Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Perempuan Mahardhika Sebut Pemerintahan Prabowo-Gibran Anti-Perempuan
20 Februari 2025 18:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Konsorsium Percepatan dan Penguatan Advokasi dan Implementasi Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (ASAP!) merupakan konsorsium yang terdiri dari Forum Pengada Layanan (FPL), Perempuan Mahardhika, Yayasan Humanis, dan Institute of Crime Justice Reform (ICJR). Gerakan ini berfokus untuk mengawal implementasi UU TPKS di Indonesia, demi penanganan kekerasan terhadap perempuan yang lebih baik.
Dalam acara media briefing Konsorsium ASAP! di Cikini, Jakarta, Kamis (13/2), disebutkan bahwa selama 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, masih belum ada gebrakan dalam implementasi UU TPKS. Menurut Ni Loh Gusti Madewanti dari Yayasan Humanis, ini tercermin dari lambatnya kinerja pemerintah dalam menerbitkan Peraturan Pelaksana UU TPKS.
Ni Loh menjelaskan, terdapat tujuh Peraturan Pelaksana UU TPKS. Namun, sejauh ini, peraturan yang sudah diterbitkan baru empat. Ia pun mempertanyakan status tiga peraturan lainnya.
ADVERTISEMENT
“Menariknya, sampai hari ini (13 Februari), sudah ada empat Peraturan Pelaksana yang disahkan. 100 harinya Prabowo-Gibran ini ngapain, masih ada pekerjaan rumah. Sejak baru dilantik sampai saat ini, sebenarnya masih ada tiga peraturan pelaksana yang sudah ada di Setneg (Sekretariat Negara), sudah ada draf, sudah harmonisasi, tapi belum disahkan. Kenapa? Apa yang bikin hal ini lama di sana?” papar Ni Loh.
Selain itu, menurut Yayasan Humanis, layanan terpadu untuk penanganan kekerasan seksual masih belum merata. Banyak daerah yang ternyata belum memiliki layanan ini. Ni Loh menjelaskan, layanan terpadu sendiri merupakan amanat dari UU TPKS.
“Di daerah koordinator layanan terpadu, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), banyak daerah yang (UPTD PPA-nya) belum terbentuk. Padahal, ini adalah mandat dari UU TPKS,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, ia juga menyorot banyak aparat penegak hukum, termasuk polisi, yang belum mengimplementasikan UU TPKS dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Sementara itu, UU TPKS disebut bisa langsung digunakan oleh penyidik untuk memproses kasus kekerasan seksual.
“Sayangnya situasi saat ini dalam catatan pendamping, masih banyak aparah penegak hukum, terutama polisi, yang enggan menggunakan UU TPKS dengan alasan juknisnya (petunjuk teknis) belum ada,” kata Ni Loh.
Pemerintahan yang anti-perempuan
Ketua Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi, menyebut bahwa selama 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, kasus kekerasan seksual di Indonesia masih belum ditangani dengan baik. Bahkan, di Januari lalu, terjadi kasus femisida (pembunuhan perempuan) di Ngawi, Jawa Timur.
Kemudian, Ika juga menyebut, selama 100 hari, pemerintahan Prabowo-Gibran justru bergerak menjauh dari upaya perlindungan perempuan dari kekerasan. Ini terlihat dari terbitnya Peraturan Gubernur di Daerah Khusus Jakarta yang menyatakan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) bisa poligami dengan syarat-syarat tertentu.
ADVERTISEMENT
“Justru muncul banyak kebijakan yang bertentangan dengan semangat menghapuskan kekerasan terhadap perempuan atau menangani situasi ketidaksetaraan relasi gender yang kemudian menempatkan perempuan menjadi lebih rentan kena kekerasan,” papar Ika.
“Pada Januari kemarin, kita dikejutkan dengan Pergub yang kemudian seakan-akan memperketat poligami, padahal itu melanggengkan konstruksi gender yang menempatkan perempuan menjadi objek seksual, karena syarat diskriminatif dalam aturan tersebut,” imbuhnya.
Lalu, kebijakan efisiensi anggaran juga dipandang akan sangat berdampak terhadap upaya perlindungan perempuan. Ika menjelaskan, pemangkasan anggaran ini menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang bisa berdampak pada perempuan dan penanganan kekerasan.
“Sehingga secara general, saya melihat justru pemerintahan Prabowo ini menjauh dari upaya perlindungan terhadap perempuan dan menjadi rezim yang anti-perempuan,” tegasnya.
ADVERTISEMENT