Dapat Kabar Duka Bertubi-tubi, Pentingkah Melakukan Self Healing?

10 Agustus 2021 21:09 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi mendapat kabar duka. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mendapat kabar duka. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 telah membuat banyak orang kehilangan keluarga atau kerabat tersayang. Kabar duka pun bermunculan di sekitar kita. Walau kadang yang meninggal bukanlah kerabat kita langsung, namun berita yang muncul di media sosial kita bisa tetap memberikan perasaan berduka.
ADVERTISEMENT
Lantas, perlukah seseorang melakukan self healing di tengah kondisi ini?
Memang, merasakan kedukaan bisa menjadi salah satu momen yang menguras energi. Bahkan sekadar membaca kabar duka di media sosial bisa membuat kamu ikut merasa sedih. Hal ini sejalan dengan pernyataan psikolog anak dan keluarga di Jakarta, Samanta Elsener.
Ketika ditanya tentang seberapa berpengaruh kemunculan kabar duka yang bertubi-tubi terhadap kesehatan mental seseorang, Samanta menjawab bahwa pengaruhnya besar.
“Kabar duka mengandung energi negatif. Jadi kalau kita mengacu pada tabel energi emosi dari David R. Hawkins, duka itu termasuk yang rendah, dan kita itu bisa terbawa,” ujar Samanta dalam wawancara khusus dengan kumparanWOMAN pada Senin (9/8).
Sama halnya dengan emosi positif, emosi negatif juga bisa menular. Bedanya, penularan emosi negatif bisa lebih cepat dua kali lipat daripada emosi positif. Ia pun menegaskan, “Emosi itu menular. Kalau misalnya kita berfokus sama yang negatif, itu akan jadi snowball, menular juga ke orang lain yang negatif.”
ADVERTISEMENT
Samanta juga menjelaskan hal ini lebih jauh berdasarkan hasil dari sebuah penelitian. Menurutnya, pernah ada sebuah penelitian yang membagi responden dalam dua kelompok. Satu kelompok dikumpulkan di dalam satu ruangan bersama orang-orang depresi. Kelompok yang lain masuk ke ruangan berbeda bersama orang-orang yang tidak mengalami depresi.
“Orang-orang yang masuk ke kelompok ruangan yang berisi orang depresi itu, 10 menit saja sudah langsung menjadi depresi. Dampaknya secepat itu,” tuturnya.

Kapan perlu melakukan self healing?

Ilustrasi meditasi sebagai self healing setelah sering mendengar kabar duka. Foto: Shutterstock
Lantas, sampai di titik mana seseorang perlu melakukan self healing di tengah kondisi atau kabar duka yang datang bertubi-tubi? Menurut Samanta, self healing merupakan penyembuhan diri yang dilakukan secara mandiri.
Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, seseorang bisa secara tidak sadar tertular emosi negatif setelah mengetahui kabar duka. Kecemasan dan ketakutan bisa muncul di dalam dirinya. Pikiran-pikiran negatif yang bercabang dapat menyabotase dirinya.
ADVERTISEMENT
“Di diri orang yang melihat itu bisa muncul kecemasan. Dia cemas kalau ada anggota keluarganya yang meninggal, dan kecemasan lain. Jadi merasa takut, merasa cemas, tertekan,” tutur Samanta.
Bila seseorang memiliki self care yang baik, pikiran-pikiran tersebut mungkin hanya bertahan dua sampai tiga hari. Self care sendiri merujuk pada cara seseorang dalam menjaga perasaannya dari hal-hal negatif, seperti curhat ke sahabat, beribadah, berolahraga, dan lainnya.
Sebaliknya, self care yang buruk bisa membuat kecemasan bertahan lebih lama. Samanta menjelaskan, “Kalau orang yang kondisi self care-nya semakin buruk, bisa saja bertahannya (pikiran-pikiran negatif) sebulan, tiga bulan. Kita tidak pernah tahu, karena efeknya pada setiap orang berbeda-beda, dan seberapa sering orang itu mengonsumsi berita yang sama.”
ADVERTISEMENT
Menurut Samanta, bila kecemasan akibat membaca berita duka tidak hilang setelah seminggu, seseorang perlu melakukan self healing. Jadi, kebutuhan akan self healing bergantung pada durasi bertahannya kecemasan atau ketakutan dalam diri seseorang. Ada beberapa contoh self healing yang bisa kamu lakukan di rumah, seperti meditasi, beribadah, membaca buku, dan lainnya.
“Paling tidak, tanda-tandanya, kalau sudah memengaruhi kita selama dua minggu berturut-turut, dan kita tidak bisa menguasai atau mengelola itu (kecemasan), kita perlu melakukan self healing atau butuh bantuan profesional,” ujar Samanta.