Nth Room, Kasus Pelecehan Seksual yang Libatkan 260 Ribu Orang di Korsel

27 Maret 2020 15:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cho Ju-bin (tengah), diduga sebagai pemimpin jaringan pemerasan seksual online Korea Selatan, saat akan dipindahkan ke kantor kejaksaan di Seoul, 25 Maret 2020. Foto: REUTERS/Kim Hong-Ji
zoom-in-whitePerbesar
Cho Ju-bin (tengah), diduga sebagai pemimpin jaringan pemerasan seksual online Korea Selatan, saat akan dipindahkan ke kantor kejaksaan di Seoul, 25 Maret 2020. Foto: REUTERS/Kim Hong-Ji
ADVERTISEMENT
Saat dunia fokus pada wabah virus Corona, Korea Selatan justru kembali menjadi sorotan karena kasus pelecehan seksual. Baru-baru ini, Korea Selatan diramaikan dengan kasus pelecehan seksual bernama ‘Nth Room’ yang diprediksi melibatkan sekitar 260 ribu orang di aplikasi pesan instan Telegram dan menargetkan perempuan, termasuk yang masih di bawah umur.
ADVERTISEMENT
Menurut The Guardian, 260 ribu orang itu bergabung dalam chat room atau ruangan chat di aplikasi Telegram dan aplikasi lainnya. Mereka menikmati foto dan video berisi sosok perempuan, termasuk yang berada di bawah umur, saat mereka dipaksa melakukan tindakan seksual yang mengarah pada penyiksaan.
Kasus ini sebenarnya sudah diungkapkan sejak November lalu, namun baru dibahas secara lebih lengkap oleh media Korea, Kookmin Ilbo, pada awal Maret 2020 ini. Merasa marah setelah laporan tersebut diungkapkan, publik Korea, termasuk netizen dan selebriti, menandatangani petisi online kantor Kepresidenan Korea Selatan dan menuntut agar identitas pria yang menjadi pelaku utama kasus ini diungkapkan.
Meski selama ini tidak mempublikasikan identitas pelaku, pada Selasa (24/3), polisi Korea Selatan akhirnya membongkar identitas pria tersebut. Dia adalah Cho Ju Bin, seorang pria berusia 25 tahun yang menggunakan nama 'baksa' atau 'dokter' dalam bahasa Korea dalam chatroom ‘Nth Room’. Pada Rabu (25/3), pria ini sempat berbicara di hadapan para reporter ketika dia akan dibawa meninggalkan kantor polisi di Seoul, Korea, dan diserahkan kepada kejaksaan.
Cho Ju-bin (tengah), diduga sebagai pemimpin jaringan pemerasan seksual online Korea Selatan, saat akan dipindahkan ke kantor kejaksaan di Seoul, 25 Maret 2020. Foto: REUTERS/Kim Hong-Ji
"Saya meminta maaf kepada mereka yang terluka karena saya. Terima kasih karena sudah menyetop kejahatan yang tidak bisa saya hentikan,” tuturnya seperti dikutip The Guardian.
ADVERTISEMENT
Media lokal lainnya, Yonhap, mencatat bahwa Cho Ju Bin tidak berkomentar saat ditanya mengenai perbuatan bejatnya. Dia juga tidak terlihat menunjukkan rasa menyesal maupun bersalah ketika berhadapan dengan para reporter di hadapan publik.
Atas tindakannya, Cho Ju Bin akan dihadapkan dengan sederet pasal di Korea Selatan, termasuk yang berkaitan dengan perlindungan anak, privasi, pelecehan seksual, kekerasan, ancaman, serta paksaan. Hingga kini, belum diketahui seperti apa hukuman yang akan dijatuhkan kepada pria tersebut.
Selain itu, polisi mengatakan bahwa mereka terus menginvestigasi para pengguna situs yang membayar hingga 1,5 juta Won (sekitar Rp 19 juta) lewat mata uang cryptocurrency untuk melihat foto dan video yang diambil paksa dari para korban. Sejauh ini, polisi telah menangkap 124 tersangka dan menahan 18 orang operator chatroom, termasuk Cho Ju Bin, sejak September lalu.
