Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Entah di media sosial atau di dunia nyata, aksi body shaming seolah tak pernah ada habisnya. Kalimat-kalimat seperti 'kamu gendut banget? Nggak takut susah punya pacar?', 'Mukanya enggak pernah dirawat ya? Banyak banget jerawatnya' atau 'Kulitnya kok hitam banget sih, putihin dong!', mungkin pernah 'mampir' di telinga kita atau tak sengaja melintas di kolom komentar media sosial kita.
Ya, nyatanya, body shaming atau kritik kepada seseorang berdasarkan bentuk tubuh dan penampilannya masih banyak dilakukan. Tak hanya di Indonesia, namun juga ini menjadi semacam kebiasaan bagi masyarakat di berbagai tempat. Contohnya di Korea Selatan yang merupakan salah satu negara dengan standar kecantikan sangat tinggi, di mana definisi perempuan ideal adalah mereka yang memiliki tubuh tinggi semampai, langsing, rambut panjang dan wajah tirus.
Beberapa selebriti Korea Selatan seperti penyanyi Hyolyn dan Hwasa 'Mamamoo' pernah dianggap terlalu 'hitam' untuk seorang idola K-Pop. Jihyo 'Twice' dan Umji 'GFRIEND' sempat di-bully karena tubuhnya gemuk dan tidak cocok jadi seorang idola. Sedangkan YoonA 'SNSD' pernah dituduh mengidap penyakit anoreksia karena tubuhnya yang terlalu kurus.
Body shaming pun pernah dialami oleh beberapa selebriti Hollywood. Contohnya adalah penyanyi Kelly Clarkson yang sempat diejek 'terlalu besar' untuk masuk TV, super model Gigi Hadid yang dikritik habis-habisan lantaran terlalu kurus (kemudian di-bully kembali setelah ia terlihat agak berisi), hingga aktris Jennifer Lawrence yang sebal karena terus-terusan disuruh diet.
Mereka yang pernah mengalami body shaming
Figur publik hingga masyarakat biasa, tampaknya hampir semua orang pernah mengalami body shaming. Hal ini juga terjadi di Indonesia dan dialami oleh sejumlah selebriti, salah satunya adalah Asmara Abigail. Aktris usia 27 tahun ini mengaku sering di-bully sejak kecil karena warna kulitnya yang gelap. Tak hanya itu saja, tubuhnya yang kecil dan pendek kerap membuatnya tidak percaya diri.
"Yang aku ingat, dulu aku susah sekali dapat casting film. Begitu masuk ruang audisi, wajah-wajah yang casting seperti tidak enak melihatku, tidak yakin dengan kapasitasku karena kulitku hitam. Tapi semakin ke sini, aku lihat semakin banyak perubahan dan warna kulit bukan masalah lagi," cerita Abigail saat berbincang dengan kumparanWOMAN belum lama ini.
Seperti Abigail, beauty vlogger Rachel Goddard (33) pun pernah mengalami hal serupa. Sejak kecil, bullying selalu menjadi 'makanan' sehari-hari yang 'disantapnya'.
"Dari kecil aku sering dibilang anak pungut, anak pembantu, soalnya aku hitam sendiri. Karena adikku putih dan aku hitam sendiri, aku selalu dikatain. Apalagi aku pendek, dipanggilnya si kecil atau semut. Sakit hati banget," ungkap Rachel saat dihubungi kumparanWOMAN.
Jika Rachel mengalami body shaming karena tubuh kecil, beauty vlogger Waikya Widiyanti (22) mengalami hal serupa karena tubuhnya yang besar. Perempuan yang akrab disapa Waway ini sering mengunggah tutorial makeup di Instagram, namun kebanyakan komentar yang ia dapat justru tentang tubuhnya, bukan seputar makeup.
"Aku kan nggak punya leher jenjang, banyak yang bilang leherku hilang, sok cantik, enggak nyadar badan, gembrot lah, segala macam. Kalau lagi bad mood aku ajak berantem, tapi biasanya aku langsung block saja," tutur Waway.
Ia melanjutkan, bahkan ada yang sengaja mem-bullynya agar diperhatikan oleh Waway dan mengatakan bahwa bullying itu sekadar bercanda. Waway tak mau ambil pusing, biasanya ia hanya mendiamkan dan langsung block akun tersebut.
