Cerita Perempuan Pengidap PMDD: Alami Sedih Ekstrem hingga Merasa Tak Pantas

29 September 2023 18:14 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi sakit perut menstruasi. Foto: Kmpzzz/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sakit perut menstruasi. Foto: Kmpzzz/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Bagi Syifa, seorang karyawan swasta yang berdomisili Jakarta, hari-hari sebelum menstruasi merupakan fase gelap dalam kesehariannya. Dari yang awalnya merasa baik-baik saja, seketika mood-nya berantakan saat memasuki fase luteal. Kondisi ini sangat mengganggu, sampai akhirnya ia memutuskan untuk mencari jawaban atas apa yang terjadi pada dirinya.
ADVERTISEMENT
Riset demi riset ia lakukan sembari mencatat berbagai gejala fisik dan mental yang ia rasakan sebelum menstruasi. Pencariannya pun membuahkan hasil: premenstrual dysphoric disorder (gangguan disforik pramenstruasi) atau PMDD.
Menurut Johns Hopkins Medicine, PMDD merupakan bentuk sindrom pramenstruasi (PMS) yang lebih parah. Banyak perempuan yang mengalami PMS sebelum memasuki fase menstruasi; mood berantakan, mudah menangis, emosional, hingga kram perut. Jika PMS saja sudah terasa berat, PMDD lebih dari itu.
Syifa, penderita Premenstrual Dysphoric Disorder. Foto: Dok. Pribadi
“Sebetulnya, gejalanya muncul sendiri pas kuliah, pas tahun ketiga atau tahun keempat gitu, ya. Lagi sendirian, tiba-tiba kayak merasakan sedih yang banget dan (sebelumnya) enggak pernah kayak gitu, dan aku merasa itu bukan aku,” cerita Syifa ketika diwawancarai kumparanWOMAN.
Awalnya, saat merasakan gejala-gejala itu, Syifa beranggapan bahwa dirinya sedang mengalami PMS. Namun, ada kejanggalan di balik gejalanya; emosinya yang berkecamuk itu terasa sangat berlebihan dan ketika ia menstruasi, ia merasa normal lagi.
ADVERTISEMENT

Gejala-gejala PMDD yang Dirasakan Syifa

Dilansir Cleveland Clinic, PMDD diderita hingga 10 persen perempuan di usia produktif. Kondisi ini telah dicantumkan dalam daftar Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 5th Edition (DSM-5). Ini adalah buku pedoman yang dipakai oleh para ahli untuk membantu diagnosis gangguan mental pada seseorang.
Sejatinya, gejala PMDD yang dialami setiap orang akan berbeda-beda. Namun, menurut dokter spesialis obstetri dan ginekologi. dr. Febriyan Nicolas Kengsiswoyo, Sp.OG, M.Kes, gejala yang dirasakan lebih ekstrem ketimbang PMS.
“Pada dasarnya, gejala PMS dan PMDD sama, hanya saja pada PMDD terdapat gejala yang lebih ekstrem seperti kesedihan atau keputusasaan berlebihan, kecemasan berlebihan, perubahan mood yang ekstrem, sangat mudah tersinggung dan marah, bahkan hingga depresi,” kata dr. Nicolas kepada kumparanWOMAN.
ilustrasi wanita cemas, stres atau depresi Foto: Shutterstock
Bahkan, PMDD bisa menjadi berbahaya. Pengidap PMDD bisa mengalami depresi, menyakiti diri sendiri atau orang lain, hingga pada kasus ekstrem, pengidapnya bisa bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Gejala tersebut pun ditemui oleh Syifa. Syifa mengungkapkan, gejalanya sangat berat hingga ia kesulitan tidur dan menarik diri dari lingkungannya.
“Aku merasa sedih, sedih yang berlebihan, merasa tidak worthy, merasa enggak pantas untuk mendapatkan hal-hal yang baik di dunia ini. Jadinya, akhirnya aku menarik diri, pas kuliah bahkan aku sempat bolos, aku enggak kerja, dan saat masih pacaran dengan suamiku sekarang, aku benar-benar hilang kontak karena tidak merasa worthy of anything,” ungkapnya.
Kondisi emosional yang tidak karuan bukanlah satu-satunya yang ia rasakan di fase luteal (fase dalam siklus menstruasi yang terjadi sebelum menstruasi -red). Syifa juga mengalami gejala fisik yang berat, mulai dari bloating atau perut kembung yang parah sampai tidak bisa duduk tegak, hingga migrain yang menyakitkan.
Syifa, penderita Premenstrual Dysphoric Disorder. Foto: Dok. Pribadi
Gejala fisik tersebut sangat mengganggu keseharian Syifa karena ia tidak bisa melakukan apa-apa selain duduk membungkuk atau berbaring.
ADVERTISEMENT
Setelah beberapa lama memendamnya sendiri, kondisi PMDD yang dirasakan Syifa memuncak. Ia pun akhirnya memutuskan untuk bertanya kepada obgyn ketika ia berkonsultasi terkait masalah kesehatan lainnya.
“Ke obgyn waktu itu memang lagi ada masalah, tapi bukan untuk PMDD. Terus, habis itu, sesi konsulnya aku manfaatkan buat nanya seputar PMDD. Aku konsul bahwa aku sebelum haid itu mengalami sakit fisik dan merasa emotionally drained banget sebelum haid, itu kenapa? Dan dokternya cukup straightforward sih, ‘It’s probably PMDD,’ begitu katanya,” jelas perempuan berusia 25 tahun ini.

