Kisah Putri Kerajaan Burundi yang Kabur dari Konflik & Jadi Model di Prancis

16 Juni 2020 18:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Putri Esther Kamatari dari Kerajaan Burundi Afrika Timur. Foto: dok. Instagram/ @estherkamatari
zoom-in-whitePerbesar
Putri Esther Kamatari dari Kerajaan Burundi Afrika Timur. Foto: dok. Instagram/ @estherkamatari
ADVERTISEMENT
Jika bicara soal kerajaan, tentu Anda sudah sangat familiar dengan kerajaan dunia seperti Kerajaan Inggris, Yordania, Brunei Darussalam, Thailand, atau mungkin Kekaisaran China hingga Bhutan. Namun bagaimana dengan kerajaan kecil seperti Burundi yang berada di Afrika Timur?
ADVERTISEMENT
Ya, sebagian besar dari kita memang tidak mengetahui bahwa ternyata di Afrika juga ada sebuah kerajaan bernama Burundi yang saat ini sudah tidak aktif lagi. Dibentuk pada abad ke-17, Kerajaan Burundi berada di bawah naungan pemerintahan kolonial Eropa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Sempat menjadi jajahan Jerman dan Belgia, kerajaan ini akhirnya merdeka sejak 1962 hingga 1966.
Sayangnya kebebasan kerajaan tersebut tidak bertahan lama karena terjadi kekerasan antar suku Hutu dan Tutsi yang tinggal di area Kerajaan Burundi pada sekitar tahun 1963 sampai 1965. Sejak saat itu, semua anggota keluarga kerajaan mulai mengasingkan diri dan tinggal di Prancis hingga sekarang.
Salah satunya adalah Putri Esther Kamatari, anak dari Pangeran Ignace Kamatari yang merupakan cicit dari Raja Ntare IV Rutaganzwa Rugamba yang memimpin Kerajaan Burundi di tahun 1796-1850.
ADVERTISEMENT
Putri Esther melarikan diri dari Kerajaan Burundi pada 1970, tak lama setelah ayahnya dibunuh. Ia mengaku tak bisa lagi tinggal di tempat di mana ayahnya dibunuh dengan kejam.
“Saat menyaksikan kematian ayah, saya menyadari bahwa kita bisa kehilangan segalanya dalam sekejap. Dia adalah seorang pangeran, semua orang menghormatinya, bahkan anak-anak juga menyukai ayah saya, tapi dia malah dibunuh. Jadi saya memutuskan untuk tidak lagi tinggal di negara yang membunuh ayah saya,” ungkap Putri Esther Kamatari dalam wawancara eksklusif bersama Insider.
Membaca pernyataan Putri Esther membuat kita menyadari bahwa kehidupan sebagai keluarga kerajaan tidak selamanya bahagia, bergelimang harta, dan kepopuleran seperti yang terjadi pada kerajaan Inggris.
Melarikan diri ke Prancis dan merintis karier jadi model
ADVERTISEMENT
Tak lagi menjadi anggota keluarga kerajaan menuntut Putri Esther untuk bisa jadi perempuan yang lebih dewasa meski masih berusia remaja. Di usia 13 tahun, ia harus menelan pil pahit karena ayahnya dibunuh dan delapan bulan kemudian, pamannya juga dibunuh.
Kematian dua keluarga dekatnya ini menandai hancurnya Kerajaan Burundi. Sebelum menjadi korban pembunuhan atau kekerasan seperti keluarganya, Putri Esther pun menggunakan uang biaya kuliahnya untuk membeli tiket pesawat satu arah ke Paris, Prancis. Kala itu, ia tidak mengenal siapapun dan tidak memiliki informasi apapun mengenai Paris. Ia hanya tahu soal Menara Eiffel yang menjadi ikon kota mode tersebut.
Sesampainya di Paris, tentu saja Esther muda harus mengalami shock culture yang begitu kuat. Bahkan setiap orang yang ia temui tak percaya bahwa dirinya adalah seorang putri kerajan. Sebab tidak banyak yang tahu bahwa juga Afrika memiliki kerajaan.
ADVERTISEMENT
Namun seiring berjalannya waktu, Putri Esther berhasil membuat orang percaya bahwa ia memang keturunan bangsawan kerajaan. Dan karena gelar HRH yang disandangnya, Putri Esther pun berhasil meraih kesuksesan menjadi model di industri fashion.
Menurut laporan Insider, Putri Esther menjadi model kulit hitam pertama di Prancis. Sebagai model, Esther pun banyak bekerja sama dengan brand kenamaan dunia, seperti Lanvin, Paco Rabanne, Pucci, dan Jean-Paul Gaultier. Kesuksesannya dalam dunia modeling kemudian membuat Putri Esther di tahun 2010 menjadi pelatih model untuk Culture and Creation, sebuah peragaan busana yang diadakan di Prancis dengan menyatukan model dari 40 negara di dunia mode.
Putri Esther mengaku dulu di tahun ‘70-an dunia fashion masih dipenuhi dengan rasa ingin tahu dan terbuka. Jadi ia tak merasakan adanya ketidaksetaraan karena ia berkulit hitam. “Saat berkaca, kamu tidak akan menilai dirimu berdasarkan kulit hitam, putih, atau bahkan pink. Kamu akan melihat dirimu sendiri di cermin,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, bukan berarti dunia mode sudah inklusif pada waktu itu. Sebab Putri Esther sempat mengalami kesulitan menemukan makeup yang khusus dibuat untuk kulit hitam.
Aktif di dunia politik dan mencalonkan diri jadi presiden
Setelah puluhan tahun mengasingkan diri, Putri Esther Kamatari pun ingin kembali ke tempat asalnya dan memperjuangkan kehidupan masyarakatnya.
Di tahun 2004, Esther mencalonkan diri sebagai presiden Burundi. Ia mengaku banyak perempuan Burundi datang padanya dan mengatakan mereka butuh sosok first lady. “Banyak perempuan Burundi yang datang pada saya dan meminta agar saya maju jadi presiden supaya kita bisa punya first lady yang nyata,” ungkapnya pada The Independent pada 2004.
Salah satu prioritas pertamanya sebagai kandidat presiden adalah mengembalikan sistem pemerintahan monarki ke Burundi.
ADVERTISEMENT
“Lihatlah negara-negara seperti Inggris, Denmark dan Spanyol yang saat ini masyarakatnya memiliki kebebasan tinggi. Mereka semua tinggal di negara kerajaan yang anggota kerajaannya tak pernah dihapuskan,” tuturnya.
Kini, Putri Esther pun masih berusaha mengembalikan sistem monarki di Burundi dan mengadakan referendum karena ia merasa masyarakat asli Kerajaan Burundi tak pernah menginginkan negaranya berubah menjadi sebuah republik. Hak mereka dirampas secara paksa.
“Raja Burundi dibunuh pada tahun 1972, tapi tidak ada yang pernah bertanya kepada masyarakat apakah mereka menginginkan sebuah republik. Sekarang, saya ingin mengadakan referendum, untuk memberikan rakyat pilihan supaya kerajaan bisa kembali,” ungkapnya.