IBCWE Khawatir Cuti Melahirkan 6 Bulan Berdampak Buruk pada Karier Perempuan

9 Agustus 2022 15:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi cuti melahirkan. Foto: Makistock/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cuti melahirkan. Foto: Makistock/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pada Juni lalu, Ketua DPR RI Puan Maharani mengesahkan Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) sebagai RUU inisiatif DPR. Salah satu aturan terbaru yang diperkenalkan dalam RUU ini adalah perpanjangan cuti melahirkan bagi karyawan perempuan, yakni dari tiga bulan menjadi enam bulan.
ADVERTISEMENT
RUU KIA sendiri memiliki tujuan untuk menciptakan generasi unggul di Indonesia, dengan cara meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. RUU KIA juga dianggap menjadi jalan untuk mengentaskan permasalahan stunting di Indonesia.
Wacana cuti melahirkan 6 bulan ini membawa beragam opini. Ada yang setuju sepenuhnya, ada yang merasa bahwa terdapat aturan lain yang masih lebih penting yang bisa diangkat, ada pula yang merasa bahwa aturan ini perlu dikaji ulang.
Salah satu pihak yang menyuarakan kekhawatiran terkait wacana ini adalah Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE). IBCWE menilai, wacana cuti melahirkan enam bulan berpotensi membawa dampak buruk pada karier perempuan.
Ilustrasi perempuan karier. Foto: fizkes/Shutterstock
Misalnya, ada potensi terciptanya keengganan dunia usaha untuk merekrut karyawan perempuan di kemudian hari. Ini karena cuti melahirkan enam bulan tak hanya berdampak pada biaya ekstra pada perusahaan, tetapi juga pada daya saing perempuan di dunia kerja.
ADVERTISEMENT
“Perempuan di dunia kerja sudah banyak memiliki tantangan, salah satunya norma yang menyatakan bahwa kodrat perempuan itu adalah mengurus keluarga. Dengan adanya RUU KIA ini, akan semakin mengarah pada domestikasi perempuan,” kata Direktur Eksekutif IBCWE, Maya Juwita, sebagaimana dikutip dari keterangan resmi IBCWE yang diterima kumparanWOMAN.
IBCWE sendiri merupakan koalisi bisnis yang berkomitmen menciptakan kesetaraan gender dan pemberdayaan ekonomi perempuan. Koalisi ini dibentuk atas dukungan Pemerintah Australia lewat program Investing in Women.
Selain itu, Maya berpendapat, beberapa pasal dalam RUU KIA ini berpotensi mengembalikan perempuan ke ranah domestik alias rumah tangga. Padahal, di Indonesia, kampanye pembagian tugas domestik yang setara antara perempuan dan laki-laki tengah digencarkan. Oleh sebab itu, menurut Maya, perlu ada kajian lebih dalam soal poin-poin RUU KIA ini.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi cuti melahirkan. Foto: AlexSandraSml/Shutterstock
IBCWE turut menilai, seharusnya ada kajian komprehensif soal penambahan waktu cuti melahirkan yang dikaitkan dengan produktivitas pekerja perempuan serta dampak cuti terhadap keuangan perusahaan.
Kemudian, karena undang-undang bersifat mengikat dan mencakup seluruh elemen masyarakat, perlu juga dilakukan diskusi dengan pelaku usaha mikro dan kecil soal implementasi cuti melahirkan enam bulan. Ini bisa meliputi mekanisme pembayaran upah, keberlangsungan bisnis perusahaan, hingga persiapan kembali ibu bekerja pada saat selesai cuti.

Yang lebih penting ketimbang cuti melahirkan enam bulan

Dari perspektif perusahaan, sejumlah pihak menilai bahwa ada pilihan lainnya yang dirasa lebih menguntungkan bagi perempuan dan perusahaan ketimbang cuti melahirkan enam bulan. Simak selengkapnya berikut ini.

1. Sistem kerja fleksibel

Ilustrasi ibu bekerja dan bayinya. Foto: Shutter Stock
Salah satu pilihan yang dianggap akan sangat menguntungkan karyawan dan perusahaan adalah dengan menerapkan sistem kerja fleksibel yang bisa diambil setelah tiga bulan cuti melahirkan.
ADVERTISEMENT
“Kami sudah menerapkan cuti melahirkan selama enam bulan dan karyawan mengapresiasi inisiatif ini. Tetapi, yang lebih diapresiasi lagi adalah pemberian support yang lebih holistik, seperti sistem kerja yang fleksibel serta dukungan dari rekan kerja,” kata Inclusion and Diversity Manager PT HM Sampoerna Tbk, Melissa Sim.

2. Edukasi terhadap ayah

Dalam RUU KIA, bukan hanya cuti melahirkan enam bulan saja yang tercantum. Dalam Pasal 6 Ayat (2), tercatat bahwa ayah juga berhak menerima cuti pendampingan dengan jangka waktu maksimal 40 hari. Nah, ketika ayah mengambil cuti, ayah harus tahu apa yang harus dilakukan ketika mendampingi ibu dan anak yang baru dilahirkan.
“IBCWE memandang adanya kebutuhan edukasi bagi calon ayah terkait peran dan tugasnya saat melaksanakan cuti ayah atau pendampingan, sehingga cuti tersebut dapat tepat sasaran,” tulis IBCWE dalam keterangan resmi.
ADVERTISEMENT

3. Kejelasan cuti pendampingan ayah

Ilustrasi keluarga muda dan bayi. Foto: Shutter Stock
Terakhir, menurut Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah, perlu ada kejelasan soal cuti pendampingan. Menurut Alimatul, cuti ayah juga harus berbayar utuh, sehingga ayah tidak khawatir akan penghasilan keluarga ketika mengambil cuti pendampingan.
Dalam RUU KIA Pasal 6 Ayat (2), memang belum ada keterangan mengenai apakah cuti pendampingan berbayar penuh atau tidak. Pasal tersebut hanya menjelaskan soal jangka waktu cuti, yakni maksimal 40 hari untuk mendampingi istri melahirkan dan 7 hari untuk istri keguguran.