Pameran Foto Candi Borobudur & Wastra Indonesia Karya Edward Hutabarat di Paris

23 Januari 2024 16:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pameran Foto Candi Borobudur & Wastra Indonesia Karya Edward Hutabarat di Paris. Foto: dok. Tommy Hartanto
zoom-in-whitePerbesar
Pameran Foto Candi Borobudur & Wastra Indonesia Karya Edward Hutabarat di Paris. Foto: dok. Tommy Hartanto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nama perancang Edward Hutabarat, sinonim dengan karya-karya yang menyajikan wastra Nusantara dalam keindahannya yang utuh, berbalut garis desain bernapas kekinian.
ADVERTISEMENT
Kepeduliannya terhadap pelestarian maha karya wastra, membawanya tekun berkeliling ke beragam pelosok Indonesia selama puluhan tahun untuk langsung menyaksikan proses panjang penciptaan wastra dan kehidupan para penciptanya. Ia pun terkenal rajin merekam babak-babak perjalanan ulik budaya itu dengan lensa kameranya.
Pada akhir tahun lalu, Bang Edo—begitu ia akrab disapa—memutuskan untuk mempersembahkan salah satu episode perjalanan itu pada sebuah pameran foto yang bertajuk Selimut Nusantara di Carrousel du Louvre, Paris.
Dengan dukungan penuh dari Kemdikbud RI, sejumlah foto yang terpampang di langit-langit lorong panjang Carrousel du Louvre, di antaranya khusyuk berkisah tentang kemegahan sekaligus kesyahduan Candi Borobudur.
Selain foto-foto candi Buddha terbesar di dunia itu, hadir pula foto-foto yang memaparkan wajah dan proses di balik karya-karya wastra yang terwujud ke dalam koleksi yang dipresentasikan oleh Edward Hutabarat pada November 2022 lalu di Candi Borobudur.
ADVERTISEMENT
Pameran foto yang berlangsung di Paris hingga 8 Januari ini diresmikan langsung pembukaannya oleh Franka Makarim. Malam pembukaan pameran, kemudian diisi oleh sajian karya-karya wastra terkini dari Edward Hutabarat.
Kain-kain ikat tenun dari Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Bali, bersanding dengan songket dari Sumatra Barat dan Ulos Pulau Samosir. Judul pameran Selimut Nusantara berangkat dari penghargaan takzim sang desainer terhadap kain.
Baginya, kain adalah ‘selimut’ peradaban Nusantara. Lahir dari peradaban mahatinggi, untuk lalu kembali melindungi peradaban itu agar keahlian dan kearifannya terus terjaga sebagai warisan berkelanjutan.
"Peradaban Indonesia sangat erat kaitannya dengan kain, dengan ‘selimut’,” paparnya.
Namun, ‘selimut’ di Indonesia dikenal dengan nama-nama lain seperti sarung, atau jarit yang bisa berupa Batik atau Lurik. Lebih jauhnya, mari simak penjelasan Edward Hutabarat tentang simbol dan makna dari beberapa koleksi wastra yang tampil pada malam pembukaan pameran tersebut.
Pameran Edward Hutabarat di Paris. Foto: dok. Tommy Hartanto
1. Kain songket & baju kurung karya Emilia Fatma
ADVERTISEMENT
Setelan baju kurung renda merah ini, disandingkan dengan sehelai kain songket berbenang sutera karya artisan Emilia Fatma dari Rumah Songket Hajjah Fatimah Sayuthi yang berlokasi di Simpang Koto Tinggi, kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Emilia Fatma menyelesaikan kain songket ini pada 2003.
Pameran Edward Hutabarat di Paris. Foto: dok. Tommy Hartanto
2. Tenun ikat dari Kerajaan Mangili, NTT
Tenun Ikat dari kerajaan Mangili, kampung Kaliuda, Sumba Timur, NTT. Ada tiga motif binatang yang tertera di kain ini; motif buaya sebagai simbol kekuasaan dan kekuatan seorang raja, motif penyu sebagai simbol kelemahlembutan seorang ratu, serta motif burung Garuda sebagai simbol peralihan sistem pemerintahan pada 1950, dari kerajaan ke republik.
Selain motif ketiga binatang tersebut, terdapat pula motif sepasang laki-laki dan perempuan yang tengah berkuda. Motif terakhir ini menyimbolkan tradisi kawin lari masyarakat Sumba.
ADVERTISEMENT
3. Tenun ikat berusia satu abad
Tenun Ikat berbenang sutra ini, satu abad usianya. Berasal dari kerajaan Rende—yang merupakan salah satu kantor administrasi pemerintahan Hindia Belanda—kain serupa juga terdapat di kerajaan Kambera, kampung Raja Prailiu.
Motif-motif binatang yang tertera di kain ini adalah deretan pertama memuat motif burung Kakaktua, simbol persatuan. Lalu di deretan kedua ada motif singa yang mengapit mahkota, sebagai simbol kebangsawananan. Pada deretan ketiga, ada motif ayam jantan, simbol pengaruh seseorang di sebuah kampung, sekaligus simbol kebangkitan jiwa. Pada deretan keempat, ada motif kupu-kupu purba yang lazim disebut Kare, menyimbolkan kehormatan kepada kelompok darah biru.
Pameran Edward Hutabarat di Paris. Foto: dok. Tommy Hartanto
4. Kain yang berasal dari Kambera, Nusa Tenggara Timur ini, berusia delapan dekade
ADVERTISEMENT
Motif-motif yang berada pada kain ini adalah motif pohon Andung (pohon tengkorak), simbol tentang kepahlawanan dan kemenangan dalam suatu perang. Motif kedua adalah ana tau atau manusia marapu, simbol dari kesempurnaan Ilahi (marapu adalah Tuhan, leluhur, serta roh baik).
Di bagian tengah terdapat motif mbola pahapa atau tempat sirih pinang, simbol keramah tamahan, sebuah hal yang dijunjung tinggi di dalam budaya Sumba.
Bagi Edward Hutabarat, cita-cita dan tujuannya membawa wastra Indonesia ke ranah internasional bukanlah sebuah ambisi.
"Saya ingin ‘selimut’ ini menjadi bagian dari gaya hidup di ranah internasional. Dalam mengembangkan warisan budaya Indonesia, saya selalu berfokus pada empat aspek utama, yaitu identitas, kualitas, kreativitas, dan kesederhanaan. Dengan poin-poin ini, saya menciptakan skenario timur bertemu barat. Tren yang tak mengenal gender ini hadir dengan cita dan perasaan, mencerminkan harmoni. Bukan ambisi, bukan emosi.”
ADVERTISEMENT
Penulis: Rifina Muhammad