Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Menjadi perempuan yang sukses bukan berarti bebas dari hambatan. Selain harus menempuh hasil dengan kerja keras, perempuan sukses juga rentan menerima stereotip yang mendiskreditkan kualitasnya.
ADVERTISEMENT
Melansir dari Forbes, perempuan yang punya kualitas baik dalam pekerjaan kerap dianggap kaku, bahkan diragukan dalam menjalankan sebuah kepemimpinan. Tak jarang, stigma dan penilaian negatif tersebut tidak hanya berasal dari laki-laki, tetapi juga dari sesama perempuan. Lantas, ada apa saja stereotip negatif perempuan sukses yang ternyata keliru? Yuk, simak penjelasannya berikut ini.
Perempuan sukses cenderung kaku dan emosional
Perempuan yang punya karier gemilang kerap kali dianggap kaku dan tertutup. Di sisi lain, ketika perempuan menunjukkan emosinya justru dianggap emosional dan tidak cocok untuk memimpin karena didominasi oleh perasaan.
Halley Bock, yang dulunya merupakan CEO Fierce perusahaan pelatihan kepemimpinan dan pengembangan di Seattle mengatakan bahwa banyak perempuan yang berada dalam situasi tidak menguntungkan. Perempuan yang menunjukkan emosi sangat sering dianggap rapuh dan tidak stabil untuk memimpin sedangkan perempuan yang tidak menunjukkan emosi dinilai tidak feminin dan “dingin” di mata orang lain.
ADVERTISEMENT
Faktanya, mengutip Business News Daily, perempuan memiliki cara memimpin yang berbeda dengan laki-laki. Perempuan justru melihat kepemimpinan sebagai cara untuk berbagi pengetahuan dan terhubung dengan koleganya demi kelancaran tim dan perusahaan.
Jabatan tinggi meningkatkan risiko perceraian pada perempuan karier
Olivia Fox Cabane, seorang dosen Universitas Harvard mengatakan bahwa ada persepsi yang kuat melekat pada perempuan karier. Semakin tinggi pendidikan dan jabatan, justru akan semakin membuat laki-laki merasa terintimidasi. Hal tersebut membuat perempuan harus mengorbankan karier untuk bisa mendapatkan pasangan.
Mengutip Harvard Business Review, norma masyarakat rupanya masih mendominasi persepsi orang terhadap perempuan. Dalam pernikahan, laki-laki disebut harus memiliki jabatan lebih tinggi dalam pekerjaan karena perempuan yang punya posisi bagus dalam karier hanya akan meningkatkan risiko perceraian.
ADVERTISEMENT
Charlotte Ljung, CEO dan pemilik Charlotte Ljung AB strategic dan creative agency, mengatakan kalau dirinya sudah bercerai dengan suami. Ia menjelaskan bahwa laki-laki biasanya akan memberikan dukungan bagi perempuan yang menempuh karier, tetapi setelah menikah mereka menemukan berbagai kesulitan sehingga susah untuk mempertahankan dukungan tersebut.
Perempuan dianggap lemah sebagai pemimpin
Dalam penelitian yang dilakukan Women Political Leaders Global Forum, terdapat beberapa negara yang meragukan kemampuan perempuan sebagai pemimpin suatu negara. Misalnya Jepang dan Jerman, tidak sampai 50% masyarakat yang terbuka dengan kepemimpinan perempuan karena dinilai hanya akan memberikan hambatan ataupun masalah.
Hal ini juga sempat terjadi di Costa Rica, ketika Laura Chincilla menjadi presiden perempuan pertama di negara tersebut. Penduduk sempat meragukan kualitas perempuan dalam pemerintahan sehingga mereka perlu menyesuaikan diri terlebih dulu dan belajar menerima kepemimpinan presiden perempuan pertama ini.
ADVERTISEMENT
Menurut Chincilla, memang ada berbagai stereotip yang melekat pada perempuan, salah satunya sering dianggap lemah. Walaupun perempuan dinilai tidak kompeten, Chincilla mengatakan kepada Forbes bahwa stigma semacam itu hanya akan membuat perempuan berusaha lebih keras untuk membuktikan kalau dirinya pun bisa menjadi pemimpin .
Penulis: Adinda Cindy