Perempuan Masih Didiskriminasi Lewat Aturan soal Hijab

3 September 2024 19:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perempuan berhijab. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan berhijab. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
“Kalau kamu diterima kerja di sini, kamu mau lepas hijab?”
ADVERTISEMENT
“Kenapa kamu tidak mau pakai jilbab, punya masalah apa di rumah?”
Diskriminasi terhadap perempuan di balik aturan berbusana lagi-lagi terjadi. Padahal diskriminasi berbusana ini–baik itu pemaksaan untuk berhijab ataupun melepas hijab–sama-sama membatasi kebebasan, mereduksi martabat, dan mengukuhkan hierarki gender.
Di balik dalih moralitas, agama, atau budaya, aturan berbusana ini seringkali menjadi instrumen kekuasaan yang digunakan untuk mengontrol tubuh, membungkam suara, dan memaksa perempuan untuk tunduk pada norma-norma yang telah ditentukan.
Tak hanya itu, aturan berbusana ini juga mencerminkan perebutan kuasa atas tubuh perempuan. Melalui aturan ini, perempuan dihadapkan pada dilema antara mematuhi norma yang berlaku dan mempertahankan identitas serta martabatnya.

Perempuan dipaksa memilih: antara karier dan mengenakan hijab

Seperti yang baru-baru ini terjadi di RS Medistra. Rumah sakit internasional yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan itu viral akibat kebijakan yang membatasi para dokter dan perawat untuk memakai hijab.
ADVERTISEMENT
Hal ini terungkap setelah surat yang ditulis oleh DR. dr. Diani Kartini SpB, Subsp. Onk (K) kepada manajemen Rumah Sakit Medistra viral di media sosial. Dalam surat yang ditulis pada 29 Agustus 2024 itu dokter Diani mengkritisi kebijakan rumah sakit yang mempertanyakan jilbab saat pihak RS melakukan wawancara kepada calon pegawai. Pertanyaan dalam wawancara terhadap tenaga medis itu adalah: apakah Anda bersedia membuka hijab jika diterima bekerja di RS Medistra?
Kepada kumparan, Diani menceritakan awal mula polemik soal pembatasan hijab terjadi di RS Medistra. Menurut dokter yang sudah bekerja 14 tahun di RS Medistra itu, pembatasan penggunaan jilbab bagi perawat di RS Medistra sudah ada sejak lama. Diani juga mengatakan, seragam resmi para perawat juga berlengan pendek dan celana panjang.
ADVERTISEMENT
Setelah polemik ini mencuat, pihak RS Medistra membantah adanya pelarangan penggunaan hijab bagi pegawainya. Terkait wawancara dengan kandidat, RS Medistra meminta maaf. Pihak RS menyebut itu hanyalah kesalahpahaman.
Ilustrasi perempuan berhijab. Foto: Shutterstock
Masih hangat di ingatan, kasus serupa juga terjadi pada anggota perempuan Paskibraka 2024. Publik tiba-tiba dikejutkan saat belasan anggota Paskibraka 2024 perempuan tak mengenakan jilbab ketika dikukuhkan oleh Presiden Jokowi di IKN pada Selasa (13/8). Padahal saat pelatihan, anggota Paskibraka perempuan selalu mengenakan jilbab. Tercatat ada 18 anggota Paskibraka perempuan berhijab, namun saat dikukuhkan di IKN, mereka tak memakai hijab.
Hal itu disorot oleh banyak pihak mulai dari Pengurus Pusat Purna Paskibraka Indonesia (PPI), MUI, DPR, KPAI, jajaran partai politik hingga Komnas HAM. Bahkan aturan lepas hijab itu berbuntut dengan desakan agar Kepala Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi dicopot.
ADVERTISEMENT
BPIP sempat berdalih bahwa anggota Paskibraka melepas hijabnya adalah keputusan sukarela tanpa paksaan. Baru belakangan terkuak bahwa ada surat pernyataan yang mesti ditandatangani calon paskibraka berisi pernyataan kesediaan melepas hijab apabila terpilih.

Hijab jadi syarat bagi perempuan untuk diterima di satu lingkungan

Ilustrasi hijab. Foto: VeraShikha/Shutterstock
Diskriminasi busana ini juga terjadi pada perempuan yang dipaksa mengenakan hijab dengan dalih agama. Hal ini pernah menimpa seorang siswi SMA Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Siswi ini bahkan mengalami depresi diduga karena dipaksa gurunya untuk mengenakan jilbab. Peristiwa tersebut terjadi pada Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) pada Juli 2022 lalu.
Siswi tersebut awalnya mengikuti MPLS dengan nyaman-nyaman saja. Namun pada tanggal 19 Juli, anak tersebut dipanggil oleh tiga guru Bimbingan dan Konseling (BK).
ADVERTISEMENT
Di ruang BK, seorang guru kemudian memakaikan jilbab ke siswi tersebut. Bahkan beberapa guru melakukan perundungan dengan bertanya: "Kenapa kamu nggak mau pakai jilbab? Ada masalah apa kamu di rumah?"
Kasus yang sama juga menimpa siswi SMKN 2 Padang. Orang tuanya dipanggil pihak sekolah lantaran sang siswi tidak mengenakan jilbab. Video yang merekam pertemuan diduga pihak sekolah dengan wali murid tersebut viral di media sosial. Video itu diunggah oleh akun Facebook Elianu Hia yang diduga sebagai wali murid yang dipanggil pihak sekolah.
Dalam video yang viral itu tampak pihak sekolah dan wali murid beradu argumen soal penggunaan jilbab di sekolah. Masalah ini jadi sorotan banyak pihak sebab belakangan diketahui siswi yang menolak berhijab itu adalah seorang nonmuslim.
ADVERTISEMENT
Meski berakhir damai dan pihak sekolah meminta maaf, namun masalah ini menuai banyak respons dari berbagai pihak. Sekolah pun sempat mendapat ultimatum dari Kemendikbud.
Hal serupa juga dilakukan seorang konten kreator Zavilda TV. Channel Youtube-nya menyita perhatian publik karena membawakan konten dakwah dengan mendekati beberapa pengunjung atau wisatawan perempuan yang tidak berhijab untuk kemudian dipakaikan hijab.
Konten-konten Zavilda TV pun menuai kritik sebab seakan-akan perempuan yang menggunakan hijab lebih baik daripada yang tidak. Selain itu, judul-judul yang digunakan di kontennya juga dinilai mengobjektifikasi perempuan seperti penggunaan kata ‘seksi’ dan ‘akan terkena murka Allah jika tidak mematuhi ajaran agama.’

Diskriminasi busana cerminan ketidaksetaraan gender

Ilustrasi OOTD Hijab. Foto: GoodStudio/Shutterstock
Ladies, diskriminasi dalam aturan busana ini menjadi penghalang bagi perempuan untuk mencapai kesetaraan dan mewujudkan potensinya secara utuh. Sebab seringkali aturan ini menempatkan perempuan dalam pilihan-pilihan dilematis.
ADVERTISEMENT
Selain itu, aturan pakaian yang diskriminatif tidak hanya melanggar hak asasi manusia atas kebebasan berekspresi, namun juga memperkuat konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai objek yang harus diatur dan dikendalikan.
Dengan membatasi pilihan pakaian, perempuan dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan standar kecantikan dan kesopanan yang sempit, serta mengorbankan kenyamanan dan otonomi tubuh mereka.