Tak hanya yang bertubuh besar atau berkulit gelap saja yang mengalami body shaming. Memiliki jerawat di seluruh wajah pun tak luput dari ejekan. Hal ini dituturkan langsung oleh beauty vlogger Cut Rizki (25) yang banyak mendapatkan komentar di akun Instagramnya.
"Banyak komentar seperti 'sembuhin dulu mukanya, baru pakai makeup', 'jangan lupa cuci muka dong', atau menyuruhku pakai produk ini-itu. Pokoknya banyak yang komentar tentang hal-hal mainstream yang bikin orang jerawatan. Setiap hari kalau dikumpulkan ada 10 sampai 15 komentar," kata Cut.
Padahal menurut Cut, hal-hal yang membuat kulit berjerawat tak sekadar karena malas membersihkan muka. Ada beberapa masalah kulit yang lebih kompleks seperti masalah hormonal, genetik, udara kotor atau kulit sensitif.
"Aku main Instagram sudah sangat jujur dan terbuka dengan diriku, tapi masih saja ada yang ngatain. Sakit hati banget sih. Tapi banyak audiensku yang bilang jangan dipedulikan, mereka banyak support aku, itu yang buat aku jadi semangat karena mereka juga membutuhkanku," lanjut beauty vlogger dengan 141 ribu followers di Instagram itu.
Mengapa orang suka mengomentari fisik orang lain?
Melihat dari fenomena body shaming ini, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa mengomentari fisik orang lain sudah menjadi suatu kebiasaan tersendiri bagi banyak orang, dan dianggap sebagai sesuatu yang normal.
Dituturkan psikolog Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si., salah satu alasan seseorang gemar mengomentari fisik orang lain adalah karena mereka menganggap bentuk tubuh seseorang yang dilihatnya tidak termasuk golongan bentuk tubuh yang dianggap normal.
"Karena merasa terganggu dengan hal itu, jadi dia berkomentar. Contohnya, katakanlah yang disebut normal adalah mereka yang kulitnya putih. Sehingga, kalau ada seseorang yang kulitnya tidak putih, dia akan merasa terganggu melihatnya. Agar tidak merasa terganggu, dia akan mengomentari kulit orang tersebut," jelas psikolog yang akrab disapa Nina tersebut saat dihubungi kumparanWOMAN.
Alasan lainnya mengapa seseorang gemar mengomentari fisik orang lain adalah karena faktor dari dirinya sendiri. Orang-orang seperti ini biasanya memiliki masalah kepercayaan diri karena menganggap kondisi tubuhnya tidak ideal. Sehingga, untuk menutupi rasa tidak percaya dirinya tersebut, ia mencari 'pelampiasan' dari apa yang dilihatnya.
Menurut Nina, pada dasarnya bila seseorang yang memang percaya diri apa adanya dengan dirinya sendiri akan menganggap orang lain juga baik-baik saja, terlepas dari seperti apa pun bentuk fisiknya. "Dan kalau sampai dia merasa perlu mengomentari fisik orang lain, berarti dia sangat tidak percaya diri dengan dirinya sendiri," lanjut Nina lagi.
Di satu sisi, komentar-komentar yang berkaitan dengan fisik ini tentu akan membuat kita tidak percaya diri, dengan efek jangka panjang bisa mengarah pada depresi dan persoalan mental.
Ada beberapa alasan yang membuat seseorang mudah menjadi tidak percaya diri. Salah satunya adalah definisi masyarakat tentang standar kata 'cantik' yang kerap diasosiasikan dengan bertubuh langsing, berkulit putih, memiliki mata besar dan rambut panjang.
Definisi tentang standar kecantikan inilah yang kemudian disebarluaskan lewat media lain seperti iklan atau media sosial sehingga memberikan pengaruh dalam kehidupan kita. "Masyarakat juga banyak memberikan tuntutan untuk menjadi 'cantik' dalam bentuk komentar atau pertanyaan. Hal ini yang membuat kita kemudian mengalami ketidakpuasan dengan bentuk tubuh kita," papar psikolog yang juga praktik di Klinik Terpadu Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.
Nina mengungkap fakta yang cukup memprihatinkan, bahwa pada kenyataannya body shaming kebanyakan dilakukan oleh sesama perempuan. Alasannya, perempuan memiliki sifat naluriah menyenangi suatu hal yang indah dipandang mata. Kedua, perempuan cenderung lebih memperhatikan hal-hal yang lebih detail ketimbang laki-laki.
