news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Cerita Tantangan Perempuan dalam Berbagi Peran Urusan Rumah Tangga saat Pandemi

24 November 2020 13:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi ibu bekerja sambil mengurus anak di rumah selama pandemi. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ibu bekerja sambil mengurus anak di rumah selama pandemi. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 seakan menjadi tantangan bagi semua lapisan masyarakat. Terutama bagi perempuan dan anak perempuan. Riset terbaru tentang dampak gender dari pandemi yang dirilis oleh UN Women menunjukkan berbagai dampak COVOD-19 pada perempuan, salah satunya terkait dengan tugas rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Survei yang dilakukan secara daring lewat SMS menggunakan jaringan Indosat Ooredoo selama bulan April dan Juli 2020 ini menunjukkan bahwa COVID-19 membuat 19 persen perempuan mengalami peningkatan intensitas pekerjaan rumah tangga tak berbayar, dibandingkan dengan laki-laki yang angkanya 11 persen. Hal ini terjadi karena perempuan memegang multi peran, yaitu sebagai perempuan karier, seorang ibu, dan istri.
Ilustrasi perempuan stres selama pandemi. Foto: Shutter Stock
Seringnya perempuan merasa kewalahan karena minimnya peran suami dalam membantu mereka mengurus keperluan rumah tangga dan anak. Kondisi ini kemudian rentan menyebabkan konflik antara istri dan suami karena kebanyakan suami tidak memahami bahwa sang istri tidak bisa melakukan semuanya sendirian. Jadi meski kedua pasangan sama-sama melakukan Work From Home (WFH) bukan berarti urusan rumah tangga jadi semakin mudah.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini juga menimbulkan tantangan baru yang bisa mempengaruhi kesehatan mental dan fisik perempuan sebab mereka memegang peran penting dalam kehidupan rumah tangga.
Laporan UN Women dan Indosat Ooredoo juga menunjukkan 57 persen perempuan mengalami peningkatan stres dan kecemasan, dibandingkan dengan laki-laki yang hanya ada 48 persen. Peningkatan stres ini dipicu oleh berbagai hal. Salah satunya adalah beban pekerjaan rumah tangga dan kerja pengasuhan yang meningkat selama pandemi.
Ilustrasi beban pekerjaan rumah tangga dan kerja pengasuhan meningkat selama pandemi. Foto: Shutter Stock
Hal ini dialami langsung oleh ibu bekerja, Anne (nama disamarkan), yang sejak pandemi tidak hanya mengalami penurunan pendapatan, tetapi juga harus membantu anak sekolah dari rumah dan mengurus kebutuhan rumah tangga. Kegiatan ini ia lakukan sehari-hari sambil bekerja dengan sistem shifting, 3 hari work from home dan 2 hari bekerja di kantor.
ADVERTISEMENT
Profesinya sebagai editor di sebuah media digital membuatnya harus pandai membagi waktu untuk membuat konten, meeting, liputan, serta menemani anak laki-lakinya yang masih sekolah TK. Anne mengaku di awal pandemi ia sangat kewalahan karena menemani anak sekolah tidak semudah yang ia bayangkan. Sebab seiring berjalannya waktu, jam anak sekolah yang tadinya hanya 1 jam, lama kelamaan ditambah menjadi 1.5 - 2 jam per hari. Selain itu, pekerjaan Anne di kantor juga kian bertambah karena ada pengurangan karyawan.
Ilustrasi perempuan bekerja sambil menemani anak sekolah di rumah. Foto: Shutter Stock
“Saat itu tekanan sudah mulai terasa. Jam anak sekolah ditambah dan pekerjaan di kantor juga meningkat. Menemani anak sekolah itu ternyata sulit kalau dilakukan sambil bekerja karena kita harus benar-benar memastikan dia mau menulis, belajar, tidak lari-larian, mau interaksi dengan guru, dan lain-lain,” cerita Anne saat dihubungi kumparanWOMAN melalui telepon.
ADVERTISEMENT

Sempat merasa stres sendiri

Di tengah kondisi tersebut, awalnya suami Anne tidak banyak terlibat. Namun setelah merasa stres karena kesulitan sendiri, ia kemudian minta tolong pada suaminya untuk bagi peran. Di waktu yang bersamaan, Anne juga sudah mulai harus bekerja lagi ke kantor. Sedangkan suaminya yang bekerja di bidang kreatif juga sudah mulai menerima banyak project. Jadi solusinya mereka membuat sistem shift untuk menemani anak sekolah. Meski begitu, masalah baru tetap saja datang. Sebab proses shifting ini penerapannya tidak mudah.
Ilustrasi ayah sedang menjalankan peran menjaga anak di rumah ketika ibu sedang bekerja selama pandemi. Foto: Shutterstock
Ada momen atau kondisi tertentu yang membuat Anne begitu kewalahan harus menyiapkan kebutuhan anak sekolah di rumah, membersihkan rumah, dan harus berangkat kerja ke kantor. Kondisi ini terjadi karena kadang suaminya terlalu santai dan kurang peka dengan situasi saat itu.
ADVERTISEMENT
“Pernah dalam satu momen aku merasa kewalahan sekali. Posisinya, aku harus bangun pagi sekali, lalu bersih-bersih sebentar, menyiapkan anak sekolah, tapi kemudian melihat suami masih tidur, dan disitu terjadilah konflik. Aku marah dan minta sama suami supaya dia mau bagi tugas, at least dia mau menyuapi anaknya atau memakaikan baju karena kalau enggak, semuanya tidak bisa selesai,” ceritanya.
Ilustrasi perempuan merasa down karena suami kurang berpartisipasi dalam mengurus rumah tangga selama pandemi. Foto: Freepik
Kondisi tersebut sempat terjadi beberapa kali dan membuat Anne merasa mentalnya down dan stres. Ia dan suami pun sempat bertengkar serius walau tidak sampai berlarut-larut.
“Aku pernah bilang sama suami kalau aku sedang berada di titik didih, jadi dia harus membantu, karena kalau tidak aku bisa gila. Aku juga sempat bilang kalau dia tidak mau ikut mengurus rumah tangga, siapkan saja dana supaya kita bisa sama-sama enak. Tapi kan itu sedikit sulit dilakukan karena kondisi keuangan kita pun sempat terdampak di tengah pandemi ini,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT

Komunikasi dengan pasangan jadi kunci

Setelah itu, Anne dan suaminya duduk berdua untuk berkomunikasi. Saling menyampaikan apa yang dirasakan dan bersama-sama mencari solusi. Ia menjelaskan kondisinya seperti apa supaya suaminya tahu bahwa selama ini peran yang dipikul oleh Anne tidak bisa dilakukan sendiri, tetapi harus berdua.
Ilustrasi siskusi dengan pasangan tentang kesulitan yang dialami istri selama pandemi agar suami mau berbagi peran. Foto: Pixabay
“Kami duduk berdua, komunikasi. Aku jelaskan semuanya bahwa aku tidak sanggup melakukan semua sendiri. Setelah itu, lama-lama dia berubah dan mulai banyak membantu. Paling tidak waktu shift-nya dia untuk bantu anak sekolah, dia sudah bangun pagi untuk memandikan dan menyuapi anak. Dia jadi lebih kooperatif, mungkin aku sesekali masih harus mengingatkan tapi semua sudah jauh lebih baik sekarang,” tuturnya.
Jadi permasalahan perempuan di masa pandemi ini memang sangat beragam. Tidak hanya soal masalah ekonomi, tetapi ada juga tantangan lain yang bisa berdampak pada kesehatan mental mereka.
ADVERTISEMENT