Perjalanan Cosplayer Perempuan di Indonesia, Lebih dari Sekadar Imej Sensual

8 Januari 2023 20:27 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi cosplayer perempuan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cosplayer perempuan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Cosplay atau mengenakan pakaian beserta aksesori dan rias wajah seperti yang dikenakan karakter dalam anime, manga, hingga video gim sudah digandrungi anak muda sejak lama.
ADVERTISEMENT
Para pelaku cosplay bahkan rela menghabiskan banyak waktu untuk berdandan semirip mungkin sesuai dengan karakter yang hendak mereka perankan.
Namun, di balik euforia ini, ternyata para pelaku cosplay (cosplayer) kerap jadi korban pelecehan. Mengingat, tak sedikit pelaku cosplay, khususnya perempuan, mengenakan kostum yang terkesan seksi. Atasan terbuka dan rok minim seakan menjadi ciri khas mereka.
Melansir Youth Proactive, salah satu kasus pelecehan seksual pernah menimpa seorang cosplayer perempuan terkenal asal Indonesia, yakni Pinky Lu Xun.
Kala itu, tepatnya pada tahun 2017, ia pernah mendapat pelecehan seksual lewat internet. Bahkan, Pinky juga pernah mengalami pelecehan seksual oleh salah satu pengunjung di sebuah event cosplay. Beruntung, para panitia acara berhasil mengamankan pelaku.
ADVERTISEMENT
Adanya perlakuan ini membuat cosplayer perempuan mendapat persepsi miring di masyarakat. Bahkan mereka mendapat cibiran hingga dianggap menjual sensualitas semata.
Masyarakat umum mengenal cosplay lewat pertunjukkan dan penampilan yang biasa dilakukan di acara-acara kebudayaan Jepang yang marak ditemui di Tanah Air. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya acara seperti Indonesia Comic Con, Showtime, FX Japan Rock and Idol Festival, dan lain sebagainya.
Salah satu pelaku cosplay di Semarang yang dikenal dengan nama panggung Ryjakio, telah menggeluti profesinya sebagai cosplayer sejak 2016. Ketika duduk di bangku SMP, perempuan yang akrab disapa Ry itu pernah mendapat sebuah tugas di mata pelajaran teater untuk memerankan karakter tokoh favorit dari sebuah film.
Berangkat dari kecintaannya terhadap anime, Ry menjatuhkan pilihannya pada karakter favoritnya, Naruto. Ry yang kala itu tampil seadanya justru menuai beragam pujian dari teman-temannya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, ada salah seorang temannya yang secara tiba-tiba bertanya kepada Ry apakah dirinya tidak ada niatan untuk mengikuti cosplay. Setelah menimbang-nimbang, Ry memberanikan diri untuk menjajal cosplay.
Ia pertama kali mengikuti acara cosplay di Jakarta. Sebab, acara-acara cosplay di Semarang saat itu masih jarang ditemui. Dengan budget terbatas, Ry memilih untuk menjadi Levi Ackerman, salah satu karakter paling populer dalam anime Attack on Titan.
“Waktu itu aku masih SMP, budget-nya enggak gede, kan, jadi aku memilih untuk low budget cosplay. Misal di lemari itu ada apa, aku pakai,” kata Ry saat ditemui kumparan di Semarang pada Desember 2022.
Ry merasa ada kesenangan tersendiri setelah mengikuti event cosplay. Sejak saat itu, ia mulai mencari-cari event cosplay yang diselenggarakan di Semarang.
ADVERTISEMENT
Pencariannya itu mengantarkannya ke sebuah komunitas bernama Cosplay Semarang yang ada di Facebook. Di komunitas tersebut berisi informasi terkait penyelenggaraan acara seputar budaya Jepang di Semarang.

