Mengenal Marital Rape, Pemerkosaan yang Terjadi dalam Lingkup Pernikahan

28 Desember 2023 19:22 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pemerkosaan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemerkosaan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Salah satu asumsi yang banyak dipercaya masyarakat adalah pemerkosaan hanya dilakukan oleh orang tidak dikenal atau terjadi di luar lingkup pernikahan. Namun, pemerkosaan sebenarnya juga bisa terjadi dalam pernikahan, Ladies. Fenomena ini dikenal sebagai marital rape.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Psych Central, pemerkosaan adalah tindak memaksa atau memanipulasi seseorang untuk melakukan aktivitas seksual senggama di luar keinginan atau izin orang tersebut. Dalam hubungan pernikahan, pemaksaan aktivitas seksual ini dinamakan marital rape atau pemerkosaan dalam pernikahan. Aktivitas seksual sejatinya hanya boleh dilakukan ketika sudah ada persetujuan yang jelas antara kedua belah pihak.
Kekerasan seksual perkosaan ini tidak selalu dilakukan dengan cara yang kasar, Ladies. Membuat korban tidak sadar, seperti menggunakan obat-obatan atau minuman beralkohol, sebelum atau saat melakukan aktivitas seksual juga merupakan tindak kekerasan seksual.
Ilustrasi pemerkosaan atau kekesaran seksual. Foto: Stokkete/Shutterstock
Menurut Psych Central, memanipulasi hingga mengancam pasangan untuk melakukan aktivitas seksual dan bersenggama pun bisa disebut sebagai kekerasan seksual.
Menurut organisasi anti-kekerasan seksual RAINN (Rape, Abuse & Incest National Network), marital rape menjadi kekerasan seksual yang tak terlalu banyak disorot karena adanya stereotip soal perempuan dan seks yang beredar luas di masyarakat. Contohnya adalah stereotip bahwa perempuan menyukai seks yang dipaksakan; bahwa ketika perempuan bilang “tidak,” itu artinya mereka bilang “ya”; dan bahwa tugas perempuan adalah untuk melayani suami secara seksual.
ADVERTISEMENT
“Stereotip seperti itu membuat pria percaya bahwa mereka harus mengabaikan protes perempuan. Stereotip tersebut juga membuat perempuan percaya bahwa mereka memberikan sinyal yang salah pada pria. Perempuan menyalahkan diri mereka sendiri atas aktivitas seksual yang tidak mereka inginkan, mereka mempercayai bahwa mereka adalah istri yang tidak baik karena tidak menikmati aktivitas seksual, atau mempercayai bahwa mereka istri yang tidak baik karena tidak menikmati seks di luar keinginan mereka,” ucap RAINN dalam laporan terkait marital rape.
Ilustrasi pemerkosaan. Foto: Shutterstock
Dalam laporan oleh RAINN, studi mengungkap bahwa pria yang melakukan marital rape tidaklah selalu orang-orang yang memang ingin melakukan tindak perkosaan. Studi tersebut menunjukkan bahwa para pelaku adalah pria yang melihat bahwa seks merupakan solusi dari seluruh masalah dalam pernikahan dan sumber validasi atas identitas maskulin mereka.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga turut menyinggung soal kekerasan seksual dalam rumah tangga. Namun, UU tersebut tidak secara spesifik menggunakan kata “marital rape” atau “pemerkosaan dalam perkawinan.”
Pasal 8 UU No. 23 Tahun 2004 berbunyi, “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.”
Ilustrasi depresi pada perempuan. Foto: Shutterstock

Dampak pemerkosaan dalam rumah tangga

Dilansir Psych Central, pemerkosaan dalam rumah tangga bisa berdampak buruk pada korban. Selain bisa menyebabkan trauma mendalam, korban mungkin bisa memiliki pandangan yang buruk terhadap seks, cinta, dirinya sendiri, hingga hubungan asmara.
ADVERTISEMENT
Korban marital rape berpotensi mengalami stres dan gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD). Menurut RAINN, tak jarang para korban juga merasa dipermalukan, merasa ketakutan, dipenuhi rasa bersalah, menyalahkan diri sendiri, sampai luka-luka fisik akibat kekerasan seksual yang dialami.
Mereka yang terperangkap dalam marital rape juga sering kali kesulitan untuk keluar dari situasinya tersebut. RAINN mengungkap, rasa takut akan kekerasan, kehilangan keamanan finansial, rendahnya kepercayaan diri, sampai keyakinan bahwa pasangan akan bisa berubah kerap menahan mereka untuk menyelamatkan diri.
Jika kamu atau orang terdekatmu menjadi korban marital rape, kamu bisa segera mencari pertolongan dari orang yang dipercaya. Kalau kondisi yang kamu alami berpotensi membahayakan keselamatan, segera minta perlindungan kepada orang terdekat hingga organisasi-organisasi perlindungan hak perempuan.
ADVERTISEMENT