Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Menyelami 25 Tahun Hidup Kartini yang Singkat tapi Berdampak
21 April 2025 19:20 WIB
·
waktu baca 6 menit
ADVERTISEMENT
Hidup Raden Ajeng Kartini memang hanya mencapai seperempat abad. Singkat dan berakhir sendu, tetapi kehidupan sang perempuan Jawa akhir abad ke-19 itu berhasil meninggalkan warisan yang terus digaungkan hingga 121 tahun usai kepergiannya.
ADVERTISEMENT
RA Kartini lahir pada 21 April 1879 di Kota Jepara, Jawa Tengah, dari keluarga bangsawan. Ayah Kartini ialah Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, anak dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV. Sementara itu, ibundanya adalah Mas Ajeng Ngasirah, seorang perempuan desa yang dihormati di lingkungannya. Bersama 10 saudaranya, Kartini hidup berkecukupan.
Sejak lahir, ia sudah mengantongi satu privilese, yakni terlahir di keluarga ningrat. Jika anak-anak pribumi lain kesulitan mengakses pendidikan, pintu tersebut terbuka lebar buat Kartini. Padahal, saat itu, banyak keluarga bangsawan lainnya yang melarang anak perempuan untuk keluar rumah dan bersekolah.
Mengutip buku Sisi Lain Kartini, Kartini belia bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), yaitu Sekolah Dasar Eropa dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. ELS diperuntukkan kepada anak-anak bangsa Belanda dan Eropa di Hindia Belanda saat itu. Pribumi bisa bersekolah di ELS, dengan syarat orang tua si anak adalah pejabat tinggi di pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Berkat pendidikan dasar yang diperoleh Kartini, ia mampu mengasah kemampuan bahasa Belandanya. Di Tanah Jawa akhir abad ke-19, mempelajari bahasa asing merupakan suatu kemewahan yang tak bisa dinikmati sebagian besar masyarakat. Kemampuan berbahasa Belanda yang fasih menjadi jalan untuk Kartini mengutarakan pikiran, mengungkapkan keresahan, dan menggagas ide-ide progresif tentang peran perempuan.
Selama tahun-tahunnya bersekolah di ELS, Kartini tak kekurangan kawan. Ia berteman dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, mulai dari anak-anak pribumi hingga orang-orang Belanda. Kepribadian Kartini yang dideskripsikan sebagai periang dan supel mempermudah dia untuk menjalin persahabatan erat dengan banyak orang, baik secara langsung maupun di atas kertas.
“Penjara” rumah
Kalau berbicara soal kehidupan Indonesia di abad ke-21, tentu anak SD yang sudah lulus akan lanjut bersekolah di SMP. Namun, lebih dari 100 tahun lalu, itu angan-angan belaka buat anak perempuan. Sinar seorang anak perempuan diredupkan lewat tradisi yang menyembunyikan cahaya sang gadis.
ADVERTISEMENT
Di usia 12 tahun, setelah Kartini lulus dari ELS, ia “dijebloskan” ke dalam “penjara” di rumahnya sendiri. Di usia yang masih belia, Kartini sudah harus dipingit. Menurut adat tradisi yang berlaku saat itu, ketika perempuan memasuki usia remaja, mereka harus dipingit dan dipersiapkan untuk menikah di usia muda.
Privilese ningrat Kartini kalah telak dengan nasibnya terlahir sebagai perempuan. Kala itu, perempuan dipandang sebagai pihak dengan status yang lebih rendah.
Lewat surat yang ditulis kepada Nona Zeehandelaar pada 25 Mei 1899, Kartini mendeskripsikan kehidupan dipingit sebagai “kurungan”.
“Ketahuilah, bahwa adat negeri kami melarang keras gadis keluar rumah. Ketika saya sudah berumur dua belas tahun, lalu saya ditahan di rumah—saya mesti masuk “tutupan”’; saya dikurung di dalam rumah, seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tiada boleh keluar ke dunia itu lagi, bila tiada serta seorang suami, seorang laki-laki yang asing sama sekali bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk kami, dikawinkan dengan kami, sebenarnya dengan tiada setahu kami,” tulis Kartini.
“Kurungan” tersebut tidak merontokkan semangat Kartini untuk menimba ilmu. Dilansir Hurights Osaka Japan, selama dipingit, ia aktif membaca berbagai literatur yang membuka pikirannya; dari majalah sampai buku seperti Max Havelaar hingga De Stille Kraacht. Sang ayah, RM Sosroningrat, menjembatani kegemaran putrinya dengan berlangganan kotak bacaan yang berisi buku, koran, dan majalah dari dalam dan luar negeri.
ADVERTISEMENT
Selama periode inilah, Kartini kian merasakan ketidaksukaannya pada tradisi-tradisi Jawa yang membatasi gerak perempuan. Mengutip buku Sisi Lain Kartini, ia kerap menolak aturan dan pola pikir yang merendahkan perempuan. Tak hanya itu, Kartini juga menantang praktik-praktik yang ia anggap tidak adil, seperti tradisi tunduk sepenuhnya terhadap orang yang lebih tua.