“Perempuan bisa tahu alis temannya tidak simetris, tetapi untuk laki-laki itu tidak penting. Laki-laki tidak akan terganggu dengan alis yang tidak sama,” katanya.
Munculnya gerakan body positivity melawan body shaming
Karena banyaknya orang yang mengalami body shaming, perlahan tapi pasti, istilah 'body positivity ' pun semakin akrab terdengar di Indonesia. Istilah ini mungkin baru booming sekitar dua hingga tiga tahun silam, di mana semakin banyak figur publik atau influencer yang berani menyuarakan tentang body positivity.
Tetapi di luar negeri, istilah body positivity ini lebih dulu digunakan, yakni sejak pertengahan tahun '90-an. Melansir situs thebodypositivity.org, dua orang perempuan bernama Connie Sobczak dan Elizabeth Scott secara resmi mendirikan organisasi The Body Positivity pada tahun 1996 silam di Amerika Serikat. Organisasi ini didirikan untuk membantu menyembuhkan orang-orang dari tekanan sosial yang diterima akibat bentuk tubuhnya.
Elizabeth sendiri merupakan seorang psikoterapis asal California, Amerika Serikat, yang telah berpengalaman menangani pasien eating disorder (gangguan terhadap makanan) selama 25 tahun. Sedangkan Connie adalah mantan pasien eating disorder yang berhasil sembuh dalam melawan gangguan mental yang dialaminya.
Terminologi 'body positivity' sendiri mulai diperkenalkan pada pertengahan tahun '90-an. Pada saat itu, sejumlah organisasi AIDS di Amerika Serikat menggunakan istilah 'body positive' untuk mendukung orang-orang yang terkena HIV positif. Hingga akhirnya, istilah ini melebar dan memiliki makna positif untuk seluruh bentuk tubuh.
Di Indonesia, body positivity sendiri mulai booming pada awal 2019. Adalah Ririe Bogar, pendiri X-Tra Large Community Indonesia yang memulai gerakan bernama Body Positivity Indonesia dan gerakan Komentar Fisik Gak Asik (KFGA).
Ririe mengatakan, body positivity bisa dimaknai dengan tidak bersikap acuh terhadap diri sendiri. Saat ini, banyak yang mengatasnamakan body positivity sebagai bentuk rasa cinta terhadap diri sendiri, tetapi sebagian orang cenderung membuat body positivity sebagai pembelaan diri untuk hal negatif.
"Maksudnya begini, sudah tahu punya badan besar, jangan justru menjadi orang yang sebodo amat makan apa saja dengan mengatasnamakan self love. Atau sudah tahu jerawatan, bau badan, tapi memilih cuek dan tidak mengurus diri. Hal-hal seperti ini yang mengganggu," tutur Ririe saat dihubungi kumparanWOMAN.
Lebih lanjut ia menjelaskan, setiap orang memiliki pilihan dalam memperlakukan tubuhnya sendiri. Setiap orang pun memiliki hak untuk bersikap cuek dan tidak peduli dengan komentar orang lain. Tetapi bukan berarti, hal tersebut menjadi alasan bagi kita untuk lalai dalam merawat dan mencintai diri.
Namun fakta yang terjadi adalah, masih banyak orang yang tidak peduli dan justru menyalah artikan istilah body positivity itu sendiri. Hingga akhirnya, Ririe mengambil kesimpulan bahwa ia harus terus menyuarakan body positivity meski hal ini masih belum awam diterima oleh masyarakat.
"Mungkin karena belum banyak yang paham dengan istilah body positivity, jadi lebih banyak yang aware dengan gerakan Komentar Fisik Gak Asik yang aku buat. Di sini, agak susah mengangkat body positivity karena baru dikenal di kalangan orang-orang berbadan besar saja, padahal body positivity untuk semua bentuk tubuh dan how they treat their body," lanjut Ririe lagi.
Melalui gerakan Komentar Fisik Gak Asik (KFGA) yang juga masih menjadi bagian dari Body Positivity Indonesia, Ririe bahkan memiliki duta atau spokesperson untuk menggalakkan gerakan ini. Para duta-duta tersebut datang dari berbagai bentuk tubuh dan memiliki tugas untuk menyuarakan kepada orang-orang bahwa mengomentari fisik orang tidak akan pernah asik dan bukan sesuatu hal untuk dikomentari.
