LBH APIK Jakarta: Kasus Novia Widyasari Menjadi Refleksi Kami

7 Desember 2021 13:30 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan.  Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ladies, kalian pasti telah mengetahui kasus bunuh diri yang terjadi pada Novia Widyasari, perempuan korban kekerasan seksual. Ia telah mengakhiri hidupnya di makam ayahnya di Mojokerto, Jawa Timur. Mahasiswi tersebut bunuh diri dengan meminum racun karena depresi setelah disuruh aborsi oleh pacarnya.
ADVERTISEMENT
Mengutip kumparanNEWS, di media sosial, terungkap informasi bahwa tekanan psikologis yang diterima korban, mulai dari kekasihnya hingga orang tua kekasihnya, membuat korban putus asa dan dihantui rasa bersalah, sehingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Kasus ini telah menarik perhatian masyarakat Indonesia, termasuk Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia (LBH APIK) Jakarta. Kepada kumparanWOMAN, Direktur LBH APIK Jakarta, Siti Mazumah mengatakan, "Sedih dan miris karena kita terlambat mengetahui dan membantu Novia ketika dia lagi masa krisis pada kasus kekerasan seksual yang dia alami."
Menurut Siti, kasus Novia Widyasari menjadi refleksi LBH APIK Jakarta terkait sejauh mana jangkauan layanan dan sosialisasi yang sudah diberikan. Siti juga memiliki harapan besar terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa yang perlu dilakukan oleh masyarakat agar tidak terjadi kasus serupa, yakni berupaya mencari lembaga layanan untuk korban kekerasan seksual. “Atau cerita pada orang terdekat yang bisa mendengarkan dan menguatkan. Jangan pernah menghadapi sendiri kasusnya, entah siapa pun pelakunya, minta pendampingan ke lembaga layanan korban,” imbuh Siti.
Ia pun menyoroti peran pemerintah untuk menekan kasus serupa dengan mereformasi birokrasi, khususnya layanan pembuatan laporan di kepolisian untuk kasus kekerasan seksual atau kekerasan terhadap perempuan.
“Sudah berapa banyak kasus kekerasan seksual yang muncul di publik dan polisi baru bergerak. Ada Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di kepolisian, penguatan kapasitas dan kelembagaan unit PPA di tingkat kepolisian sebagai garda terdepan dalam menangani dan melayani laporan dan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual yang membutuhkan perspektif khusus,” tutur Siti.
ADVERTISEMENT