Komnas Perempuan Sebut Syarat Poligami ASN Jakarta Bersifat Diskriminatif

20 Januari 2025 19:03 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi poligami. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi poligami. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Penjabat (Pj) Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ), Teguh Setyabudi, baru-baru ini menerbitkan aturan terkait praktik poligami untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemprov DKJ. Dalam aturan itu, ASN diperbolehkan poligami atas izin atasan. Namun, menurut Komnas Perempuan, aturan itu justru mendiskriminasi perempuan.
ADVERTISEMENT
Aturan terkait poligami itu tercantum dalam Peraturan Gubernur (Pergub) No. 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian. Pergub itu diterbitkan pada 6 Januari 2025.
Dalam Pergub itu, dijelaskan bahwa izin untuk beristri lebih dari satu orang dan izin untuk perceraian harus diperoleh dari atasan. Syarat-syarat pernikahan poligami diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Pergub No. 2 Tahun 2025. Pasal 4 menjelaskan aturan perizinan perkawinan poligami, sementara Pasal 5 berfokus pada syarat-syarat berpoligami bagi ASN:
Ilustrasi poligami. Foto: Meiliani/kumparan
Pasal 5
(1) Izin beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dapat diberikan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Alasan yang mendasari perkawinan:
ADVERTISEMENT
b. Mendapat persetujuan istri atau para istri secara tertulis;
c. Mempunyai Penghasilan yang cukup untuk membiayai para istri dan para Anak;
d. Sanggup berlaku adil terhadap para istri dan para Anak;
e. Tidak mengganggu tugas kedinasan; dan
f. Memiliki putusan pengadilan mengenai izin beristri lebih dari seorang.
(2) Izin beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tidak dapat diberikan apabila:
a. Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai ASN yang bersangkutan;
b. Tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
c. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau
e. mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.

Disebut diskriminatif terhadap perempuan

Ilustrasi pasangan bertengkar. Foto: Hananeko_Studio/Shutterstock
Komnas Perempuan pun menanggapi aturan poligami ASN tersebut. Lewat keterangan resminya, Komnas Perempuan mengatakan bahwa syarat-syarat yang dicantumkan justru mendiskriminasi perempuan.
ADVERTISEMENT
Menurut Komnas Perempuan, alasan “istri tidak dapat menjalankan kewajibannya” dianggap bersifat subjektif. Sebab, alasan tersebut berlandaskan pada pola pikir patriarkis yang sepenuhnya membebankan peran pengasuhan dan perawatan pada perempuan. Penilaian subjektif ini pun cenderung merugikan perempuan.
“Alasan istri tidak dapat melakukan kewajibannya bersifat subjektif, kerap mengacu pada konstruksi masyarakat patriarki yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, dengan peran-peran domestik pengasuhan dan perawatan yang seolah eksklusif menjadi tugas perempuan, dan cenderung mengabaikan kausalitas dalam tidak terselenggaranya tugas tersebut dalam relasi suami dan istri,” papar Komnas Perempuan dalam keterangan resmi yang dirilis pada Sabtu (18/1).
Ilustrasi perempuan menyendiri. Foto: Shutter Stock
Kemudian, Komnas Perempuan menyebutkan, alasan “istri tidak dapat melahirkan keturunan” membuat perempuan hanya dinilai lewat kapasitas reproduksi mereka. Ketika perempuan tak bisa melahirkan keturunan, nilai mereka sebagai manusia dan istri seakan menurun.
ADVERTISEMENT
Pun dengan alasan “istri mengalami cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan”. Komnas Perempuan menilai, syarat ini bersifat diskriminatif terhadap perempuan penyandang disabilitas, seakan-akan mereka lebih buruk ketimbang perempuan tanpa disabilitas.

Poligami, salah satu faktor penyebab kekerasan terhadap perempuan

Komnas Perempuan menjelaskan, praktik poligami juga menjadi salah satu faktor penyebab kekerasan terhadap perempuan. Sebab, poligami biasanya diawali dengan perselingkuhan. Perselingkuhan kerap menyebabkan tekanan psikologis terhadap perempuan dan penelantaran oleh suami.
“Perkawinan poligami kerap diawali dari perselingkuhan, yang mengakibatkan penderitaan psikologis dan juga penelantaran pada pasangan, termasuk dan tidak terbatas pada pemberian nafkah. Tindakan serupa ini merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga, khususnya dalam bentuk kekerasan fisik dan penelantaran,” jelas Komnas Perempuan.
Ilustrasi cerai atau perceraian. Foto: Shutterstock
Badan Peradilan Agama (Badilag) pada 2023 mencatat ada 391.296 pengajuan perceraian, di mana 701 di antaranya karena alasan poligami; 32.646 karena alasan ditinggalkan salah satu pihak; dan 240.987 karena perselisihan terus menerus.
ADVERTISEMENT
“Baik penelantaran maupun perselisihan terus-menerus ditengarai terkait dengan isu perselingkuhan dan praktik beristri lebih dari satu,” imbuh Komnas Perempuan.
Kemudian, praktik poligami sering kali sengaja tidak dicatatkan atau tidak dilakukan secara prosedural karena dilakukan tanpa izin istri, izin atasan, dan izin pengadilan. Menurut Komnas, praktik ini merupakan tindak kejahatan perkawinan. Sebab, suami dengan sengaja tidak menginformasikan istri atau mengabaikan penghalang keabsahan atas perkawinan poligami yang hendak dilakukan.