Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Cerita Zsazsa, Sukses Jadi Model Meski Memiliki Kulit Vitiligo
31 Juli 2022 14:46 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Ladies, apakah kamu pernah mendengar kisah tentang model vitiligo ? Ya, beberapa tahun belakangan ini, dunia modeling sudah mulai mengedepankan isu keberagaman dengan menghadirkan model yang memiliki kondisi warna kulit memudar di beberapa area karena kehilangan pigmentasi atau yang biasa disebut vitiligo.
ADVERTISEMENT
Pada ajang Victoria's Secret Fashion Show 2018, sebuah sejarah terukir lantaran model vitiligo pertama melenggang di perhelatan tersebut dengan membawakan koleksi Floral Fantasy. Model tersebut bernama Winnie Harlow.
Di Indonesia, ada pula sosok-sosok perempuan dengan kondisi kulit vitiligo yang menggeluti profesi model. Salah satunya adalah Zsazsa.
Menariknya, Zsazsa juga sempat hadir sebagai narasumber di acara persembahan kumparanWOMAN, yakni Beauty Talk bertema Skin Positivity: Percaya Diri dengan Kulit Kamu. Diadakan pada Kamis (28/7) di Instagram Live @kumparanwoman, Zsazsa sempat membagikan kisahnya menjadi perempuan dengan vitiligo.
Ia mengatakan bahwa vitiligo sebenarnya berkaitan dengan kondisi autoimun. Dalam dunia medis, vitiligo merupakan kondisi kulit yang terjadi karena sel-sel melanosit, yang bertanggung jawab atas warna kulit, tidak dapat lagi menghasilkan pigmen kulit atau melanin. Alhasil, hal ini menyebabkan area kulit kehilangan warna atau memutih.
ADVERTISEMENT
Mengutip Healthline, kebanyakan peneliti percaya bahwa vitiligo adalah gangguan autoimun karena tubuh menyerang sel pada tubuh itu sendiri. Sebuah studi tahun 2016 menemukan bahwa sekitar 20 persen orang dengan vitiligo juga memiliki satu gangguan autoimun lainnya.
Sempat merasa insecure dengan kondisi kulit
Zsazsa mengaku bahwa vitiligo mulai muncul sejak ia berusia 5 tahun. Kondisi kulitnya yang tidak normal itu mulai menyebar ketika ia sudah SD. Ketika itu, Zsazsa mengaku dirinya menerima berbagai komentar negatif dari orang-orang sekitar.
“Sekitar kelas 3 atau 5 SD, (vitiligo) sudah menyebar ke lutut. Terus ada satu teman laki-laki yang menunjuk dan mentertawakan, ‘Itu lihat kulitnya putih-putih kayak sapi’,” ujar Zsazsa.
Ia bahkan sampai tidak mau sekolah karena mendapat ejekan dan merasa berbeda dari orang lain. Ia merasa kondisi kulitnya merupakan suatu kekurangan. Ia merasa insecure sampai-sampai melakukan berbagai cara untuk menutupi kondisi kulitnya.
ADVERTISEMENT
“Akhirnya aku tiap hari pakai stocking tiga lapis dan foundation, (vitiligo) di tangan aku tutup pakai plester, dan rambut aku cat setiap bulan,” ujarnya.
Zsazsa mengatakan bahwa vitiligo yang terjadi pada dirinya juga memengaruhi warna rambut dan bulu. Itu yang membuatnya mengecat rambut setiap bulan kala itu.
Berdamai dengan vitiligo
Zsazsa sempat merasakan upayanya untuk menutupi kondisi kulitnya menjadi seperti sebuah beban. Ia harus meluangkan waktu sekitar 30 menit untuk menutupi vitiligo pada kulit di tubuhnya. Sampai suatu hari, ia mendengar sebuah ucapan dari temannya yang menjadi momen titik balik balik Zsazsa.
“Teman aku bilang, ‘Bukannya vitiligo ini yang bikin Zsazsa jadi Zsazsa.’ Saat itu, kalimat itu menampar aku banget. Berarti selama 23 tahun ini, aku jadi siapa? Dan akhirnya, di situ aku mulai untuk mengenal diri aku,” ungkapnya.
Menurut Zsazsa, dari proses mengenal diri sendiri, ia pun akhirnya bisa menerima apa pun kondisi dirinya. Sejak saat itu, ia mengaku tidak lagi menutupi vitiligonya.
ADVERTISEMENT
Bahkan, temannya yang menggeluti dunia fotografi ketika itu, juga mengajak Zsazsa menjadi model. Bagi Zsazsa, temannya itu adalah orang pertama yang dapat merespons kondisi kulitnya secara berbeda dan dari sudut pandang yang unik. Zsazsa pun menyadari bahwa itu semua juga berkaitan dengan perspektif dalam memaknai diri.
“Karena stigma yang ada di masyarakat, kita menganggapnya, kita seburuk itu, sekurang itu, tidak kayak yang lain, tidak normal, dan segala macam. Tapi itu semua perspektif. Akhirnya, dengan memandang perspektif yang lain dari vitiligo yang aku punya, aku menyadari bahwa ini bagian dari diri aku,” tutur Zsazsa.