Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Dirut Bank OCBC NISP Ungkap Faktor Minimnya Perempuan di Level Atas Perbankan
12 April 2021 19:14 WIB
ADVERTISEMENT
Di era modern seperti sekarang ini, perempuan sudah banyak menduduki posisi kepemimpinan dalam berbagai sektor. Salah satunya adalah di industri perbankan. Namun jumlahnya belum signifikan.
ADVERTISEMENT
Data dari IMF pada 2017 menyebutkan hanya ada 2 persen perempuan yang menjabat sebagai CEO dari bank di seluruh dunia. Hal ini kemudian ditanggapi oleh Direktur Utama Bank OCBC NISP , Parwati Surjaudaja. Menurutnya sejak dulu memang angka perempuan di level atas dunia perbankan memang sedikit. Ia pun juga bercerita bahwa dulu di tahun 1990-an, waktu ia baru masuk ke dunia perbankan memang jumlah perempuan masih sangat minim.
"Pada 1990, waktu saya masuk perbankan tidak ada direksi perempuan di Bank OCBC NISP. Dan di industri perbankan juga sedikit sekali. Saya ingat waktu ikut kelas kepemimpinan di Bank Indonesia, dalam satu kelas yang berisi 24 orang, hanya ada dua perempuan. Waktu itu, katanya itu sudah banyak karena biasanya tidak ada sama sekali. Tapi saat ini, terutama di Bank OCBC NISP sendiri angkanya sudah meningkat. Saat ini kami 56 persen karyawan kami perempuan. 43 persen duduk di posisi senior management, dan 40 persen dari direksinya sudah perempuan. Jadi kesimpulannya memang sudah maju, tapi masih banyak ruang untuk tumbuh dan lebih baik lagi," pungkas ungkap Parwati Surjaudaja, Direktur Utama Bank OCBC NISP dalam virtual conference Women's Week, Women & Leadership: Being a Leader in Time of Crisis, Kamis (8/4).
ADVERTISEMENT
Menurutnya, ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi sedikitnya rasio perempuan di industri perbankan. Pertama adalah soal tradisi, persepsi masyarakat, dan keluarga.
"Urusan rumah tangga selalu disebut sebagai tanggung jawab perempuan. Tugas utama perempuan yang sudah menikah adalah mengurus keluarga. Hal ini membuat banyaknya perempuan yang awalnya berkarier, memutuskan untuk mengundurkan diri untuk mengurus keluarga. Kalau pun masih bekerja, banyak yang tidak memilih tanggung jawab yang besar karena khawatir tidak dapat menjalankan fungsinya dalam keluarga," pungkasnya.
Kondisi tersebut kemudian menjadi polemik tersendiri bagi perempuan. Mereka banyak diasumsikan kurang mampu menjalani peran yang lebih besar dan mengambil keputusan. Alhasil, tak sedikit yang menganggap bahwa perempuan tidak perlu diberikan peluang untuk menduduki posisi atas karena adanya asumsi bahwa mereka nanti tidak dapat menyeimbangkan kehidupan karier dan rumah tangga.
ADVERTISEMENT
"Hal ini membuat perempuan sering diasumsikan tidak mau dan tidak mampu. Banyak orang yang mempertanyakan bagaimana mereka bisa mengurus keluarga atau suami kalau diberi peluang. Jadi tanpa tanya pada perempuan, kita sudah menyimpulkan untuk tidak perlu menawarkan kesempatan. Ini juga membuat perempuan jadi terbiasa memilih bidang yang aman," ungkapnya.
Selain itu, faktor kedua adalah jumlah role model atau panutan perempuan di industri perbankan masih relatif sedikit dibandingkan dengan sekarang.
"Dulu role model atau panutan pada saat meniti karier itu relatif belum ada atau hanya sedikit. Bahkan dalam film saja, dulu saya menonton kisah putri kerajaan seperti Sleeping Beauty itu digambarkan hanya menunggu pangeran datang menyelamatkannya dan tujuan akhirnya yaitu kebahagiaan atau keberhasilannya adalah mendampingin pangeran. Kalau kita bandingin dengan hari ini, sudah ada banyak contoh seperti Mulan atau Moana yang mengedepankan peran perempuan sebagai pemimpin, bisa jadi diri sendiri, keluar dari kebiasaan atau tradisi. Kalau dulu relatif terbatas," jelasnya.
Tak hanya itu, Parwati Surjaudaja juga menambahkan bahwa perempuan sendiri juga memiliki andil tersendiri dalam kondisi ini. Sebab tak sedikit dari kita yang sering merasa bersalah ketika harus mengorbankan keluarga demi pekerjaan.
ADVERTISEMENT
"Alasan paling utama sebenarnya berasal dari perempuan sendiri. Mereka kerap merasa bersalah waktu mengorbankan sesuatu. Saya ingat dulu anak saya mengatakan kalau di acara sekolah hanya ada dua murid yang orang tuanya tidak datang, yaitu dia dan satu temannya. Meski dia merasa bangga kalau ibunya bekerja, tapi tetap saja saya punya perasaan bersalah," pungkasnya.