Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Pada Desember 2001, keluarga Kekaisaran Jepang diselimuti kebahagiaan menyambut kelahiran Putri Aiko , anak pertama dari Pangeran Naruhito dan Putri Masako Owada. Pangeran Naruhito saat itu adalah pangeran mahkota Kekaisaran Jepang sebagai putra pertama Kaisar Akihito.
Namun di tengah kebahagiaan keluarga menyambut kelahiran sang puteri, ada sebuah kekhawatiran besar yang membayangi keluarga kerajaan dan masyarakat Jepang waktu itu. Mereka sebenarnya menantikan seorang pangeran, bukan seorang puteri. Pangeran yang dinanti sebagai penerus takhta keluarga kaisar, setelah nanti Naruhito turun takhta pada waktunya.
Kisah ini terdengar seperti sebuah dongeng klasik ala Disney bukan? Di mana bayi laki-laki selalu dinanti sebagai penerus gelar sang raja.
Namun ini bukanlah dongeng klasik, kondisi ini masih terjadi di Kekaisaran Jepang, sebuah dinasti yang telah berdiri sejak 660 SM namun terus hidup di tengah modernitas Jepang yang melaju pesat. Pada 1 Mei 2019 lalu, Pangeran Naruhito resmi naik takhta sebagai kaisar baru Jepang dengan gelar Emperor Reiwa dan istrinya, Putri Masako juga resmi menjadi Permaisuri. Namun masalah penerus generasi berikutnya tetap menjadi polemik.
Lalu bagaimana dengan nasib Kekaisaran Jepang? Siapa yang akan menjadi pemimpin masa depan dinasti kuno ini jika tidak ada pewaris laki-laki?
Masa depan Putri Aiko sebagai penerus takhta
Dikenal sebagai negara paling modern di dunia dengan segala macam teknologi terdepan, Jepang ternyata menduduki posisi sebagai negara dengan tingkat kesetaraan gender yang buruk. Menurut survei yang dilakukan oleh World Economic Forum, Jepang menduduki posisi ke-110 dari 149 negara dalam hal kesetaraan gender.
Isu ini telah menjadi kekhawatiran banyak pihak, terutama bagi perempuan Jepang. Saat ini di pemerintahan Jepang saja, hanya ada satu menteri perempuan, yaitu Menteri Pemberdayaan Perempuan, Satsuki Katayama. Pada KTT G20 yang diselenggarakan di Osaka, Jepang pada 28-29 Juni lalu, Yoko Kamikawa, perwakilan Partai Demokrat Liberal di Jepang mengungkapkan bahwa jumlah tersebut merupakan yang paling rendah di masa Kabinet Shinzo Abe sejak ia kembali menjabat sebagai perdana menteri sejak Desember 2012. Padahal sebelumnya Abe pernah merekrut lima perempuan sebagai bentuk dukungan terhadap pemberdayaan perempuan di Jepang. Secara keseluruhan, hal ini membuat perempuan hanya menyumbang angka 10 persen dari 463 kursi di pemerintahan Jepang.
Jika dilihat, kondisi ini ternyata berakar dari paham tradisional Jepang, yang dibuktikan dengan sistem kekaisaran yang melarang perempuan menjadi kaisar. Padahal jauh sebelum memasuki era modern, negeri sakura ini pernah dipimpin oleh delapan kaisar perempuan yang dipercaya menjadi penerus kerajaan selama lebih dari 2.600 tahun. Perempuan terakhir yang menjadi kaisar memimpin Jepang sekitar 250 tahun yang lalu.
Namun tampaknya hal ini belum akan terjadi lagi, karena pemerintah Jepang tidak setuju untuk mengubah peraturan yang dibuat terkait hal tersebut. Karena itu, meskipun memiliki posisi sebagai satu-satunya keturunan kaisar, Putri Aiko tampaknya tak akan pernah duduk sebagai pemimpin masa depan kerajaan tersebut.
Putri Aiko sendiri saat ini sudah berusia 17 tahun dan sedang menjalani pendidikan sekolah menengah atas (SMA) khusus perempuan di Gakushuin Girls Senior High School di Tokyo, Jepang. Kehidupan sekolah Putri Aiko bisa dibilang tidak mudah. Saat berusia 8 tahun, ia tidak mau pergi sekolah karena terus-menerus mendapat bullying dari teman-teman sekolahnya terkait masalah ibunya yang tidak bisa melahirkan pangeran. Di sekitar tahun 2010, Putri Masako bahkan memutuskan untuk mengantar Aiko dan mendampinginya saat belajar di kelas.
Beberapa hal telah dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk mencoba mengubah peraturan tersebut. Beberapa tokoh yang khawatir akan masa depan Kekaisaran Jepang mencoba mengusulkan perubahan peraturan, karena sejak 41 tahun Kekaisaran Jepang tidak memiliki keturunan laki-laki. Usaha perubahan ini telah melalui proses dua perdana menteri di Jepang, yaitu Perdana Menteri Junichiro Koizumi di 2005 hingga Perdana Menteri Shinzo Abe di 2007. Namun pada 2007 proses usulan perubahan undang-undang tersebut dibatalkan oleh Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe karena akhirnya adik Pangeran Naruhito, yaitu Pangeran Akishino akhirnya memiliki keturunan laki-laki dengan kelahiran putranya Pangeran Hisahito.
Dengan keadaan tersebut, untuk sementara pupus sudah harapan bahwa Jepang akan memiliki kaisar perempuan di masa depan. Takhta Kekaisaran Jepang akan diteruskan oleh Pangeran Akishino, dan kemudian putranya Pangeran Hisahito yang saat ini menginjak usia 12 tahun.
Padahal, jika pemerintah Jepang memiliki keinginan untuk mengubah peraturannya menjadi lebih modern dan ramah perempuan seperti yang dilakukan oleh kerajaan Inggris, kekaisaran Jepang bisa dengan mudah memilih Putri Aiko sebagai kaisar di masa depan, seperti yang dilakukan Ratu Elizabeth II.
Di era kepemimpinannya, Sang Ratu banyak melakukan perubahan-perubahan besar, salah satunya yang terkait soal peran perempuan di kerajaan. Di tahun 2011, Ratu Elizabeth II mengubah peraturan kerajaan yang sudah berlaku sejak 300 tahun lalu, di mana nantinya anak perempuan pertama dari Duke and Duchess of Cambridge akan bisa menjadi ratu, meskipun ia memiliki adik laki-laki. Ratu Elizabeth mengubah peraturan ini agar kerajaan menjadi lebih relevan dengan kehidupan modern saat ini. Mungkin sudah saatnya Kekaisaran Jepang mengikuti gebrakan yang dilakukan Ratu Elizabeth II ini.