Mengenal Quiet Quitting, Tren yang Sedang Viral di Lingkungan Kerja

7 September 2022 16:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mengenal Quiet Quitting, Tren yang Sedang Viral di Lingkungan Kerja. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Mengenal Quiet Quitting, Tren yang Sedang Viral di Lingkungan Kerja. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Bagi Ladies yang sering menghabiskan waktu di dunia maya, mungkin kamu pernah berjumpa dengan satu istilah yang kini menjadi tren di lingkungan kerja. Ya, istilah tersebut bernama quiet quitting.
ADVERTISEMENT
Istilah quiet quitting, jika diterjemahkan secara literal berarti ‘berhenti diam-diam.’ Namun, fenomena ini bukan berarti karyawan benar-benar berhenti dari pekerjaannya, lho. Jadi, apa itu fenomena quiet quitting yang saat ini marak di lingkungan kerja?
Secara umum, menurut BBC, quiet quitting adalah fenomena ketika seorang pekerja memutuskan berhenti bekerja terlalu ekstra dan mulai bekerja semampunya saja. Dalam kata lain, mereka menjadi jauh lebih santai dalam menjalani tugas sehari-hari.
Ilustrasi karyawan kecapekan kerja. Foto: CrizzyStudio/Shutterstock
Istilah ini mulai populer berkat sebuah video TikTok yang diunggah oleh @zaidleppelin pada Juli 2022 lalu. Si pengunggah menjelaskan bahwa ketika melakukan quiet quitting, seorang pekerja tidak benar-benar resign dari pekerjaan, tetapi berhenti bekerja terlalu keras.
“Anda masih tetap menjalani tugas dan kewajiban Anda, tetapi Anda tidak lagi menerapkan mentalitas budaya tergesa-gesa (hustle culture) bahwa pekerjaan adalah hidup Anda. Nyatanya, pekerjaan bukanlah hidup Anda. Nilai Anda sebagai seorang manusia tidak didefinisikan oleh kerjaan Anda,” kata @zaidleppelin, sebagaimana dilansir BBC.
ADVERTISEMENT

Seperti apakah quiet quitting?

Fenomena quiet quitting bisa dilihat dari perubahan jam dan cara kerja seseorang. Contohnya, jam kerjamu adalah pukul 9–6 sore. Biasanya, kamu sudah mulai bekerja sebelum jam 9 untuk mempersiapkan berbagai hal sebelum kerja.
Kemudian, mendekati waktu pulang kerja, kamu tidak akan keberatan untuk lanjut kerja melampaui jam kerja yang sudah ditentukan. Tak hanya itu, kamu juga bersedia mengambil waktu lembur dan menyelesaikan pekerjaan yang mungkin di luar job desk sehari-hari kamu.
Ilustrasi perempuan mengalami burnout di pekerjaan. Foto: Warodom Changyencham/Getty Images
Namun, ketika kamu memutuskan untuk melakukan quiet quitting, kamu tidak lagi melakukan itu semua. Kamu akan mulai membuka laptop tepat pada pukul 9 pagi. Mendekati waktu pulang kerja, yaitu pukul 6 petang, kamu sudah bersiap-siap untuk pulang tepat waktu. Kamu hanya akan berfokus pada tugas dan pekerjaanmu di pukul 9–6 tersebut, tanpa mengambil lembur atau melakukan pekerjaan di luar job desk kamu.
ADVERTISEMENT
Namun, setiap orang memiliki cara tersendiri dalam melakukan quiet quitting, mengingat tugas dan pekerjaan setiap karyawan pasti berbeda-beda.

Alasan pekerja melakukan quiet quitting

Dikutip dari NPR, quiet quitting muncul sebagai respons dari hustle culture alias budaya tergesa-gesa. Selain itu, meningkatnya burnout atau fenomena kelelahan dan stres berat akibat pekerjaan juga menjadi pemicu banyak pekerja yang mulai melakukan quiet quitting.
Selain itu, saat ini, masyarakat semakin peduli dengan kesehatan mental. Upaya menghentikan diri sendiri dari bekerja berlebihan pun dilihat sebagai salah satu cara untuk menjaga kesehatan mental.
Ilustrasi perempuan melakukan quiet quitting. Foto: Shutterstock
Quiet quitting secara efektif mengembalikan batasan ke pekerjaan yang sudah ditentukan, sehingga pekerja tidak memikirkan pekerjaan mereka selama 24/7. Alih-alih, para pekerja mendedikasikan waktu dan energi ke dalam elemen lainnya di kehidupan mereka yang lebih bermakna. Ini mampu mengarah pada kesejahteraan yang lebih baik,” ungkap seorang dosen di University of College London’s School of Management, Anthony Klotz, dikutip dari BBC.
ADVERTISEMENT
Sementara dalam wawancara bersama BBC, seorang pekerja di bidang public relations (PR) bernama Gemma mengaku bahwa ia melakukan quiet quitting karena merasa usahanya selama ini tidak dihargai.
“Saya sudah lama merasa tidak bahagia. Budaya kerja di kantor saya sangat buruk dan toksik. Meskipun saya selalu bekerja lebih keras dibandingkan rekan-rekan saya, upah saya tidak pernah mencerminkan kinerja saya,” ungkap Gemma.

Fenomena quiet quitting sudah ada sejak lama

Ilustrasi perempuan karier pulang kerja tepat waktu karena melakukan quiet quitting. Foto: Shutter Stock
Kendati istilah quiet quitting baru viral belakangan ini, fenomena berhenti bekerja terlalu ekstra sebenarnya sudah lama ada. Hanya namanya saja yang berbeda; jika sekarang para pekerja menggunakan istilah “quiet quitting”, generasi sebelumnya menyebut fenomena ini sebagai “lalai.”
Hal ini diungkapkan oleh Anthony Klotz. Menurut dia, melakukan quiet quitting bisa menjadi sedikit self-reward bagi yang melakukannya, terutama bagi mereka yang merasa terjebak dalam pekerjaan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
“Selalu melakukan pekerjaan secara ekstra bisa menyebabkan stres. Jadi, quiet quitting tidak hanya relevan untuk generasi-generasi yang lebih muda. Quiet quitting relevan dengan siapa pun yang pernah merasa terjebak di dalam pekerjaannya, tetapi tidak memiliki banyak alasan untuk resign,” kata Klotz, sebagaimana dikutip dari BBC.
Ladies, apakah kamu tengah mempertimbangkan quiet quitting? Atau kamu saat ini sudah melakukannya?