Dipandang aneh karena menjadi cosplayer

Kendati demikian, berbagai macam respons negatif datang dari orang-orang di sekitar Ry. Orang tua, keluarga, bahkan teman-temannya di sekolah sempat memandang aneh dengan apa yang dilakukan Ry ketika itu. Mereka menilai mengikuti cosplay tidak ada gunanya dan hanya menghamburkan uang.
Namun, itu semua justru memicu semangat Ry untuk menorehkan prestasi lewat cosplay. Jika awalnya ia hanya mendatangi sebuah acara, Ry mulai menantang dirinya untuk mengikuti cosplay competition.
Komentar negatif itu ia lawan dengan kemenangan pertamanya di acara Cosplay Competition XL Mimopay Jakarta 2016. Setelahnya, Ry terus mencetak prestasi.
ADVERTISEMENT
Ia mengikuti kompetisi tingkat nasional yang bertajuk Indonesian Cosplay Grand Prix. Dalam acara itu, Ry meraih juara dalam kategori Best Editing.
Lalu, yang paling membanggakan baginya ketika dia mengikuti kompetisi taraf internasional. Dia bersama tiga teman lainnya terpilih sebagai perwakilan Indonesia dalam kompetisi Gyeonggi International Cosplay Festival (GICOF) at Home 2021. Saat itu, festival cosplay terbesar di Korea Selatan tersebut digelar secara online karena adanya pandemi Covid-19.

Dianggap menjual sensualitas

Tantangan yang dihadapi Ry tak berhenti di situ. Nyatanya stigma negatif masih melekat dalam kehidupan cosplayer, termasuk dirinya. Mencuatnya stigma negatif tersebut muncul saat cosplayer memperagakan karakter anime yang pakaiannya terbuka.
Ry merasa tak nyaman dengan anggapan masyarakat yang menyebut cosplayer identik dengan pakaian yang terlalu seksi atau terbuka. Menurutnya, terbuka atau tidaknya pakaian tergantung karakter anime yang sedang dibawakan. Terlebih, tidak setiap cosplayer pasti menggunakan pakaian yang terbuka.
ADVERTISEMENT
“Kadang itu cosplayer disamaratakan. Contohnya, aku pernah di-chat kayak gini, ‘Kak, kakaknya jualan atau open foto syur enggak, ya?’. Terus cosplayer-cosplayer baru, apalagi yang di bawah umur itu kadang-kadang juga ikut-ikutan terbuka, bahayanya itu kayak gitu. Aku enggak melarang, boleh-boleh aja, tapi asalkan yang lainnya itu jangan disamaratakan,” ungkapnya.
Hal senada juga dirasakan cosplayer asal Jakarta Pusat yang biasa dikenal Kawayami. Menurutnya, sah-sah saja saat seorang pelaku cosplay mengenakan pakaian minim sesuai karakter yang diperankan. Kendati demikian, cosplayer juga perlu memikirkan kondisi dan lokasi, terutama di tempat umum dan dipenuhi anak-anak di bawah umur.
“Ketika ingin cosplay, kamu juga perlu memikirkan orang lain saat memakai pakaian yang terbuka. Waktu itu ada cosplayer yang berperan jadi anak SD, padahal umurnya dewasa. Dia memakai rok yang pendek, bahkan di atas paha dengan kemeja SD yang ketat. Dan dia memerankan karakter itu di tempat umum,” tutur Kawayami saat ditemui kumparan di Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Ia melanjutkan, “Mungkin dia enggak dapat impact-nya secara langsung, yang dikhawatirkan anak yang usianya masih SD bisa jadi korban pelecehan seksual.”
Menanggapi hal itu, Dosen Bahasa dan Kebudayaan Jepang, Universitas Diponegoro Dewi Saraswati Sakariah mengungkapkan bahwa anggapan soal cosplayer identik dengan pakaian yang terlalu terbuka tidak sepenuhnya benar.
“Cosplay itu, kan, berbeda dengan gaya berpakaian orang Indonesia sehari-hari. Kalau cosplay itu, permainan kostum yang mana cosplayer ini menggunakan kostum dari karakter yang mereka idolakan, tapi memakainya tidak setiap hari. Dan bermain cosplay itu di situasi-situasi tertentu, misalnya seperti festival budaya atau memang acara-acara yang berkaitan dengan cosplay tersebut,” ujar Dewi Saraswati Sakariah.
Menurut Dewi, penilaian benar atau tidaknya cosplayer terbuka itu tergantung sudut pandang masing-masing individu. Ia memandang cosplayer itu sebagai tempat penyaluran hobi semata. Dalam arti lain, mereka hanya melakukan hal itu di kondisi dan situasi tertentu.
ADVERTISEMENT

