya.
ADVERTISEMENT
Contohnya rekaman CCTV atau surat visum et Repertum dari Rumah Sakit. Dengan begitu, suami atau istri sebagai pelaku KDRT dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pidana yang sudah diatur dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004.

Perlindungan Saksi Kasus KDRT

Ilustrasi KDRT. Foto: fizkes/Shutterstock
Menyadur buku Viktimologi: Kajian Dalam Perspektif Korban Kejahatan karya Joice Soraya, dalam suatu proses peradilan pidana, seorang saksi korban kasus KDRT memegang peranan kunci dalam upaya mengungkap suatu kebenaran tuduhan.
Oleh karena itu, keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama di atas alat bukti lainnya. Agar saksi dapat memberikan keterangan dengan rasa aman, pemerintah mengesahkan aturan tentang perlindungan saksi dan korban yang termuat dalam Pasal 5 ayat 1 dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006, meliputi:
ADVERTISEMENT
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diatur pula tentang sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban, yang disebut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
ADVERTISEMENT
LPSK merupakan lembaga mandiri yang berkedudukan di Jakarta, tapi memiliki perwakilan di daerah sesuai dengan keperluannya masing-masing.
Apabila mengalami atau melihat tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), segera hubungi hotline pengaduan kekerasan pada perempuan dan anak di nomor 129 (telepon) atau 081111129129 (WhatsApp).
(IPT)
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten