Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Dalam rangka kampanye internasional 16 hari Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Institut Prancis di Indonesia (IFI) bekerjasama dengan UN Women Indonesia menggelar diskusi "Generation Equality". Hadir dalam acara tersebut politisi Tsamara Amany yang bercerita tentang pengalaman dan komentar-komentar seksisme yang sering diterimanya.
ADVERTISEMENT
Tsamara mengungkapkan, lingkaran politisi itu sangat terasa maskulin. Ia seringkali berada di satu diskusi yang hanya menghadirkan dirinya sendiri sebagai politisi perempuan. Tsamara bercerita, ketika ada perempuan yang menempati level setara dengan posisi laki-laki dalam politik, maka para laki-laki akan menganggap hal itu hanya keberuntungan. Bukan posisi yang didapat dari kerja keras dan kompetensi.
"Itupun ketika kita sudah satu meja dengan mereka, kita masih dianggap lebih rendah, apalagi kalau kita anak muda," tutur Tsamara, di IFI, Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (9/12).
"Sering sekali saya dengar 'duduk sini dinda abang ajarkan, abang ajarkan dulu, inikan dinda harus paham politik'. Itu adalah kalimat pembuka yang paling merendahkan yang pernah saya dengar," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Komentar-komentar seperti ini, menurut Tsamara, seringkali hanya dianggap hal yang biasa. Dan pelaku sering berkilah bahwa mereka tidak berniat merendahkan dan tulus ingin mengajarkan.
"Dia mengatakan 'di mana merendahkannya? Saya kan mencoba untuk menjadi abang'," lanjut Tsamara lagi.
Tsamara juga berbagi soal bagaimana komentar-komentar yang dilayangkan kepadanya di media sosial justru lebih banyak yang mengomentari dirinya sebagai perempuan. Bukan dirinya sebagai politisi atau ide-ide yang ia lontarkan.
Dari komentar-komentar seksisme tersebut menurutnya menyadarkan dia bahwa kebencian terhadap gender adalah benar-benar ada.
"Selama ini saya tidak pernah percaya ada orang benci sama perempuan, tapi saya lihat komen-komen sadis sadis seperti 'Saya sumpahin kamu tidak akan punya anak' atau 'saya sumpahin kamu ditinggalkan suami kamu dan tidak akan mau lagi sama kamu'. Jadi hal hal seperti itu keluar, dan yang mengatakan itu biasanya laki laki yang sudah sangat senior," kata Tsamara.
ADVERTISEMENT
Komentar menyakitkan tersebut bahkan sampai ke media sosial suami Tsamara, Ismail Fajrie Alatas.
"Bahkan terakhir suami saya kaget, karena baru saja dia dapat direct messege yang berisi 'wah kalau saya punya istri seperti Tsamara sudah saya mutilasi'," ungkap Tsamara bercerita.
Kebencian terhadap gender, menurut Tsamara, adalah awal dari seseorang melakukan kekerasan seksual terhadap orang sekitarnya. Namun, pilihan untuk mengambil langkah kongkret untuk melakukan pencegahan terhadap kekerasan seksual pada perempuan masih perlu menelusuri jalan berliku. Salah satu hal nyata yang bisa dilihat adalah Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) yang sampai hari ini belum berhasil disahkan.