Mengenal Femisida, Tindak Kekerasan yang Dikaitkan dengan Kasus Vina Cirebon

22 Mei 2024 19:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kasus Vina Cirebon disebut sebagai bentuk tindakan femisida yang sadis Foto: Tinnakorn jorruang/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Kasus Vina Cirebon disebut sebagai bentuk tindakan femisida yang sadis Foto: Tinnakorn jorruang/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Munculnya film Vina: Sebelum 7 Hari menjadi perbincangan hangat di publik. Pasalnya, film ini terinspirasi dari kisah nyata tragis yang dialami perempuan bernama Vina Dewi Arsita dan kekasihnya, Muhammad Rizky Rudiana alias Eky, yang menjadi korban pembunuhan oleh geng motor pada tahun 2016 lalu yang dikenal sebagai kasus Vina Cirebon.
ADVERTISEMENT
Sebelum kehilangan nyawa, Vina dan Eky dianiaya secara sadis oleh geng motor yang menyerang mereka. Sementara itu, Vina juga mengalami tindakan kekerasan seksual dari 11 pria anggota geng motor yang tiga di antaranya masih menjadi buronan hingga saat ini. Karenanya, kasus pembunuhan ini masih belum terpecahkan sepenuhnya meski sudah delapan tahun berlalu.
Nah, kemunculan film Vina: Sebelum 7 Hari tampaknya menjadi babak baru dari kasus ini. Penggambaran kronologi di dalam film yang dianggap terlalu detail pun menuai pro kontra publik. Bahkan, tidak sedikit yang beranggapan bahwa apa yang dialami Vina bukan hanya tindak kekerasan seksual, melainkan sesuatu yang lebih mengerikan, yakni femisida.

Apa yang dimaksud femisida?

Apa yang dimaksud femisida? Foto: Shutterstock
Dikutip dari laman Komnas Perempuan, berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan. Dengan begitu, pelaku pembunuhan bisa berbuat keji sesuka hatinya terhadap korban.
ADVERTISEMENT
Femisida bukan sekadar penghilangan nyawa seseorang, tapi juga tindakan yang mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi, hingga opresi alias tindakan penindasan dari sekelompok orang. Karenanya, femisida juga dianggap sebagai bagian dari implementasi budaya patriarki dan misoginis yang bisa terjadi di ranah privat seperti pasangan, pertemanan, komunitas, hingga area skala besar termasuk negara.
Menurut laporan Komnas Perempuan tahun 2022, penyebab terjadinya rata-rata karena rasa cemburu, rasa kesal, ketersinggungan maskulinitas, adanya penolakan dari korban, hingga faktor ekonomi. Berdasarkan data PBB, 80 persen pembunuhan terencana alias femisida terhadap perempuan dilakukan oleh orang terdekatnya.

Femisida masih dianggap tindak kriminal biasa

Femisida masih dianggap sebagai bentuk kejahatan biasa. Foto: Shutterstock
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menyebut bahwa femisida merupakan bentuk puncak kekerasan terhadap perempuan. Sayangnya, di Indonesia, femisida masih dipandang sebagai tindakan kriminal biasa.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2017, Komnas Perempuan meningkatkan upaya penindakan femisida dengan merilis imbauan bertajuk “Alarm bagi Negara dan Kita Semua: Hentikan Femisida (Pembunuhan Terhadap Perempuan).” Namun dua tahun setelahnya, masih belum ada perubahan hukum dan kebijakan yang pasti terkait femisida dari institusi dan negara.
Sementara itu, menurut pemantauan Komnas perempuan sepanjang tahun 2019, tercatat 145 kasus femisida yang terjadi di Indonesia. Angka ini hanyalah kasus-kasus yang tercium oleh media massa, sehingga kemungkinan masih banyak lagi kasus serupa yang pada saat itu tidak diberitakan.
Berdasarkan data tersebut, lima peringkat teratas soal relasi pelaku dengan korban adalah suami istri, pertemanan, pacaran, kerabat dekat, dan orang yang baru dikenal. Artinya, sebagian besar pelaku femisida berasal dari relasi personal –-bahkan yang paling dekat sekali pun seperti suami.
ADVERTISEMENT
Pola tindakan femisida juga memiliki pola yang sama atau mirip, yaitu perilaku sadis terhadap perempuan dengan dianiaya, diperkosa, dihilangkan nyawanya, lalu ditelanjangi. Menurut perspektif kekerasan berbasis gender, penelanjangan korban yang telah meninggal menunjukkan tindakan pelucutan terhadap martabat korban.