"Komentar Fisik Gak Asik ini rencananya akan jadi judul buku kedua. Niatku ingin memberikan buku ini secara cuma-cuma untuk anak remaja dan perempuan yang terkena kanker karena mereka mengalami perubahan fisik. Aku juga akan kampanye ke sekolah untuk berikan edukasi tentang body shaming," demikian ujar Ririe yang juga merupakan pendiri gerakan ini.
Berani meningkatkan kesadaran tentang body positivity juga rajin dilakukan oleh Rachel Goddard. Ibu satu anak ini mengaku, ia tidak pernah mau menerima endorsement atau kerja sama dengan brand pemutih kulit yang instan, produk-produk pelangsing atau penggemuk.
“Aku selalu bilang ke followersku, perempuan cantik itu bukan dari warna kulitnya, hidungnya, atau matanya saja. Menurutku, cantik itu ketika perempuan bisa merasakan bahagia dan bisa merawat dirinya sendiri. Cantik itu adalah apa yang dipikirkan oleh orang itu sendiri,” imbuh Rachel.
Rajin mengedukasi para followers-nya tentang body positivity, Rachel banyak mendapatkan komentar atau direct message yang berisi ucapan terima kasih. Berkat ia rajin membahas hal ini, banyak followersnya yang mengaku sudah tidak memakai krim pemutih lagi dan merasa lebih cantik sekaligus sehat dengan warna kulit aslinya.
Apa yang dilakukan influencer seperti Rachel Goddard ini dan gerakan body positivity memang patut diapresiasi. Psikolog Nina menganggap ini adalah salah satu bentuk penerimaan positif terhadap tubuh apa adanya dan memperlihatkan keyakinan bahwa diri kita baik-baik saja walaupun tubuh kita tidak sempurna.
“Ini (body positivity) adalah gerakan yang positif dan cukup penting untuk disadari bersama bahwa pesan-pesan yang diusung itu memang perlu dicermati bersama,” tutur Nina.
Diakuinya pula, memang saat ini kesadaran akan body positivity masih rendah. Menurut Nina hal ini terjadi karena secara budaya kita diajarkan untuk mendukung hal-hal yang dianggap baik.
“Di budaya kita juga ada kebiasaan memberikan perhatian dengan cara mengomentari. Ini terjadi untuk berbagai hal, misalnya komentar seperti ‘kapan nikah?’ atau ‘kapan nambah anak?’ yang sering didengar. Cuma sayangnya, kita seperti tidak punya cara lain untuk mengungkapkan perhatian selain mengomentari sehingga terdengar merendahkan,” tandasnya.
Body positivity untuk semua bentuk tubuh
Banyak yang beranggapan, gerakan body positivity lantang disuarakan untuk membela mereka yang bertubuh besar saja. Padahal, bila kita kita memaknai lebih dalam, body positivity adalah gerakan sosial yang mempercayai bahwa seluruh manusia dengan bentuk tubuh apa pun berhak memiliki body image atau gambaran diri yang positif, meskipun harus bertarung melawan stigma sosial masyarakat akan definisi bentuk tubuh ideal.
Penulis buku 'The Commodification of the Body Positive Movement on Instagram', Jessica Cwynar-Horta, dalam bukunya menjelaskan bahwa ide dari gerakan body positivity ini terbentuk dari pemikiran bahwa setiap orang perlu mencintai dirinya sendiri dengan sepenuh hati sambil menerima bentuk fisik mereka. Hal ini sesuai dengan tujuan gerakan body positivity yang membahas tentang standar kecantikan yang tidak realistis sekaligus membangun rasa percaya diri dengan bentuk tubuh yang dimiliki.
Beauty vlogger Cut Rizki setuju dengan pendapat ini. Sebagai seorang yang tengah berjuang dengan masalah jerawat yang dimilikinya, Cut Rizky mengatakan bahwa body positivity perlu dimiliki oleh siapa pun, termasuk orang yang tak hanya memiliki isu pada tubuh, tetapi juga kondisi tubuhnya, seperti jerawat.
