Ingin Mengembangkan Karier? Simak 5 Tips Leadership ala Stoisisme Berikut

12 Oktober 2022 20:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perempuan karier. Foto: Gorodenkoff/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan karier. Foto: Gorodenkoff/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Para filsuf stoa yang biasa mempraktikkan filsafat stoisisme atau stoik, rata-rata memiliki karier yang cemerlang semasa hidupnya. Ada nama legendaris Kaisar Romawi Marcus Aurelius, dia merupakan pemimpin stoik yang paling terkenal dalam sejarah. Dikutip dari Daily Stoic, Marcus memerintah selama hampir dua dekade dengan gaya kepimpinan yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentu ada kaitannya dengan ajaran filsafat yang menjadi pedomannya dalam memimpin bangsa hingga menjadi kerajaan yang besar. Stoisisme sendiri adalah aliran filsafat kuno yang mengajarkan seseorang cara hidup untuk memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi emosi negatif.
Ilustrasi perempuan bahagia di 2020 Foto: Shutterstock
Tujuan dari filsafat Stoisisme adalah untuk menjadikan individu pribadi yang lebih tangguh, lebih bahagia, lebih berbudi luhur dan lebih bijaksana agar nantinya menghasilkan orang yang lebih baik, dan menjadi profesional yang bijak di bidangnya. Maka dari itu, kebijaksanaan filsuf stoa dapat dijadikan referensi dalam mengejar karier, salah satunya mengenai leadership agar seseorang mampu menjadi pemimpin yang baik dan bijak.
Dikutip dari Forbes, berikut 5 prinsip kepemimpinan filsuf stoa yang bisa kamu terapkan untuk meningkatkan karier kamu. Simak selengkapnya, Ladies.
ADVERTISEMENT

1. Memento mori - ingatlah bahwa kamu akan mati

Ilustrasi perempuan karier. Foto: fizkes/Shutterstock
Jika dilihat secara sepintas, bahasa latin “mori” yang artinya mati memang tampak tidak wajar. Namun bagi orang yang mempraktikkan Stoa, prinsip ini mengajarkan mereka agar tidak menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal sepele. Momento mori juga mengajarkan bahwa kamu harus memperlakukan waktu sebagai hadiah.
Dilihat dari perspektif kepemimpinan, mempraktikkan prinsip ini berarti menjaga waktu sebaik-baiknya dan memprioritaskannya untuk hal yang lebih penting guna menciptakan karier dengan tujuan yang jelas. Bagi seorang pemimpin, hal ini penting karena seseorang akan mempertahankan urgensi tertentu dalam mengejar karier. Di samping itu, orang dengan prinsip ini akan menggunakan kemampuan terbaik untuk menghasilkan sesuatu yang berarti, tentunya bersama orang-orang yang berdedikasi tinggi. Inti dari memento mori adalah hidup ini cepat berlalu, maka manfaatkanlah sebaik mungkin.
ADVERTISEMENT

2. Amor fati - mencintai takdir

Ilustrasi Perempuan Karier. Foto: Shutterstock
Pemimpin yang memahami makna amor fati, yang dalam bahasa Indonesia artinya mencintai takdir, akan lebih mudah memahami serta mengikhlaskan hal-hal yang tidak dapat dikendalikan. Kegagalan yang termasuk bagian dari takdir ini justru akan dijadikan sebagai pengalaman belajar. Mencintai takdir juga berarti merangkul ketidakpastian agar seorang pemimpin dapat mudah beradaptasi untuk karier yang lebih cemerlang di masa depan.

3. Premeditatio malorum - rencanakan kegagalan yang mungkin terjadi

Para pemimpin dengan ajaran Stoa biasa membayangkan suatu kejadian buruk, bisa berupa kejahatan, kegagalan, atau kepahitan hidup yang dalam bahasa Latin disebut Premeditatio malorum. Hal ini dilakukan sebagai langkah terdepan untuk mempersiapkan kegagalan hidup yang tak terhindarkan. Mengadopsi prinsip ini, para pemimpin dapat mempersiapkan diri untuk kekecewaan agar diri tidak jatuh dalam keterpurukan. Jika prediksi itu benar terjadi, maka mereka akan menggunakan amor fati untuk melihatnya sebagai suatu keharusan atau takdir yang harus dijalani, bukan sebagai hal yang negatif.
ADVERTISEMENT

4. Sympatheia - saling ketergantungan

Ilustrasi perempuan berdiskusi di kantor. Foto: Shutterstock
Sympatheia” berasal dari bahasa Yunani Kuno yang artinya “keterikatan bagian-bagian dengan berbagai hal secara organik,” atau mudahnya adalah “saling ketergantungan.” Stoik Marcus berkata, “Apa yang buruk untuk sarang, berarti buruk pula bagi lebah.” Jadi, pemimpin dengan aliran ini tidak akan terjebak dengan masalah sendiri. Melainkan paham bagaimana semuanya saling terhubung dan bergantung satu sama lain yang akhirnya akan mendorongnya untuk jadi pribadi yang lebih baik dan berbuat baik untuk sesama.
Perlu dicatat, untuk meningkatkan karier, para pemimpin idealnya punya prinsip sympatheia untuk menghilangkan ego. Pasalnya, perusahaan sama seperti sebuah ekosistem yang terdiri dari banyak pihak yang terlibat. Gunakanlah empati untuk memahami orang-orang yang berada di bawah lingkup pekerjaan kamu. Prinsip ini juga membantu para leader menyadari bahwa mereka tidak bekerja sendirian, tetapi merupakan bagian dari suatu sistem yang lebih besar. Hal ini akan menimbulkan kebaikan yang lebih besar di luar kepentingan dan sifat egois diri sendiri.
ADVERTISEMENT

5. Summum bonum - kebaikan tertinggi

Adanya kepemimpinan yang mendukung kesetaraan gender. Foto: Shutterstock
Prinsip terakhir ini adalah tujuan utama yang harus dilaksanakan sebagai seorang stoa. Kita semua harus mencapai summum bonum atau kebaikan tertinggi. Bagi para pemimpin, prinsip ini wajib dilakukan karena akan menghasilkan integritas dan menjalankan pekerjaan dengan cara yang benar, bahkan ketika kondisi sulit atau tidak ada orang yang melihat. Jika seorang pemimpin dapat menunjukkan kebaikan tertinggi dengan kata-kata bijak, dan selalu menepati janji, maka leader tersebut akan dipandang sebagai pemimpin terpercaya yang selalu bersungguh-sungguh dan bercita-cita mewujudkan kebaikan tertinggi.
Nah, Ladies, dengan menerapkan lima prinsip dari ajaran filsafat Stoisisme tadi, niscaya kamu akan tumbuh dengan baik sebagai seorang pemimpin dan individu.