Kehidupan dan hubungan sosial yang terganggu akibat PMDD

PMDD tidak hanya berdampak buruk pada fisik dan mental Syifa, tetapi juga kehidupan sosialnya. Meskipun Syifa tidak mendapatkan stigma buruk di kantor tempatnya bekerja, kondisi yang ia rasakan ini cukup merepotkan dirinya. Sebab, ketika PMDD-nya kambuh, Syifa beberapa kali terpaksa izin sakit. Ia pun harus membuat surat izin sakit ke dokter untuk diberikan ke kantor.
Ilustrasi perempuan mengidap PMDD. Foto: shutterstock
Selain itu, Syifa mengaku hubungannya dengan keluarga sempat renggang akibat PMDD yang ia alami. Setiap memasuki fase luteal, ada momen di mana Syifa bertengkar dengan ibu atau adiknya.
ADVERTISEMENT
“Jadi, kalau memang memasuki fase luteal itu, kalau sudah mau haid itu, ya, sering ada selek sama keluarga, sama ibuku, sama adikku. Jadi kadang, karena waktu itu aku memang enggak bisa bereaksi dengan normal, hubungannya sempat kacau, gitu,” jelas Syifa. Namun, ia selalu meminta maaf usai bertengkar dengan mereka sehingga tidak terjadi kesalahpahaman yang berkelanjutan.

Penanganan oleh ahli

Setelah obgyn mengonfirmasi bahwa Syifa mengidap kondisi PMDD, Syifa mengaku merasa kondisinya divalidasi. Ia, yang beberapa kali pernah bermasalah dengan orang terdekat akibat kondisi emosional yang meluap-luap, akhirnya menerima fakta bahwa ia bukanlah “orang aneh”.
“Aku mungkin lebih merasa, ‘Oh, ya, benar (aku mengalami PMDD), berarti aku enggak freak.’ Soalnya, kan, ada stigma-stigma yang agak seksis mungkin, ya, apalagi kalau di tempat kerja. PMS saja sudah sangat melelahkan. Ini, tuh, PMDD yang lebih berat, gitu,” ucap Syifa.
ADVERTISEMENT
“Jadi, dengan aku tahu adanya PMDD, ya, sudah, it’s an actual disorder. Jadi, aku juga memaafkan diriku yang sebelumnya aku pikir aku freak,” tambahnya.
Ilustrasi perempuan mengidap PMDD. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Namun, self-acceptance tidak menyelesaikan segalanya. Syifa mengungkapkan, ada momen-momen gelap di mana ia tidak bisa tidur akibat jantung berdebar dan mengalami stres berat. Syifa akhirnya memutuskan untuk datang ke psikiater untuk pertolongan lebih lanjut.
“Jadi, waktu itu pertama kali aku ke psikiater. Terus, aku sampaikan keluhan, mungkin waktu itu juga ada stres yang berlebih memang. Dokter akhirnya memberikan resep, sepertinya obat antidepresan sama obat anticemas,” jelas Syifa.
Keputusan Syifa untuk mencari pertolongan adalah keputusan terbaik. Sebab, Syifa mengakui kondisi PMDD-nya sangat membaik, bahkan kondisi tersebut hampir tidak pernah kambuh lagi. Tentunya, konsumsi obat Syifa juga dibarengi dengan perubahan pola hidup yang lebih sehat.
ADVERTISEMENT
“Mungkin juga ditambah sekarang aku sudah memperbaiki pola hidup, ya. Klise banget, sih. Tapi, sekarang aku jadi lebih rutin olahraga. Terus, makan berusaha dikontrol meskipun belum perfect banget. Olahraga membantu banget,” tuturnya.

Apa yang harus dilakukan perempuan pengidap PMDD di luar sana?

Sebagai pengidap PMDD, Syifa sangat memahami apa yang dirasakan oleh penderita PMDD lainnya di luar sana. Bagi perempuan yang tengah merasakan gejala-gejalanya, Syifa menyarankan mereka untuk riset dan mencatat gejala yang dirasakan.
“Track juga apakah gejala itu muncul ketika fase luteal atau fase setelah ovulasi. Konsisten apa enggak gejalanya muncul dan betul atau enggak, sih, gejala itu menghilang setelah haid,” ucap Syifa.
Ia pun menyarankan para perempuan untuk mencari pertolongan ahli ketika dirasa butuh.
ADVERTISEMENT
I’m sorry if you have to go through that. Tapi, jangan menganggap kamu aneh. Kan, takutnya kayak merasa penyesalan setelah marah-marah sama orang. Kalaupun memang dirasa sangat mengganggu dan enggak tertahan, ya, bisa cari pertolongan juga. Ke psikiater atau ke obgyn dulu mungkin,” pungkasnya.