“Ada juga orang yang berjerawat di usia 27 tahun, jadi jangan menganggap jerawatan itu hal yang aneh. Kita tidak akan pernah tahu ada ‘plester’ yang terbuka di dalam tubuh kita yang akhirnya bikin kita jerawat. Dengan body positivity, kita harus embrace itu,” ujar Cut.
Menurutnya, seperti itulah cara body positivity bekerja pada setiap bentuk tubuh. Sebisa mungkin mengerti bahwa memiliki wajah berjerawat adalah hal yang normal dan jangan menganggap jerawat adalah hal yang aneh.
“Kadang kita suka tidak memanusiakan manusia dengan menganggap manusia tidak seharusnya berjerawat. Bagaimana bisa? Kita kan punya pori-pori. Saranku, jangan pernah bertanya apa pun kalau orang itu tidak pernah minta saran, silakan bahas hal lain selain komentari bentuk tubuh,” ujar Cut menambahkan.
Lantas, bagaimana seharusnya orang-orang memaknai istilah body positivity?
Waway berpendapat, body positivity harus dimaknai dari cara kita berpikir. Bila kita memiliki pemahaman yang luas, tidak menyalahkan diri sendiri, hal ini sangat berpengaruh di kehidupan sehari-hari.
“Di Indonesia, kesadaran tentang body positivity ini masih rendah sekali. Mereka masih mikir kalau perempuan cantik harus langsing, putih, mancung, rambut lurus. Padahal, you can be your own kind of beauty. Coba saja mengaca, kamu bisa merasa dirimu cantik tanpa mengikuti siapapun,” tambah Waway.
Menanamkan stigma positif tentang body positivity
Karena rendahnya kesadaran tentang body positivity ini, maka sudah menjadi tugas kita semua untuk lebih meningkatkan kesadaran tentang penerimaan semua bentuk tubuh. Hal ini sempat disinggung oleh Rachel Goddard yang mengajak kita untuk belajar berdamai dengan diri sendiri.
Menurutnya, bila kita bisa berdamai dengan diri sendiri dan memiliki pikiran positif, tak akan ada rasa sirik dan iri dengan bentuk tubuh orang lain.
“Harapanku, kita semua bisa berdamai dengan diri sendiri dan mengubah pemikiran tentang definisi cantik yang harus begini atau begitu. Jadi diri sendiri saja,” kata Rachel.
Senada dengan Rachel, Asmara Abigail pun menekankan pentingnya memiliki rasa ketenangan dalam jiwa. Karena sebenarnya, berdamai dengan diri sendiri tanpa iri dengan orang lain juga ada kaitannya dengan kesehatan mental.
“Mind, body and soul perlu kita jaga. Selain itu, jangan terlalu terpengaruh dengan omongan orang. Ingat juga kalau kesehatan tubuh dan mental kita tidak kalah penting,” ujar pemain film ‘Mangkujiwo’ ini.
Melengkapi pernyataan Rachel dan Asmara, psikolog Nina menganjurkan kita untuk menemukan hal-hal positif yang ada pada diri kita. Bila memungkinkan, temukan sebanyak mungkin dan gali potensi diri semaksimal mungkin.
Setelah itu, kita harus belajar mensyukuri hal-hal yang ada pada diri kita. Fokus pada hal baik dan berhenti menyalahkan diri sendiri agar bisa lebih fokus terhadap tubuh kita. Selain itu, penting juga untuk mencari support system seperti keluarga atau teman yang bisa mengungkapkan hal-hal positif kepada kita.
“Supaya kita punya pikiran lebih positif, mungkin kita perlu mengkurasi media sosial kita. Jangan terlalu follow orang-orang yang ‘sempurna’. Mengagumi masih oke, tapi perlu juga follow orang-orang biasa saja, namun inspiratif. Kalau ada komentar negatif untuk kita, abaikan saja,” jelasnya.
Di akhir perbincangan, Nina mengatakan bahwa kita perlu menyebarkan informasi tentang body shaming ini sejelas mungkin. Keluarkan segala unek-unek yang kita alami ketika mengalami body shaming dengan tujuan untuk memberikan kesadaran kepada orang lain yang mungkin tidak sadar bahwa mereka telah melakukan body shaming.
“Sebarkan informasi yang positif, sehingga kalau teman-teman atau orang terdekat kita baca, mereka bisa berkaca dan berpikir untuk tidak melakukan hal itu (body shaming),” tutup Nina mengakhiri perbincangan.