Menjadi target body shaming hingga mengganggu kesehatan mental

Perjalanan Ry selama menjadi cosplayer tak selalu mulus. Ia sempat menjadi target body shaming karena memiliki postur tubuh yang mungkin dinilai tidak sesuai standar kecantikan oleh masyarakat.
“Awalnya aku biarin, tapi namanya manusia, kan, bisa sakit hati juga. Padahal, aku juga sudah berusaha ikut nge-gym buat ngecilin badan. Terus teman-teman yang lainnya pada nyemangatin dan ngingetin buat enggak dengerin omongan orang-orang. Biasanya aku bales mereka dengan nunjukkin prestasi aku, makanya aku unggah prestasi aku di media sosialku,” paparnya.
Selain itu, Ry juga pernah mengalami kejadian kurang menyenangkan dari seseorang yang mengaku penggemar. Kala itu, Ry menjadi korban penguntitan lantaran ia masih mencantumkan nama asli di akun Instagram-nya.
ADVERTISEMENT
Diakui Ry, jika para cosplayer membongkar nama asli, baik di kehidupan nyata maupun di dunia maya, maka kemungkinan besar identitas mereka akan mudah terlacak. Hal tersebut akan mengakibatkan adanya tindak kejahatan seperti penguntitan.
“Itu aku sampai dicari akun universitasku, terus aku sampai disamperin ke kampusku dan ditungguin di depan pintu. Aku ladenin baik-baik, terus aku peringatin buat lain kali enggak kayak begitu lagi,” kata dia.
Nasib yang sama juga dirasakan Kawayami. Perempuan kelahiran 2001 ini mengaku mendapat cibiran saat memerankan karakter Nezuko Kamdo dari serial manga Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba melalui akun Instagram-nya.
“Ketika aku mengunggah foto di Instagram saat memerankan karakter Nezuko, ada yang komentar bahwa karakter ini enggak cocok diperankan karena aku terlalu gendut. Dari situ aku langsung insecure,” paparnya.
ADVERTISEMENT
Semenjak saat itu, Kawayami berpikir untuk menyesuaikan penampilan sesuai karakter tokoh fiksi yang hendak ia perankan. Bahkan, dia rela menurunkan berat badannya agar terlihat cocok ketika memerankan karakter yang ia suka.
“Aku pernah turun berat badan sampai 4 kg untuk memerankan karakter yang aku suka. Setelah itu, aku share ke Instagram [dengan caption] ‘Ini kan yang kalian mau? Supaya aku enggak terlalu gendut, biar aku sama persis dari berat badan, tingginya, atau bentuk-bentuk sesuai karakternya,” ujarnya.
It hurts to be a cosplayer. Karena akan selalu ada pro dan kontra. Kadang kalau enggak kuat, bisa kena mentalnya,” tambahnya.
Kawayami menegaskan bahwa karakter-karakter yang ada di anime hanyalah fiksi. Hadirnya cosplayer anime untuk memuaskan imajinasi atau fantasi seseorang saat melihat karakter yang mereka mau, tetapi tidak nyata. Jadi, memerankan karakter anime tidak bisa dibandingkan di dunia nyata.
ADVERTISEMENT
Laporan Monique Handa Shafira dan Karina Savitri