Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Kekerasan Berbasis Gender Online yang Perlu Diwaspadai Saat Kencan Online
18 September 2020 20:09 WIB
ADVERTISEMENT
Ladies, pandemi ini memang membatasi aktivitas dan interaksi kita dengan orang lain. Bagi banyak orang, terutama yang belum berpasangan, kondisi ini menyebabkan timbulnya rasa kesepian. Hal tersebut mendorong sebagian orang memutuskan untuk menggunakan platform kencan online guna mencari pasangan yang bisa diajak berinteraksi.
ADVERTISEMENT
Tercatat sejak virus COVID-19 melanda dunia, ditambah penerapan lockdown di berbagai negara, pengguna platform kencan online mengalami peningkatan. Situs Dating.com melaporkan bahwa sejak awal Maret, jumlah pertemuan untuk berkencan melalui aplikasi tersebut meningkat 82%. Kemudian aplikasi Bumble mencatat peningkatan jumlah pesan yang dikirim kini mencapai 26% dan Tinder menyebutkan durasi percakapan meningkat 10-30%.
Namun sayangnya, seiring meningkatnya aktivitas kencan online, angka Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) pun ikut meningkat. Hal ini pun terjadi di Indonesia. Menurut Dwi Ayu Kartika, koordinator divisi pemantauan Komnas Perempuan, sejak dalam masa pandemi, total kasus KBGO sudah mencapai 354 kasus dalam waktu 5 bulan. Ini baru data dari pengaduan yang diterima oleh Komnas Perempuan. Faktanya, ada banyak kasus lainnya yang tidak terlaporkan.
ADVERTISEMENT
Tentunya, hal tersebut harus diwaspadai agar korban KBGO tidak terus bertambah. Lantas, apa itu KBGO dan bagaimana kekerasan ini bisa terjadi? Simak penjelasan berikut ini.
KBGO, kekerasan yang difasilitasi teknologi
Sebelum membahas mengenai Kekerasan Berbasis Gender Online atau KBGO, ada baiknya kita membahas mengenai Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terlebih dahulu. KBG adalah kekerasan yang secara spesifik ditujukan pada orang tertentu berdasarkan gender dan/ atau jenis kelamin. KBG ini mengakibatkan penderitaan secara fisik, mental atau psikis, dan ekonomi. Kekerasan tersebut bisa terjadi secara online yang difasilitasi teknologi sehingga disebut Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Pada kasusnya perempuan, kekerasan biasanya berupa pelecehan seksual yang bisa terjadi di sejumlah platform, seperti aplikasi chat, aplikasi kencan, media sosial, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan Komnas Perempuan, pada 2019, tercatat angka kasus KBGO sebanyak 281 kasus. Namun sejak dalam masa pandemi, angka tersebut meningkat menjadi 354 kasus sejak Januari hingga Mei. Menurut Dwi, korban biasanya mengalami lebih dari satu bentuk KBGO sekaligus, mulai dari sexting, cyber harassment, dan masih banyak lagi. Namun dari semua pola KBGO, yang paling sering terjadi adalah pengiriman foto yang intim dan kemudian berakhir mendapat ancaman dari pelaku.
Bagaimana KBGO bisa terjadi?
Saat hendak melakukan KBGO, para pelaku biasanya sudah mengatur langkah yang terstruktur agar korban percaya dengan bujuk rayunya. Ada yang memalsukan identitas dan foto profil, ada juga yang menggunakan situasi pandemi ini dengan memanfaatkan rasa empati korban agar mau mengeluarkan sejumlah biaya.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, pada beberapa kasus, pelaku awalnya mengajak korban berkenalan melalui aplikasi kencan online dan saling bertukar nomor, identitas, bahkan foto yang terkesan intim. Informasi yang diberikan korban kemudian dimanfaatkan para pelaku untuk mengancam dan meminta korban melakukan transaksi dengan jumlah uang yang ditentukan. Bila permintaan tersebut tidak dipenuhi, pelaku biasanya mengancam akan menyebarkan foto dan identitas korban ke platform online, termasuk situs yang mengarah ke pornografi. Bagi para korban, hal tersebut kerap memengaruhi mental mereka dan rentan mengalami depresi karena merasa ketakutan.
Maraknya kasus ini mestinya menjadi perhatian setiap orang, terutama para pembuat kebijakan agar tidak ada lagi kasus serupa yang terjadi. Namun, sayangnya saat ini belum ada undang-undang yang mengatur masalah KBGO ini. Selain itu, Dwi mengatakan bahwa perlindungan hukum untuk korban cenderung masih lemah karena dengan undang-undang yang berlaku saat ini, korban justru rentan terjerat pasal pornografi hingga UU ITE.
ADVERTISEMENT
“Risiko yang juga sangat sedih sebenarnya terkait kebijakan ya, walaupun dia korban, tetapi undang-undang pornografi kita dan UU ITE belum bisa mengidentifikasi kalau ini (korban) bukan pelaku,” ujar Dwi dalam Virtual Talk Kumparan (17/9) kemarin.
Penulis: Adinda Cindy Lapod
----
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona )