Nia Dinata Ungkap Upaya untuk Tingkatkan Peran Perempuan di Industri Film

15 Oktober 2022 17:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nia Dinata Ungkap Upaya untuk Tingkatkan Peran Perempuan di Industri Film. Foto: Dok. kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Nia Dinata Ungkap Upaya untuk Tingkatkan Peran Perempuan di Industri Film. Foto: Dok. kumparan
ADVERTISEMENT
Ladies, saat ini pasti kalian sudah sering menonton berbagai film yang mengangkat isu perempuan dan juga dibuat oleh sineas perempuan.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, peran perempuan di industri film tidak kalah berkualitas dengan laki-laki. Namun demikian, menyoal representasi perempuan dan gender lainnya di industri film, masih sering mendapat label bahwa perempuan kurang mampu menghasilkan karya atau punya peran penting di dunia film.
Selain itu, berbagai isu lainnya juga menghadang perempuan di industri sinema, misalnya kekerasan seksual, dan kesenjangan upah.
Seharusnya, dengan adanya perkembangan teknologi dan kesetaraan gender, perempuan bisa lebih maju lagi dalam menyalurkan potensinya serta merasa aman ketika memilih karier sebagai pelaku film.
Untuk itu, sebagai sutradara yang sudah berkarier sejak tahun 90-an dan menjadi role model bagi banyak perempuan di dunia sinema, Nia Dinata mengungkap apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan peran perempuan di industri film.
ADVERTISEMENT
Bersama sutradara transpuan Anggun Pradesha dan musisi serta aktris Mian Tiara dalam diskusi film Festival Film Prancis 2022 persembahan Institut Prancis Indonesia (IFI), Nia Dinata memberikan pendapatnya terkait cara meningkatkan representasi perempuan di industri film. Yuk, simak selengkapnya, Ladies!

1. Ruang pendidikan film harus lebih merangkul perempuan dan gender lain

Diskusi Film Perempuan dalam Sinema Festival Film Prancis 2022, Anggun Pradesha, Mian Tiara, Nia Dinata, dan Fitria Sofyani. Foto: Dok. kumparan
Menurut Nia, eksistensi perempuan dan gender yang sering terasingkan di masyarakat sangat penting untuk menambah perspektif serta dinamika tim dalam bekerja di industri film.
“Bagaimana caranya bisa sampai ke sana kalau ruang pendidikan film, baik formal maupun non formal tidak membuka pintunya untuk banyak perempuan dan grup LGBTQ belajar? Seperti yang kita ketahui sekolah film terkenal sekali didominasi oleh murid dan dosen laki-laki,” ungkap Nia.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, sebagai sutradara perempuan yang telah lama terjun di industri film, Nia sangat berharap agar ruang pendidikan film harus lebih merangkul dan terbuka untuk banyak perempuan maupun gender lainnya agar bisa belajar dan berkembang dengan kesempatan yang sama.

2. Memberi semangat pada perempuan untuk menjadi tenaga pendidik film

Ilustrasi membuat film. Foto: Getty Images
Jika banyak perempuan dan gender lain mendapat pendidikan yang layak di dunia film, maka harapan Nia adalah agar lebih banyak lagi perempuan maupun LGBTQ untuk menjadi tenaga pendidik film.
Hal ini ia ungkapkan karena sampai saat ini, dosen maupun guru film masih didominasi oleh laki-laki yang rentan akan diskriminasi gender.
“Ada asisten sutradara aku yang bilang dia tidak bisa melanjutkan untuk bekerja lagi karena harus menyelesaikan studi magisternya, dia ingin menjadi dosen film. Aku sangat bangga sekali dan memberikan semangat karena kita perlu dosen perempuan supaya nantinya peran perempuan bisa lebih berkembang,” tuturnya.
ADVERTISEMENT

3. Sistem pendidikan yang harus diperbaiki

Ilustrasi pendidikan tinggi. Foto: wutzkohphoto/Shutterstock
Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah sistem pendidikan untuk sekolah film. Harus lebih banyak lagi perempuan yang menjadi dosen dan tenaga pendidik film.
Pasalnya, berkecimpung di industri film memang menyita banyak waktu saat proses pembuatannya dan rentan terhadap pelecehan serta kekerasan seksual pada perempuan.
Nia menjelaskan, “Seperti syuting sampai tengah malam, apalagi editing yang harus di tempat gelap. Makanya harus lebih banyak lagi profesional perempuan di bidang pendidikan film agar perempuan semakin merasa aman. Kalau dosen-dosennya tidak diajari untuk menghormati murid, menghargai manusia, bagaimana caranya mahasiswa ketika lulus bisa berkarier di industri film ketika sudah merasa trauma.”

4. Pemerintah harus membuat pelatihan untuk kesetaraan gender di industri film

Ilustrasi lokasi syuting film di Indonesia Foto: Dok. Kemenparekraf
Lewat Kemdikbud, khususnya direktorat film, pemerintah harus lebih sering membuat pelatihan-pelatihan seputar kesetaraan gender di industri film.
ADVERTISEMENT
“Untuk mengedukasi kru dan pelaku film tentang pendidikan kesetaraan gender memang tidak mudah, harus ada kekuatan politik di balik itu,” pungkas Nia.
Selain itu, Nia juga menjabarkan apa saja yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini, “Buat silabus, identifikasi ada berapa jenis kekerasan seksual yang ada, mulai dari yang teringan sampai yang paling berat. Kekerasan dan pelecehan ini terjadi karena sering kali laki-laki itu tidak tahu.”

5. Disiplin mematuhi kontrak kesantunan dalam rumah produksi

Setelah sistem pendidikan dan pemerintah diperbaiki, maka jangan lupa untuk melihat kesepakatan kerja yang dibuat di rumah produksi.
Nia Dinata menjelaskan bahwa upaya untuk membuat Code of Conduct atau yang berarti kontrak untuk mengatur kesantunan dari para kru terkait perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat bekerja sangat penting untuk mencegah kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
“Kalau ada yang melanggar perjanjian yang dibuat maka terpaksa orang itu harus dikeluarkan dari proses pembuatan film,” jelasnya.

6. Background check yang ketat untuk menghindari kekerasan seksual

Ilustrasi Shooting Film. Foto: Shutterstock
Untuk menghindari kekerasan serta pelecehan seksual guna meningkatkan peran perempuan dan gender lain di industri film, Nia Dinata dan team juga selalu melakukan background checking yang ketat untuk orang yang akan terlibat di production house-nya.
“Aku akan cek dua kali orang tersebut karena kalau editing malam-malam itu berisiko sekali apalagi ada anak-anak magang juga yang baru mulai berkarier di industri film. Jadi aku tidak ingin terjadi adanya bentuk kekerasan dan pelecehan seksual apa pun di ruang kerja kami,” pungkasnya.