Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Banyak Perempuan Bertahan dalam Situasi KDRT, Ini 8 Alasannya
15 Agustus 2024 13:56 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT ) yang dialami atlet anggar dan selebgram Cut Intan Nabila tengah menjadi perbincangan. Cut Intan mengatakan bahwa suaminya, Armor Toreador, berkali-kali melakukan kekerasan. Namun, karena alasan tertentu, Intan memilih bertahan.
ADVERTISEMENT
Pada Selasa (13/8), Intan mengunggah sebuah video di Instagram miliknya, @cut.intannabila. Dalam video tersebut, tampak dirinya dipukuli oleh Armor usai keduanya berdebat. Armor saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Bogor dan ditahan. Ia mengaku sudah berkali-kali melakukan kekerasan , baik di hadapan anak-anaknya maupun saat sedang berdua saja.
Dalam keterangan video itu, Intan mengatakan bahwa selama ini, ia bertahan demi ketiga anaknya yang masih kecil. Keduanya sudah menikah selama lima tahun. Intan sendiri menikahi Armor saat usianya masih 19 tahun.
“Selama ini saya bertahan karena anak, ini bukan pertama kalinya saya mengalami KDRT, ada puluhan video lain yang saya simpan sebagai bukti, 5 tahun sudah berumah tangga, banyak nama wanita mewarnai rumah tangga saya, beberapa bahkan teman saya,” tulis Intan, dikutip kumparanWOMAN pada Kamis (15/8).
ADVERTISEMENT
Alasan perempuan bertahan di situasi KDRT
Ladies, ini bukanlah satu-satunya kasus perempuan memilih bertahan dalam situasi KDRT. Kekerasan terhadap istri merupakan salah satu kasus pelik yang masih banyak dialami perempuan .
Menurut CATAHU 2023 Komnas Perempuan, sepanjang 2023, mereka telah menerima 674 laporan kasus KDRT. Sementara itu, laporan yang diterima oleh Lembaga Layanan mencapai 1.573 kasus.
Komnas Perempuan menyebut, ada fenomena gunung es dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Artinya, jumlah kasus yang tidak dilaporkan kemungkinan jauh lebih besar ketimbang yang dilaporkan.
Menurut Institute for Family Studies (IFS), banyak perempuan korban KDRT yang pada akhirnya memilih untuk bertahan dalam hubungan tersebut. Bagi orang yang tidak mengalami kekerasan, pilihan untuk bertahan mungkin terlihat membingungkan. Tak jarang, para korban dikritik akibat keputusan itu. Namun, korban memiliki perspektif lain.
ADVERTISEMENT
Lewat survei yang dilakukan pada 2015 lalu, IFS berhasil menyimpulkan delapan alasan di balik pilihan berat tersebut. Apa saja?
1. Pikiran yang terdistorsi
Dilansir situs resmi Institute for Family Studies, situasi KDRT yang traumatis bisa memicu rasa bingung, ragu, dan kecenderungan menyalahkan diri sendiri.
Manipulasi dan kekerasan yang dilakukan pelaku bisa menyebabkan rasa bersalah pada korban. Selain itu, korban bisa saja cenderung menyepelekan tindak kekerasan yang ia terima.
“Contohnya, sejumlah perempuan mengatakan, ‘Saya percaya bahwa saya pantas menerima perlakuan itu,’ dan, ‘Saya malu dan menyalahkan diri sendiri karena menurut saya, sayalah yang memicu dia,’” ungkap IFS.
2. Nilai diri yang rusak
Kekerasan yang dilakukan pasangan bisa merusak nilai diri korban. Pada akhirnya, korban merasa bahwa ia rendah dan tidak bernilai. IFS menyebut, sejumlah perempuan mengatakan bahwa mereka merasa melakukan kesalahan dan dia pantas dikasari oleh pasangan.
ADVERTISEMENT
3. Rasa takut
KDRT memicu rasa takut dan trauma pada korban. Menurut IFS, sejumlah perempuan merasa dirinya terjebak dan tidak bisa pergi dari situasi KDRT akibat ketakutan tersebut. Tak hanya itu, banyak juga perempuan yang merasa bahwa mencoba kabur dari KDRT bisa berbahaya.
4. Keyakinan bisa mengubah pasangan
Banyak korban KDRT yang merasa bisa mengubah dan menyelamatkan pasangan. Menurut IFS, mereka percaya bahwa cinta dan kasih sayang akan mampu menghilangkan sikap kasar dalam diri suami. Ada juga perempuan yang merasa dirinya harus tetap loyal pada suami.
“Perempuan lainnya mendeskripsikan nilai-nilai atau komitmen internal mereka terhadap pernikahan atau pasangan, dengan cuitan seperti, ‘Saya pikir, saya adalah pihak yang kuat dalam hubungan ini, yang tidak akan meninggalkan dia, dan akan menunjukkan kesetiaan. Saya akan bisa mengubah dia dan mengajarkan dia cinta,’” jelas IFS.
ADVERTISEMENT
5. Anak
Kehadiran anak dalam rumah tangga dengan KDRT menjadi perkara pelik. Menurut Canadian Women’s Institution, para perempuan mungkin rela mengorbankan diri karena tidak ingin anaknya hidup dalam kemiskinan atau tumbuh besar tanpa sosok ayah.
Ada juga perempuan yang takut keselamatan anaknya terancam jika ia meninggalkan pelaku KDRT.
6. Ekspektasi keluarga dan pengalaman pribadi
Ekspektasi keluarga dan keyakinan juga menjadi alasan korban memilih bertahan. Menurut IFS, seorang perempuan mengatakan, “Ibu saya bilang pada saya, Tuhan akan membenci saya jika saya menghancurkan pernikahan saya.”
Dilansir Canadian Women’s Institution, korban mungkin bertahan karena keluarga dan lingkungannya tidak menyetujui perceraian. Masih ada keluarga yang menganggap perceraian bukanlah opsi yang bisa diambil.
Ada juga perempuan yang selama ini hidup dalam lingkungan KDRT, sehingga kekerasan tampak menjadi sesuatu yang “normal”.
ADVERTISEMENT
7. Ketergantungan finansial
Ketergantungan finansial dan masalah keuangan kerap kali menjadi hambatan untuk keluar dari jerat KDRT. Perempuan yang tidak memiliki penghasilan sendiri akan kebingungan bagaimana menghidupi anak-anaknya tanpa nafkah material dari suami.
8. Perempuan diisolasi dari lingkungan
Menurut IFS, sering kali pelaku kekerasan mengisolasi korban dari lingkungannya. Ini merupakan taktik yang biasa dilakukan oleh pasangan manipulatif. Lewat isolasi, pelaku memisahkan korban dari teman-teman dan keluarganya.
Isolasi bisa berupa isolasi secara fisik, seperti menjauhkan kehidupan dari orang-orang terdekat korban. Ada juga isolasi secara emosional, lewat ucapan seperti: “Kamu pilih teman dan keluargamu, atau pilih saya?”
Ladies, keluar dari situasi KDRT tentu sangat sulit. Namun, mencari dukungan dan pertolongan orang yang dipercaya dapat menyelamatkan hidup kamu dan anak-anakmu. Ingat, KDRT bukanlah aib; jangan ragu untuk meminta bantuan.
ADVERTISEMENT
Jika kamu mengalami KDRT, segeralah menghubungi layanan SAPA 129 oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) di nomor hotline HP 021129 atau WhatsApp 08111129129. Kamu juga bisa mengakses https://carilayanan.com untuk mendapatkan pertolongan sesuai dengan kebutuhanmu.