Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Dampak Cuti Melahirkan pada Karier Perempuan, Pekerja Swasta hingga Buruh Pabrik
29 Agustus 2022 12:50 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Itu adalah reaksi pertama yang diucapkan seorang perempuan pekerja swasta ketika ditanya soal wacana cuti melahirkan enam bulan . Kekhawatirannya ini bukan tidak beralasan, Ladies.
ADVERTISEMENT
Inisiatif Ketua DPR RI Puan Maharani dalam mengusulkan perpanjangan masa cuti melahirkan jadi enam bulan lewat Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA ) ini nantinya akan menggantikan aturan Undangan-undang no 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja. Di mana UU tersebut menetapkan cuti melahirkan berlangsung selama tiga bulan.
Lalu mengapa wacana ini memicu kekhawatiran para perempuan? Apa dampak yang bisa terjadi ketika RUU KIA tersebut diresmikan jadi UU?
Menurut Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), koalisi dari sejumlah perusahaan yang berkomitmen untuk mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan dan kesetaraan gender, RUU KIA ini berpotensi membawa dampak buruk pada karier perempuan.
Beberapa hal yang bisa timbul dari rancangan ini adalah potensi adanya keengganan dunia usaha untuk merekrut karyawan perempuan. Ini karena cuti melahirkan enam bulan tak hanya berdampak pada biaya ekstra pada perusahaan, tetapi juga pada daya saing perempuan di dunia kerja.
ADVERTISEMENT
“Perempuan di dunia kerja sudah banyak memiliki tantangan, salah satunya norma yang menyatakan bahwa kodrat perempuan itu adalah mengurus keluarga. Dengan adanya RUU KIA ini, akan semakin mengarah pada domestikasi perempuan,” ungkap Maya Juwita, Direktur Eksekutif IBCWE melalui siaran pers yang diterima kumparanWOMAN.
Hal ini juga diamini oleh Cita (bukan nama sebenarnya), seorang project engineer di sebuah perusahaan konstruksi. Ia tak setuju dengan wacana cuti melahirkan enam bulan karena kemungkinan perusahaan merekrut perempuan akan kecil.
"Berdasarkan kondisi sekarang, saya tidak setuju. Karena konsekuensinya akan ada banyak perusahaan yang tidak mau merekrut perempuan. Sebab enam bulan itu waktu yang cukup lama," ungkap Cita kepada kumparanWOMAN.
Cita bercerita bahwa ia memiliki pengalaman kurang menyenangkan ketika cuti melahirkan. Posisinya di perusahaan digantikan oleh orang lain. Ia dipindahkan ke proyek yang lebih kecil, bahkan gajinya turun hingga 50 persen.
ADVERTISEMENT
"Saat masuk setelah cuti tiga bulan, bangku saya ditempati orang lain dan saya sama sekali tidak tahu kalau digantikan. Seminggu berlalu, saya baru dipanggil oleh HR dan baru diinfokan kalau salah satu dari kami, akan ada yang dirotasi," jelasnya.
Ia melanjutkan, "Saya cukup percaya diri tidak dirotasi karena saya lebih lama di proyek tersebut. Tapi ternyata, saya yang dirotasi. Gaji saya juga jadi turun 50 persen dari sebelumnya karena proyeknya lebih kecil dari sebelumnya," jelasnya.
Oleh karena itu, Cita tidak setuju dengan wacana cuti melahirkan enam bulan. Kalau pun ingin diterapkan, harus ada perjanjian khusus antara karyawan dan perusahaan. Akan bagaimana nantinya nasib si karyawan usai cuti.
"Jadi kalau memang ingin diterapkan, menurut saya harus ada kesepakatan antara karyawan dengan perusahaan bahwa setelah cuti akan ada pemindahan dan penyesuaian gaji. Jangan sampai itu baru diinfokan ketika sudah balik dari cuti," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, menurut IBCWE seharusnya ada kajian komprehensif soal penambahan waktu cuti melahirkan yang dikaitkan dengan produktivitas pekerja perempuan serta dampak cuti terhadap keuangan perusahaan.
Menilik kemungkinan dampak cuti melahirkan bagi buruh perempuan
Topik seputar cuti melahirkan enam bulan ini memang cukup mencuri perhatian banyak pihak, termasuk aktivis dan buruh pabrik. Mereka setuju dengan wacana cuti melahirkan enam bulan. Namun mereka menuntut upah harus dibayarkan dengan penuh selama masa cuti.
Selain itu, Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Dian Septi Trisnanti menyampaikan penting bagi pemerintah untuk memastikan perpanjangan cuti melahirkan tidak membuat tanggung jawab sebagai ibu hanya ada pada perempuan.
Lebih dari itu, Dian menyoroti salah satu poin yang ada dalam draf RUU KIA, yaitu soal pembayaran gaji. Dalam draft RUU KIA, dijelaskan bahwa setiap Ibu yang melaksanakan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a mendapatkan hak secara penuh 100% (seratus persen) untuk 3 (tiga) bulan pertama dan 75% (tujuh puluh lima persen) untuk 3 (tiga) bulan berikutnya.
ADVERTISEMENT
Dian mengkritisi poin tersebut dengan tegas. Menurutnya, dengan kondisi upah buruh yang murah dan budaya patriarki yang masih mengakar, besar kemungkinan buruh perempuan akan lebih memilih cuti tiga bulan saja.
"Situasi kondisi kerja dengan upah yang murah, juga budaya yang patriarkal menempatkan perempuan dalam kelompok kedua, dan ranah domestik hanya tanggung jawab perempuan. Jadi saat diberi pilihan cuti tiga atau enam bulan, mereka akan memilih tiga bulan karena upah mereka rendah dan status kerjanya masih kontrak," jelasnya.
Dian memaparkan, penerapan RUU KIA ini bisa tepat kalau pemerintah memenuhi beberapa hal. Misalnya memberikan upah yang layak atau upah minimum tidak rendah, hingga kondisi kerja yang lebih ramah gender.
"Yang perlu diperbaiki adalah kondisi kerja yang ramah gender, setara gender, dan tidak mendiskriminasi perempuan. Cuti melahirkan enam bulan juga bisa berjalan dengan adanya pemberian upah penuh. Karena kehilangan upah 25 persen itu sangat berdampak apalagi sekarang beberapa harga kebutuhan pokok harganya terus naik," pungkasnya.
ADVERTISEMENT