Lebih dari surat
Dengan segala keterbatasan yang dihadapi perempuan kala itu, tak banyak ruang bebas bagi Kartini untuk mengutarakan gagasan dan pemikirannya. Beruntung, kemampuan berbahasa asing yang apik memberikan jalan bagi Kartini untuk berkomunikasi lewat surat-menyurat dengan para sahabat.
Siapa yang tak tahu surat-surat yang ditulis oleh RA Kartini semasa hidupnya? Korespondensi Kartini bersama sahabat penanya dari Eropa dan Belanda mengandung pesan-pesan perjuangan, kemarahan akan sistem yang tak adil, hingga harapan besar bagi kemajuan perempuan Tanah Air. Surat-surat yang ia kirimkan sejak 1899 hingga kepergiannya sangat ikonis, hingga akhirnya diabadikan ke dalam buku bertajuk Habis Gelap Terbitlah Terang.
Namun, ternyata Kartini tidak hanya dikenal berkat surat-suratnya. Mengutip situs resmi Indonesia.go.id, Kartini ternyata pernah menulis prosa-prosa indah hingga tulisan soal Batik. Ini diungkapkan Kartini dalam satu suratnya kepada Estelle Zeehandelaar, yang biasa disapa dengan panggilan sayang Stella oleh Kartini.
ADVERTISEMENT
“Sebuah karangan tentang batik, yang tahun lalu kutulis buat Pameran Nasional Karya Wanita, dan sejak itu tak terdengar kabar beritanya, akan diterbitkan di dalam karya-standar tentang batik, yang segera akan terbit,” tulis Kartini.
Tulisan bertajuk Handschrift Japara itu ditulis Kartini ketika usianya masih 19 tahun. Ditulis dalam bahasa Belanda yang sempurna, karya tersebut menyelami keindahan seni wastra Batik. Saking spesialnya tulisan sang emansipator, karya tersebut dijadikan referensi untuk buku soal Batik oleh dua antropolog Belanda, GP Rouffaer dan HH Juynboll. Menurut Indonesia.go.id, tulisan Kartini menjadi bagian penting dalam buku bertajuk De Batik-kunst In Nederlandsch-Indie En Haar Geschiedenis itu.
Kehidupan yang terpotong singkat
Memasuki awal usia 20-an, Kartini memutuskan untuk mengambil jalan hidup berbeda. Kartini mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi, tetapi menolaknya karena ia memutuskan untuk menikah. Sebelumnya, lewat surat-surat yang lalu, Kartini kerap mengungkapkan rasa khawatir akan pernikahan.
ADVERTISEMENT
“Saya berkehendak bebas supaya saya boleh dapat berdiri sendiri, jangan bergantung kepada orang lain, supaya jangan … jangan sekali-kali dipaksa kawin. Tetapi kawin, kami mesti kawin, mesti, mesti! (...) Dan kawin di sini, aduh, dinamakan azab sengsara masih terlalu halus! Betapa nikah itu tiada akan sengsara, kalau hak semuanya bagi keperluan laki-laki saja dan tiada jua pun bagi perempuan? Kalau hak dan pengajaran kedua-kuanya bagi laki-laki semata-mata kalau semua-muanya dibolehkan dia perbuat?” tulis Kartini kepada Nona Zeehandelaar, tertanggal 25 Mei 1899.
Pada 8 November 1903, Kartini menikahi Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat. Menurut buku Sisi Lain Kartini, lamaran Bupati Rembang diterima Kartini atas dasar nasihat sang ayah. Yang menjadi pertimbangan saat itu adalah perempuan yang bersuami kala itu akan lebih memiliki kebebasan untuk melangkah di masyarakat. Lewat pernikahannya, Kartini menjadi istri keempat Raden Adipati Joyodiningrat.
ADVERTISEMENT
Meskipun memilih menikah, Kartini tetap berhasil mewujudkan salah satu cita-cita besarnya, yakni membuka sekolah untuk perempuan. Sekolah itu didirikan di serambi belakang Kabupaten Rembang.
Namun, Kartini tak lama menikmati pencapaiannya tersebut. Sebab, empat hari setelah melahirkan anak laki-lakinya, Soesalit Djojoadiningrat, ia meninggal dunia. Ia berpulang pada 17 September 1904, di usia 25 tahun, diduga akibat komplikasi pascamelahirkan.
Salah satu sahabat Kartini, Jacques Henri Abendanon—Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda hingga 1905—berjasa dalam mengumpulkan surat-surat Kartini sepeninggal sang emansipator. Memastikan pemikiran Kartini tak lekang oleh waktu, surat-surat tersebut kemudian dikompilasi menjadi buku bertajuk Door duisternis tot licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Dilansir Britannica, buku tersebut meraup popularitas dan mendorong dukungan kuat di Belanda untuk Yayasan Kartini. Yayasan yang didirikan oleh J.H. Abendanon dan Van Deventer tersebut kemudian membuka Sekolah Kartini pada 1913.
ADVERTISEMENT
Meski hanya seperempat abad melangkah di dunia, jejak yang ditinggalkan Kartini abadi. Hari lahirnya, 21 April, ditetapkan sebagai hari nasional. Sosoknya dikenang sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Hingga kini pun, semangat Kartini untuk kemajuan perempuan Indonesia selalu relevan dan tetap bergaung.