Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Ladies, siapa yang sudah menonton drama Korea The Glory ? Setelah delapan episode part 2 dirilis, serial ini ramai diperbincangkan dan masuk dalam daftar tontonan Global Top Ten di Netflix.
ADVERTISEMENT
Drama Korea Netflix yang diperankan oleh Song Hye Kyo sebagai tokoh utama (Moon Dong-eun) tersebut menceritakan kisah balas dendam seorang korban bullying yang menghabiskan masa mudanya untuk menyusun rencana tersebut.
Drama yang menggunakan plot bullying sebagai alur utamanya ini merupakan penggambaran kisah nyata yang terjadi di sekolah-sekolah Korea Selatan.
Topik seputar intimidasi dan bullying di sekolah sering kali terjadi di Korea Selatan dan menjadi tema utama yang terlihat dalam banyak drama, webtoon, atau film. Kim Eun-sook–penulis drama populer seperti Goblin, Descendants of the Sun, dan Mr. Sunshine—terinspirasi untuk menulis The Glory karena anak perempuannya bertanya seputar kekerasan di sekolah.
“Ibu, apakah kamu akan patah hati jika aku memukuli seseorang hingga hampir meninggal atau jika aku dipukuli oleh orang lain hingga hampir meninggal?” ujar putri Kim Eun-sook. Ia pun menjawab pertanyaan anaknya melalui cerita The Glory.
ADVERTISEMENT
Pada bagian pertama, The Glory memulai cerita dengan siksaan psikologis dan fisik yang dirasakan oleh Dong-eun dengan detail yang menyakitkan. Di bagian kedua, drama Korea ini membuat Dong-eun mendapat keadilan yang sebelumnya pernah ditolak oleh masyarakat karena adanya ketimpangan kelas sosial.
Ungkap masalah kehidupan nyata di Korea Selatan lewat cerita naratif
Dikutip dari Time, saat menciptakan naskah The Glory, Kim benar-benar meneliti kekerasan sekolah sistemik (bullying) yang berdampak pada masyarakat Korea selama beberapa dekade. Hal ini didukung oleh fakta bahwa bullying merupakan masalah yang beredar luas di Korea dan menjadi penyebab kematian nomor satu bagi generasi muda sejak 2007.
Pemerintah setempat pun telah bekerja keras untuk mengatasi masalah tersebut dalam beberapa dekade terakhir. Di tahun 2004, misalnya, Korea mengeluarkan undang-undang bernama The Special Act on School Violence Prevention karena sebelumnya ada beberapa remaja yang meninggal karena bunuh diri usai di-bully.
ADVERTISEMENT
Undang-undang baru tersebut akan mengarah pada pembentukan komite sekolah untuk memantau kasus bullying. Kendati demikian, Korea Times melansir bahwa kasus intimidasi, bullying, dan kekerasan di sekolah masih menjadi masalah utama.
Dalam adegan The Glory, Dong-eun mengalami bullying dan kekerasan yang sangat parah dari teman-temannya. Detail dari kekerasan sekolah ini rupanya digambarkan dari kisah nyata yang terjadi di sebuah sekolah perempuan di Cheongju, Korea Selatan pada 2006.
Dalam insiden tersebut, tiga orang perempuan di kelas 3 SMP mem-bully teman sekelasnya sendiri selama 20 hari. Kasus tersebut termasuk membakar kulit korban dengan catokan, persis seperti yang terjadi dalam drama The Glory.
Kekerasan di sekolah tersebut mengakibatkan korban dirawat inap selama enam minggu karena cedera, salah satunya tulang ekor yang menonjol karena patah. Tidak hanya luka fisik, korban bullying juga akan terluka secara psikologis apabila ada sesuatu yang memicu traumanya kembali.
ADVERTISEMENT
Bullying dapat terjadi salah satunya karena faktor ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku dan korban. Dalam drama Korea ini, bullying digambarkan dalam kelas sosial. Penelitian yang dilakukan dari The Conversation pada 2014 menunjukkan bahwa intimidasi ini lebih umum terjadi dalam struktur sosial di mana terdapat ketidaksetaraan finansial atau sosial.
Respons terhadap pelaku bully dan kekerasan di sekolah
Dalam insiden nyata yang menginspirasi drama The Glory, pelaku bully menerima konsekuensi atas tindakan sadisnya dengan catokan panas. Menurut Korea Herald, pelaku ditangkap dan pihak sekolah serta guru yang melakukan kekerasan terhadap korban juga menerima tindakan administratif.
Di masyarakat luas, Korea Selatan juga menerapkan cancel culture, yakni menolak dengan keras seseorang pelaku bullying atau kekerasan lainnya. Tidak segan-segan, pelaku bisa langsung dikeluarkan dari agency, tempat kerja, hingga tidak bisa muncul lagi di publik.
Sebagai penulis, Kim akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaan anak perempuannya yang masih remaja. “Jika putri saya dipukuli sampai mati, mungkin ada solusi dan solusi itu akan menarik semua pelaku ke neraka karena saya punya uang untuk melakukannya,” ujar Kim saat konferensi pers The Glory musim kedua.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, Kim menganggap bahwa Dong-eun tidak memiliki akses pada perlindungan atau keadilan karena tidak memiliki uang dan status sosial. Makanya, ia harus mencari keadilannya sendiri selama bertahun-tahun kemudian. Sebab, institusi masyarakat yang tidak jujur (korup) pasti tak mau meminta pertanggungjawaban orang yang kaya dan jahat dengan berbagai cara.