Komnas Perempuan: Ada Relasi Kuasa dalam Dugaan Pelecehan Seksual Univ Pancasila

28 Februari 2024 18:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pelecehan seksual di kantor. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pelecehan seksual di kantor. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memberikan respons terkait kasus dugaan pelecehan seksual oleh rektor Universitas Pancasila, Prof. Edie Toet Hendratno, terhadap dua pegawainya. Menurut Komnas Perempuan, terdapat relasi kuasa yang berlapis dalam kasus ini.
ADVERTISEMENT
Diketahui, dua pegawai perempuan Universitas Pancasila disebut mengalami pelecehan seksual oleh Edie di waktu yang berbeda. Korban pertama melaporkan, ia dilecehkan pada Desember 2022. Sementara itu, korban kedua dengan inisial RZ menyebut dirinya dilecehkan pada Februari 2023. RZ akhirnya melaporkan dugaan pelecehan seksual tersebut kepada Polda Metro Jaya pada Februari 2024.
Dalam keterangan resmi, Komnas Perempuan mengapresiasi keberanian dua korban untuk melapor ke pihak berwajib. Mereka mengatakan, ada relasi kuasa berlapis yang mungkin menyebabkan para korban sebelumnya merasa takut untuk melapor.
Rektor Universitas Pancasila, Prof. Dr. Edie Toet Hendratno. SH. M,Si. Foto: univpancasila.ac.id
“Dalam kasus yang diadukan, pelapor berada pada posisi relasi kuasa berlapis, yakni pertama, sebagai perempuan yang dikonstruksikan sebagai subordinat yang berhadapan dengan laki-laki. Kedua, karyawan atau bawahan sebagai penerima kerja dari atasannya. Ketiga, ketimpangan dalam tingkat pendidikan dan pengetahuan antara perempuan korban dengan terduga pelaku,” ucap Komnas Perempuan dalam keterangan yang dirilis pada Senin (26/2).
ADVERTISEMENT
Komnas Perempuan mengatakan, relasi kuasa yang timpang dan berlapis menjadi salah satu faktor terjadinya kekerasan seksual dan menyebabkan korban takut melapor. Hal ini diperburuk dengan situasi ketika pelecehan terjadi, yang biasanya terjadi dalam kondisi sepi tanpa saksi.
“Akibatnya, keterangan korban pun kerap disangkal dan diragukan kebenarannya. Korban karenanya membutuhkan waktu dan dukungan untuk dapat bersuara dan melaporkan kasusnya. Bahkan, ada korban yang dilaporkan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik, termasuk nama baik perguruan tinggi. Belum lagi kondisi korban terkait trauma akibat kekerasan yang dialaminya itu. Karenanya, korban umumnya membutuhkan penguatan terlebih dahulu untuk kemudian berani bicara dan melapor,” ungkap Komnas Perempuan.
Ilustrasi perempuan menenangkan korban pelecehan seksual. Foto: Hananeko_Studio/Shutterstock
Sebelumnya, kuasa hukum Edie Toet Hendratno, Raden Nanda Setiawan, menegaskan bahwa ada kejanggalan dalam pelaporan dua korban. Sebab menurutnya, laporan dilayangkan satu tahun usai waktu kejadian dan sebelum digelarnya pemilihan rektor.
ADVERTISEMENT
"Terlebih lagi isu pelecehan seksual yang terjadi satu tahun lalu, terlalu janggal jika baru dilaporkan pada saat ini dalam proses pemilihan rektor baru," ujar Raden kepada kumparanNEWS, Minggu (25/2).
Raden pun membantah Edie melakukan pelecehan seksual terhadap dua pegawainya.
"Berita tersebut kami pastikan didasarkan atas laporan yang tidak benar, dan tidak pernah terjadi peristiwa yang dilaporkan tersebut,” ucapnya.
Per Selasa (27/2), Edie Toet Hendratno dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Rektor Universitas Pancasila sebagai buntut dari kasus ini. Ia tidak dicopot dari jabatannya, melainkan hanya berstatus nonaktif sampai akhir masa baktinya pada 14 Maret mendatang.

Komnas Perempuan kawal proses penanganan kasus

Ilustrasi kekerasan seksual kepada wanita berhijab. Foto: Shutterstock
Komnas Perempuan menegaskan bahwa mereka akan terus mendorong Kepolisian untuk menangani kasus ini dengan mengacu pada Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Ini juga meliputi pelindungan dan pemulihan korban.
ADVERTISEMENT
Universitas Pancasila juga didesak untuk mengambil langkah-langkah yang telah dimandatkan dalam Permendikbud No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, serta Permenaker No. 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja.
“Yang intinya, mewajibkan perguruan tinggi sebagai pemberi kerja melakukan penanganan dan pemenuhan hak korban atas pelindungan dan pemulihannya,” ucap Komnas Perempuan.
Terakhir, Komnas Perempuan juga meminta media massa untuk menyajikan pemberitaan yang melindungi korban dan mengajak masyarakat mendukung pemulihan korban.