Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Pemerintah India Tolak Pidanakan Pelaku Pemerkosaan dalam Perkawinan
6 Oktober 2024 14:20 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Pemerintah India menolak untuk memidanakan pelaku marital rape atau perkosaan dalam perkawinan. Hal ini disampaikan dalam pernyataan resmi Pemerintah Pusat kepada Mahkamah Konstitusi India pada Kamis (3/10) lalu.
ADVERTISEMENT
Dalam affidavit sebanyak 40 halaman itu, Pemerintah India menyebut bahwa melabeli kekerasan seksual dalam rumah tangga sebagai “perkosaan” dirasa terlalu kasar.
Selain itu, mereka juga mengeklaim, hukuman pidana bagi pelaku pemerkosaan dalam perkawinan bisa berdampak buruk pada hubungan suami-istri dan mengganggu institusi pernikahan.
Menurut National Domestic Violence Hotline, marital rape atau pemerkosaan dalam pernikahan didefinisikan sebagai tindakan seksual dalam perkawinan yang dilakukan secara paksa, dengan ancaman, atau tanpa consent (persetujuan) salah satu pihak.
Dikutip dari Independent, pemerintahan federal India menegaskan bahwa suami tidak berhak untuk memaksa istri berhubungan badan. Namun, mengklasifikasikan kekerasan seksual sebagai perkosaan dianggap berlebihan.
Dalam affidavit itu, Pemerintah India menyatakan perlunya dilakukan pendekatan yang seimbang untuk mempertimbangkan hak-hak dasar dalam pernikahan .
ADVERTISEMENT
“Pemerintah Pusat menegaskan bahwa syarat atas persetujuan perempuan (terkait hubungan seksual) tidak hilang setelah pernikahan, dan pelanggaran terhadap persetujuan tersebut akan memiliki konsekuensi pidana,” ungkap Kementerian Dalam Negeri India dalam affidavit tersebut, dikutip dari Independent.
“Namun, konsekuensi dari pelanggaran dalam lingkup pernikahan itu berbeda dengan pelanggaran yang dilakukan di luar institusi pernikahan,” lanjutnya.
Pemerintah India juga mengeklaim bahwa hukum mereka sudah cukup untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual dan KDRT.
Dorongan untuk memidanakan pelaku pemerkosaan dalam perkawinan berangkat dari petisi yang diterima oleh Mahkamah Konstitusi India. Petisi itu mendesak pencabutan hukum soal pemerkosaan yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana India.
Aturan tersebut menjelaskan, tindakan seksual oleh seorang laki-laki terhadap istrinya bukanlah pemerkosaan, selama istrinya tidak di bawah 18 tahun. Hukum tersebut sudah berlaku sejak 1860 silam saat India masih di bawah kekuasaan Kerajaan Inggris. Dengan adanya hukum tersebut, suami tidak bisa diadili akibat pemerkosaan dalam pernikahan.
ADVERTISEMENT
Maraknya kekerasan seksual di India
Di India, kekerasan seksual dalam rumah tangga masih sangat tinggi. Dikutip dari CBS News, enam persen dari jumlah perempuan India yang sudah menikah pernah melaporkan kasus kekerasan seksual oleh suami mereka. Angka ini terungkap dalam Survei Kesehatan Keluarga Nasional India yang dilakukan pada 2019–2021.
Dilansir Reuters, data yang dihimpun oleh National Crime Records Bureau (NCRB) India mengungkap, angka pemerkosaan yang dilaporkan sangatlah tinggi.
Pada 2016, NCRB mencatat 39 ribu kasus pemerkosaan. Di 2018, rata-rata setiap 15 menit, ada satu perempuan yang melaporkan pemerkosaan. Di data termutakhir, yakni pada 2022, angkanya mencapai 31 ribu.
Aktivis hak laki-laki, pemerintah, hingga sejumlah kelompok agama menolak keras hukuman pidana bagi pelaku pemerkosaan dalam perkawinan. Mereka berpendapat, persetujuan seksual dari istri sudah diperoleh lewat pernikahan dan izin tersebut tidak bisa ditarik.
Sementara itu, para aktivis hak perempuan menegaskan, argumen tersebut sudah ketinggalan zaman. Ahli Gender Ntasha Bhardwaj, Ph.D, mengatakan bahwa penolakan ini justru melanggar hak dan kesetaraan gender.
ADVERTISEMENT
“Ini tidak masuk akal. Tak memidanakan pelaku pemerkosaan dalam perkawinan adalah pola pikir lampau zaman Victoria. (Pola pikir ini) memberikan akses tak terbatas bagi para pria terhadap tubuh perempuan usai pernikahan,” ucap Ntasha, sebagaimana dilansir The Guardian.
“Ini berkonflik dengan konstitusi, yang seharusnya melindungi perempuan dari kekerasan dan mengabulkan kesetaraan bagi mereka.”