Kekerasan terhadap Perempuan Marak Terjadi di Politik, Parlemen Sahkan Deklarasi

10 Desember 2022 20:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi lingkungan kerja toxic. Foto: Getty Images/Tuaindeed
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi lingkungan kerja toxic. Foto: Getty Images/Tuaindeed
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di momen peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP) yang berlangsung sejak 25 November hingga 10 Desember, banyak badan dan lembaga yang menegakkan upaya menghapuskan kekerasan berbasis gender di berbagai bidang. Salah satunya adalah kekerasan di ranah politik, Ladies.
ADVERTISEMENT
Ya, mungkin masih banyak yang belum mengetahui bahwa kekerasan terhadap perempuan saat ini marak terjadi di ranah politik, termasuk di Indonesia. Politik sejak lama dianggap sebagai ruang yang terlalu keras bagi perempuan. Padahal, hak berpartisipasi dalam politik merupakan hak yang dimiliki seluruh gender, tak terkecuali perempuan.
Apa itu kekerasan terhadap perempuan dalam politik? Nah, menurut UN Women, ini adalah setiap tindakan atau ancaman kekerasan fisik, seksual, dan psikologis yang menghalangi perempuan untuk menjalani hak-hak politik dan hak asasi manusia, baik di ruang publik maupun pribadi.
Acara Aksi Parlemen Melawan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Politik di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (28/11/2022). Foto: Judith Aura/kumparan
Sebagai salah satu upaya untuk melawan bentuk kekerasan ini, Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPRI) bersama UN Women dan Westminster Foundation for Democracy (WFD) melaksanakan sebuah forum diskusi khusus pada Selasa (29/11).
ADVERTISEMENT
Forum bertajuk “Aksi Parlemen Melawan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Politik” ini menyasar pembahasan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang selama ini tidak disadari, bahkan justru dinormalisasi.
“Kekerasan, kan, tidak hanya fisik. Hampir semua politisi perempuan punya pengalaman di-underestimate. Kita sering kali dianggap tidak pantas menempati posisi tertentu, atau diragukan kemampuannya; ‘Benar, tidak, dia mampu?’,” ucap Diah Pitaloka, Ketua Presidium KPPRI, di Gedung Nusantara 2, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
“Belum lagi kita berhadapan dengan stereotipe, ya. Perempuan itu misalnya tidak pantas jadi pemimpin, ya, atau perempuan itu tidak dalam kapasitas untuk bisa mengendalikan emosi. Saya pikir ini adalah hal-hal yang tidak pas, di momentum sekarang masih ada cara pikir yang stereotipe atau diskriminasi,” lanjutnya.
Acara Aksi Parlemen Melawan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Politik di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (28/11/2022). Foto: Judith Aura/kumparan

Penandatanganan deklarasi yang melawan kekerasan dalam politik

Di forum tersebut, perwakilan KPPRI, fraksi sejumlah partai politik di DPR RI, serta DPD RI turut menandatangani sebuah deklarasi, Ladies. Deklarasi tersebut bertajuk “Deklarasi Parlemen untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pemilu.”
ADVERTISEMENT
Isi dari deklarasi tersebut adalah mendorong partisipasi perempuan dan akses yang setara dalam politik, baik posisi kepemimpinan maupun posisi pengambilan keputusan. Deklarasi ini turut mengecam tindakan dan ancaman kekerasan terhadap perempuan yang bisa menghalangi haknya dalam berpolitik.
“Kami menyerukan semua lembaga politik, masyarakat, untuk segera memastikan perlindungan perempuan dari segala bentuk tindak kekerasan, sebagai warga negara yang turut berpartisipasi dalam proses Pemilu 2024,” demikian kutipan dari deklarasi tersebut.
Deklarasi itu pun ditandatangani oleh perwakilan KPPRI, Fraksi PDIP, Fraksi Partai Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, serta perwakilan DPD RI.
Acara Aksi Parlemen Melawan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Politik di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (28/11/2022). Foto: Judith Aura/kumparan

Diskusi soal penciptaan ruang aman bagi perempuan dalam politik

Penandatanganan deklarasi itu dilanjutkan dengan diskusi panel oleh Anggota DPR Fraksi PKB dan Sekjen KPPRI, Luluk Nur Hamidah; Calon Anggota DPR dari Partai Nasdem, Anggiasari Puji Aryatie; Komisioner Komnas Perempuan, Olivia Chadijah Salampessy; dan Ketua DPP Nasdem dan Anggota DPR RI Willy Aditya.
ADVERTISEMENT
Diskusi tersebut membahas berbagai hal terkait penciptaan ruang aman bagi perempuan dalam politik. Mulai dari bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam politik, hingga data-data kejadian kekerasan terhadap perempuan dalam politik.
“Indonesia ada di posisi ke 92 untuk ketimpangan gender di seluruh dunia. Kekerasan terhadap perempuan dalam politik itu dalam bentuk fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi,” ucap Olivia Chadijah Salampessy, Komisioner Komnas Perempuan.
Acara Aksi Parlemen Melawan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Politik di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (28/11/2022). Foto: Judith Aura/kumparan
Menurut Olivia, bentuk kekerasan fisik terhadap perempuan dalam politik bisa meliputi pembunuhan dan penculikan. Sementara kekerasan psikologis meliputi pembunuhan karakter, kekerasan secara virtual, dan perundungan atau bullying.
“Kekerasan secara seksual juga sering terjadi, seperti pelecehan seksual, atau foto-foto politisi perempuan dipermalukan di publik dengan alasan pornografi atau seksualitas. Itu dipakai oleh lawan politik dan sasarannya pada calon [anggota parlemen],” jelas Olivia.
ADVERTISEMENT
Bentuk lainnya adalah kekerasan secara ekonomi. Ini terjadi ketika politisi perempuan mengalami kehilangan properti kampanye atau publikasi lewat pencurian dan perusakan.
Acara Aksi Parlemen Melawan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Politik di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (28/11/2022). Foto: Judith Aura/kumparan
Dari diskusi interaktif selama hampir satu jam ini, Sekjen KPPRI Luluk Nur Hamidah menyimpulkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apa pun tidak bisa dinormalisasi.
“Kekerasan terhadap perempuan dalam politik tidak bisa dianggap normal. It’s not a normal part of politics, ini tidak bisa dinormalisasi. Semua bentuk kekerasan apa pun bentuknya, baik fisik, nonfisik, maupun seksual harus dianggap pelanggaran HAM dan hak konstitusional, dan harus dilawan bersama,” tegas Luluk.