Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Catahu 2021 LBH Apik Jakarta: Kekerasan Berbasis Gender Online Banyak Dilaporkan
15 Desember 2021 8:03 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Pandemi Covid-19 ternyata memberikan dampak tersendiri terhadap kehidupan perempuan. Di tengah situasi sulit ini, masih banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan . Bahkan berdasarkan catatan akhir tahun (Catahu) LBH Apik Jakarta, sepanjang tahun 2021 terdapat 1.321 aduan yang masuk ke LBH Apik Jakarta.
ADVERTISEMENT
Angka tersebut meningkat drastis jika dibandingkan tahun 2020 yaitu sebanyak 1.178 kasus. Dari total pengaduan yang masuk, kekerasan berbasis gender online (KBGO) menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan, yakni sebanyak 489 kasus. Kemudian disusul kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 374 kasus, tindak pidana umum 81 kasus, kekerasan dalam pacaran 73 kasus, dan kekerasan seksual dewasa 66 kasus.
Dalam konferensi pers yang digelar virtual, Koordinator Divisi Pelayanan Hukum LBH Apik Jakarta, Uli Pangaribuan mengatakan, “Selama lima tahun terakhir LBH Apik Jakarta melakukan pendampingan, KDRT menjadi kasus paling tinggi diadukan, namun situasi tersebut berbeda pada tahun 2021.”
Faktanya, kasus KBGO menduduki posisi tertinggi menggeser kasus KDRT. Menurut Uli, hal ini dipengaruhi oleh pandemi Covid-19 yang membuat ruang lingkup interaksi semakin terbatas dan budaya patriarki bergerak meluas melalui kanal interaksi virtual.
ADVERTISEMENT
Selain itu, berdasarkan hasil refleksi penanganan kasus LBH Apik Jakarta, situasi dan kondisi penanganan kasus pada tahun 2021 masih belum berpihak kepada perempuan korban kekerasan.
Setidaknya tercatat ada sejumlah hambatan dalam melakukan pendampingan, penanganan dan upaya akses keadilan, yaitu kebijakan belum berpihak kepada korban, kuatnya budaya patriarki tidak hanya di dunia nyata tetapi meluas ke dunia maya, lemahnya perspektif bagi aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan advokat sehingga menyebabkan banyaknya kriminalisasi terhadap perempuan korban.
Di samping itu, keberadaan sistem hukum belum menempatkan perempuan korban menjadi subyek hukum yang harus dilindungi sehingga kelompok perempuan sangat rentan menjadi korban.
“Karenanya keberadaan Rancangan Undang–Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi hal penting untuk memberikan ruang aman bagi perempuan dan kelompok rentan, di samping melakukan revisi atau mendorong kebijakan lain yang mengakomodir kepentingan perempuan korban, menjamin adanya akses keadilan bagi perempuan, sehingga hak-hak perempuan menjadi terjamin dan terlindungi oleh negara,” tutur Uli.
ADVERTISEMENT