Perempuan Suku Mosuo di China Bebas Pilih Pasangan & Jalani Hubungan Tanpa Nikah

12 Mei 2020 20:50 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perempuan Suku Mosuo. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Perempuan Suku Mosuo. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sejak dulu, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki sering kali diperdebatkan. Di berbagai negara termasuk Indonesia, perempuan kerap diperlakukan tidak adil. Banyak perempuan yang tidak bisa memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam menentukan garis hidup. Urusan memilih pasangan, menentukan pendidikan, meraih impian, hingga cara berpakaian perempuan sering kali dibatasi oleh budaya dan aturan-aturan tertentu. Sehingga perempuan tidak bisa bebas maju dan menjalani kehidupan sesuai dengan keinginan mereka.
ADVERTISEMENT
Tetapi budaya patriarki ini tidak terjadi sama sekali di kehidupan Suku Mosuo, sebuah suku yang terletak di kaki gunung Himalaya, lembah Yunnan, Barat Daya China. Mereka menjalani pola hidup matriarki atau dominasi perempuan dalam berbagai hal. Sistem matriarki ini membuat Suku Mosuo dijuluki sebagai Kerajaan Perempuan.
Perempuan Suku Mosuo. Foto: Wikimedia Commons
Di kehidupan suku Mosuo, para perempuan benar-benar mendapatkan kesempatan yang setara dengan para pria. Perempuan diperbolehkan menjadi kepala keluarga, bekerja, memilih pasangannya sendiri, dan tidak akan dihakimi jika memiliki anak tanpa harus menikah.
Tak hanya itu, perempuan Mosuo juga punya hak untuk menjadi ahli waris dari kekayaan keluarga, bertani, dan melakukan pekerjaan lain yang umumnya dilakukan oleh pria, seperti membajak dan membangun, serta memperbaiki rumah.
ADVERTISEMENT
Tidak menikah dan bebas menjalani hubungan dengan pria yang disukai
Selain bisa menjalankan berbagai kegiatan yang setara dengan laki-laki, salah satu yang ini dari kehidupan perempuan Mosuo ini adalah mereka memiliki kuasa untuk memilih laki-laki yang mereka suka untuk dijadikan pasangan. Mereka bahkan tidak perlu menjalani pernikahan dan bebas tidur dengan pria manapun yang mereka suka.
Semua ini dilakukan tanpa ikatan resmi pernikahan. Mungkin kalau di era modern seperti sekarang, hubungan tanpa ikatan pernikahan ini sering disebut dengan open relationship, di mana baik perempuan maupun laki-laki tidak memiliki keharusan untuk bermonogami atau berhubungan dengan satu pasangan saja.
Saat sudah dianggap dewasa, yaitu ketika menginjak usia 12 sampai 14 tahun, gadis Mosuo akan diberikan upacara khusus untuk menyambut kehidupan dewasa mereka. Ketika itu, perempuan Mosuo akan diberikan kamar sendiri, terutama saat mereka sudah dianggap dewasa secara seksual. Keistimewaan ini tidak didapatkan oleh pria Mosuo. Selanjutnya, mereka diperbolehkan mengajak pria manapun yang disukai untuk berhubungan seks dengan mereka.
ADVERTISEMENT
Pria Mosuo 'yang terpilih' harus mengikuti peraturan saat mengunjungi calon pasangan cinta satu malamnya. Mereka harus melakukan ritual tisese. Antropolog Cai Hua dalam bukunya 'A Society Without Fathers Or Husbands: The Na of China' mengatakan bahwa tisese adalah kunjungan 'sembunyi-sembunyi' atau 'tertutup'. Artinya, kedua pasangan yang berhubungan tidak perlu memberikan penjelasan pada publik tentang status hubungan keduanya. Sebab hal tersebut sudah menjadi tradisi bagi perempuan dan pria Mosuo.
Uniknya, walaupun perempuan Mosuo diizinkan untuk berganti pasangan kapanpun, mereka juga bisa berhubungan seksual dengan satu orang pria saja. Jika sudah begitu, berarti pasangan tersebut akan menjalani walking marriage atau pernikahan berjalan yang bersifat jangka panjang. Di mana satu perempuan bisa hamil beberapa kali dengan pria yang sama.
ADVERTISEMENT
Tetapi ketika anak-anaknya sudah lahir, hak asuh dan tanggung jawab secara penuh diberikan kepada sang perempuan dan keluarganya. Para pria sama sekali tidak memiliki tanggung jawab apapun atas anak-anaknya. Mereka tidak perlu menafkahi, tinggal bersama, atau mendidik anaknya.
Saking terbukanya pemikiran masyarakat Mosuo, mereka tidak akan menghakimi jika seorang anak tidak mengenal siapa ayah kandungnya. Sebab hal itu sudah menjadi tradisi dan hal yang sangat wajar.
Budaya mulai tergerus era modern
Namun menurut National Geographic, seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi dan modernisasi zaman mulai menggerus kebudayaan Suku Mosuo. Terutama pada 20 tahunan terakhir.
Hal ini disinyalir terjadi karena masyarakat Mosuo terlalu membuka diri pada orang-orang asing yang menjadikan desa mereka sebagai destinasi wisata atau tempat penelitian kebudayaan. Keinginan masyarakan Suku Mosuo untuk memperoleh penghasilan dari tourism membuat mereka secara perlahan kehilangan budayanya.
ADVERTISEMENT
Teknologi yang masuk membuat pemuda-pemudi Suku Mosuo menjadi melihat dunia luar. Peristiwa tersebut membuat mereka menyadari bahwa kehidupan yang mereka jalani sangat berbeda dengan di daerah lain.
Alhasil, para pemuda mulai mencari cara untuk bisa keluar dari lingkungan tempat tinggalnya. Mereka kemudian mencari pekerjaan di luar daerah bahkan menikah dengan perempuan atau pria yang bukan berasal dari Suku Mosuo.