Kalis Mardiasih Ungkap Konten Body Goals dan Lainnya Picu Pola Pikir Komparatif

18 Juni 2022 22:22 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kalis Mardiasih. Foto: Cornelius Bintang/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kalis Mardiasih. Foto: Cornelius Bintang/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penulis & Gender Equality Campaigner, Kalis Mardiasih baru-baru ini membahas tentang comparative thinking atau pola pikir membandingkan diri dalam sebuah unggahan di akun Instagram pribadinya (@kalis.mardiasih).
ADVERTISEMENT
Hal ini bermula dari ia menerima ratusan balasan pesan dari Instagram Story soal lamarannya yang biasa saja. Saat lamaran, suaminya hanya membawa kardus mi instan berisi rengginang dan jenang buatan ibunya.
Dari sinilah, ia merasa bahwa dibutuhkan keberanian khusus bagi orang-orang untuk mengunggah hal biasa-biasa saja di media sosial (medsos). Paparan konten-konten yang menampilkan standar-standar kesempurnaan, menurutnya, justru berujung pada comparative thinking alias pola pikir komparatif.
“Setiap hari, kita terpapar unggahan body goals, relationship goals, life goals & goals lainnya yang diartikan sama dengan standar-standar kesempurnaan, ternyata berujung kepada comparative thinking atau perasaan membandingkan diri sendiri dengan orang lain,” tulis Kalis dalam unggahan tersebut.

Pola pikir komparatif muncul dari ekosistem media sosial

Ilustrasi media sosial. Foto: Shutterstock
Terkait pola pikir membandingkan diri, Kalis pun memaparkan lebih jauh kepada kumparanWOMAN. Kalis memaparkan bahwa pola pikir membandingkan diri muncul dari ekosistem media sosial.
ADVERTISEMENT
“Sudah banyak dibahas oleh data-data yang scientific tentang hubungan media sosial dengan perubahan perilaku, khususnya tentang self esteem, self worth, bagaimana seseorang melihat nilai dirinya sendiri di belantara media sosial,” ujar Kalis dalam wawancara secara virtual.
Menurutnya, salah satu yang mendasari pola pikir komparatif adalah tools yang ada di media sosial. Tools yang dimaksud adalah likes, shares, atau komentar.
“Misalnya, seberapa banyak likes yang kamu dapat, seberapa banyak shares yang kamu dapat, lalu komentar-komentar kayak pujian. Jadi, harus selalu sifatnya itu mengapresiasi berdasarkan apa yang kita unggah di media sosial,” ungkapnya.
Padahal, apa yang terjadi di dunia nyata berbeda dengan yang ditampilkan di medsos. Kebanyakan orang membagikan konten-konten yang penuh dengan kesempurnaan di medsos. Foto-foto yang bagus bermunculan di media sosial. Namun, tidak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi di balik konten tersebut.
Penulis dan aktivis perempuan, Kalis Mardiasih. Foto: dok. Istimewa
“Misalnya, dari satu foto itu kan sebetulnya dari ratusan take, terus difilter, lalu diedit, segala macam. Kita tidak tahu itu dan dia mendapatkan likes dan shares yang banyak dan membuat kita selalu menilai diri kita lebih buruk dari orang lain. Apalagi itu kemudian ditambah dengan algoritma media sosial.” tutur Kalis.
ADVERTISEMENT
Saat hendak menikah, kita pun mengikuti akun-akun penyedia jasa pernikahan yang menampilkan konten-konten pernikahan yang mewah dan ideal. Kalis juga sempat mengobservasi bahwa salah satu penyedia jasa itu punya jargon ‘Wujudkan Hari Pertunangan Ideal Kamu’.
“Dari jargon itu dia kemudian menawarkan dengan bahasa tujuh hal yang wajib ada di hari pertunangan kamu. Algoritma akan memunculkan itu terus-menerus, foto-foto pernikahan atau lamaran yang spesial. Lama-lama, kamu tidak melihat hal lain. Padahal di luar sana enggak semua orang bisa menyelenggarakan acara lamaran yang sebetulnya dibentuk oleh penyedia jasa, atau misalnya seleb atau artis,” ujar Kalis.

Kiat berhenti berpikir komparatif

WOMEN ON TOP - Ilustrasi Perempuan Percaya Diri Foto: Shutterstock/Makistock
Di tengah maraknya konten-konten yang menampilkan kesempurnaan, berhenti berpikir komparatif merupakan pilihan yang tepat. Namun, bagaimana caranya?
ADVERTISEMENT
Menurut Kalis, kiat berhenti memiliki pola pikir komparatif adalah dengan mengenal diri sendiri dan bisa mendefinisikan hal-hal yang membuat diri berharga. “Tahu apa yang kita mau, dan bisa mendefinisikan nilai diri yang kita inginkan. Karena nilai diri yang kita inginkan pasti berbeda dengan orang lain,” kata Kalis.
Setelah bisa memahami itu semua, kita tidak lagi menilai diri atau hidup berdasarkan standar orang lain. Kita juga memahami bahwa apa yang kita inginkan berbeda dengan orang lain.
“Dan perbedaan itu akhirnya tidak membuat kita berkecil hati atau memandang diri kita lebih rendah yang berujung pada lower self esteem. Tapi kita melihat bahwa, orang lain memiliki hidup yang berbeda dan itu tidak apa-apa karena kita punya hidup yang kita inginkan dan kita memaknai hari-hari yang kita jalani,” ungkap Kalis.
ADVERTISEMENT