ADVERTISEMENT
Menurut Kookmin Ilbo, ada sekitar 25 ribu pengguna yang bergabung ke dalam 30 chatroom untuk tujuan tersebut. Mereka membayar sampai 1,5 juta won untuk bisa mendapatkan akses kepada Nth Room yang dianggap sebagai chatroom utama. Namun, untuk bisa masuk ke dalam chatroom utama ini, mereka harus 'membuktikan diri' dalam sebuah chatroom lain dengan mengunggah bukti pelecehan seksual yang pernah mereka lakukan dan juga membuat komentar misoginis.
Cara pelaku menjebak korban
Ilustrasi korban pelecehan seksual Foto: Shutterstock
Laporan The Guardian menyebutkan, Cho Ju Bin memimpin sebuah jaringan online yang telah menjebak setidaknya 58 perempuan dewasa dan 16 remaja perempuan. Menurut Quartz, seringkali, mereka yang menjadi korban adalah remaja perempuan yang kabur dari rumah dan beraktivitas di aplikasi chatting atau Twitter, juga terlibat dalam prostitusi atau sexting demi mendapatkan uang.
ADVERTISEMENT
Untuk melaksanakan modusnya, para operator dari Nth Room akan menghubungi korban dan menjanjikan mereka uang yang besar. Korban lalu diarahkan kepada chatroom Telegram dan perlahan-lahan ditanyai mengenai nama, nomor telepon, alamat, daftar teman, juga foto tubuh mereka. Hal-hal ini lantas dijadikan sebagai senjata untuk mengancam dan membungkam para perempuan tersebut.
Laporan lain menyebutkan, Cho mengancam akan menyebarkan identitas para perempuan itu, jika mereka tidak mau membagikan video yang berisi sosok mereka melakukan aksi seksual, termasuk yang melibatkan kekerasan. Sebagian dari perempuan ini dipaksa menuliskan kata 'budak' pada tubuhnya dan berpose dengan gaya tertentu untuk menunjukkan bahwa mereka adalah ‘kepunyaan’ Cho.
Seorang korban yang masih di bawah umur mengatakan, dia dipaksa mengambil lebih dari 40 video pelecehan seksual, ketika dia duduk di bangku SMP pada 2018.
Ilustrasi korban pelecehan seksual. Foto: Shutter Stock
“Saya menderita kelainan bipolar dan depresi (karena ini). Saya merasa seperti diikuti. Saya tidak bisa membiarkan siapapun mengenali saya, jadi saya akan berpakaian untuk menutupi tubuh hingga wajah setiap kali keluar rumah, di musim panas sekalipun,” ujarnya kepada CBS Radio, seperti dikutip Quartz.
ADVERTISEMENT
“Ini membuat saya gila, karena saya berpikir bagaimana kalau suatu hari saya terbangun dengan puluhan ribuan di aplikasi chat KakaoTalk, berisi video saya yang disebarkan melalui media sosial,” ujarnya menambahkan.
Kasus ini pun menambah panjang daftar pelanggaran terkait pelecehan seksual yang terjadi di Korea Selatan. Tahun lalu, negara itu menjadi sorotan karena kasus prostitusi 'Burning Sun' yang melibatkan sejumlah nama selebriti terkenal Korea Selatan. Tak hanya itu, negara ini juga masih berurusan dengan masalah molka (kamera pengintai) yang merekam sosok perempuan secara ilegal, di tempat seperti toilet dan ruang ganti pusat perbelanjaan.
Berbagai media pun menekan pemerintah Korea Selatan untuk memperkuat penanganan terhadap kejahatan seksual di negara tersebut. Berdasarkan laporan Quartz, ada 3.439 orang yang ditangkap pada 2015-2018 karena menciptakan dan menyebarkan konten pornografi anak-anak. Namun, hanya 479 di antara mereka yang dijatuhi hukuman dan hanya 80 orang yang mendapat hukuman penjara.
ADVERTISEMENT
-----------------
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran virus Corona. Yuk, bantu donasi sekarang!