Perjuangan Dewi Sartika Wujudkan Pendidikan yang Layak bagi Perempuan

28 November 2022 19:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu Pahlawan Nasional perempuan di Indonesia, Raden Dewi Sartika. Foto: Dinas Kebudayaan Yogyakarta
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu Pahlawan Nasional perempuan di Indonesia, Raden Dewi Sartika. Foto: Dinas Kebudayaan Yogyakarta
ADVERTISEMENT
Nama Raden Dewi Sartika atau lebih dikenang dengan Dewi Sartika merupakan salah satu Pahlawan Nasional perempuan di Indonesia. Semangat perjuangan dan kerja nyata yang dimiliki Dewi Sartika, berhasil mengantarkannya mewujudkan lembaga pendidikan yang layak bagi perempuan.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari buku Menjadi Guru Super karya Sadiman, Dewi Sartika lahir pada 4 Desember 1884 di Bandung, Jawa Barat. Ia lahir sebagai putri kedua dalam keluarga priayi atau mapan Sunda dari pasangan Raden Somanagara dan Raden Rajapermas.
Lahir dari keluarga priayi, Dewi Sartika memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), yaitu sekolah dasar (SD) zaman Belanda yang berdiri di Indonesia. Di sana, Dewi belajar membaca, menulis, dan mempelajari bahasa Belanda. Namun, Dewi tidak sempat menyelesaikan pendidikannya lantaran ayahnya diasingkan ke Ternate pada tahun 1893.
Pahlawan Nasional, Raden Dewi Sartika. Foto: Dinas Kebudayaan Yogyakarta
Raden Somanagara ditangkap pemerintah Hindia Belanda karena dituduh memberontak dan usaha melakukan pembunuhan terhadap R.A.A Martanagara, yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bandung. Kemudian, ia diasingkan ke Ternate hingga meninggal di sana. Pada saat itu, Dewi Sartika masih berusia 9 tahun dan duduk di kelas tiga SD.
ADVERTISEMENT
Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika mengikuti pamannya, kakak dari ibunya di Cicalengka. Akan tetapi, Dewi mendapatkan sambutan yang dingin dari keluarga pamannya. la diberi banyak pekerjaan rumah dan bahkan harus menempati kamar yang berada di belakang seperti pelayan. Perlakuan tersebut ia dapat karena tindakan ayahnya dianggap sebagai aib.
Pada tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawati saat ia berusia 22 tahun. Dewi menikah di usia pernikahan yang sangat "kasep" atau terlambat menikah menurut masyarakat pada saat itu. Karena, pada usia tersebut rata-rata perempuan sudah mempunyai 3-4 anak. Suaminya merupakan seorang guru dari Sekolah Karang Pamulang, yang saat itu merupakan Sekolah Latihan Guru.

Mengajari baca-tulis dan bahasa Belanda kepada anak-anak pembantu

Di belakang gedung Kepatihan, Dewi Sartika yang masih berusia 10 tahun itu menunjukkan minat dan kegigihannya di bidang pendidikan. Ia mengajari baca-tulis dan bahasa Belanda kepada anak-anak pembantu. Papan bilik kandang kereta kuda, arang, dan pecahan genting dijadikannya sebagai alat bantu belajar, buku, dan pena yang masih menjadi barang mahal.
ADVERTISEMENT
Dewi Sartika kecil menggemparkan Cicalengka karena banyak anak-anak pribumi yang mampu menulis dan membaca beberapa tulisan dan bahasa Belanda. Terlebih, karena sosok yang mengajari mereka adalah perempuan.
Dewi berjuang keras dalam mewujudkan pendidikan yang layak bagi perempuan, yang pada saat itu perempuan masih tidak mendapatkan kesempatan yang setara. Perempuan bagaikan dagangan yang dapat dijadikan hadiah, menjadi selir, dan jika suaminya beristri lagi maka harus rela menjadi "madu".
Melihat keadaan ini, Dewi Sartika bercita-cita untuk memajukan perempuan di Jawa Barat dan sejajar dengan laki-laki. Ia melihat perempuan terutama dari luar kalangan priayi, yang kehidupannya masih jauh tertinggal dan memprihatinkan.

Mendirikan Sakola Istri

Pada zaman itu, tidak semua anak-anak memiliki kesempatan yang sama untuk bisa mencicipi dunia pendidikan. Hanya anak-anak dari golongan priayi saja yang dapat bersekolah. Dewi Sartika mendobrak batasan tersebut dengan mendirikan lembaga pendidikan bernama Sakola Istri.
ADVERTISEMENT
“Alangkah sedihnya mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, karena orang yang demikian ibarat hidup di dalam kegelapan atau umpama orang buta yang berjalan di tengah hari. Maka jika jadi perempuan harus bisa segala-gala.” Demikian tulisan Dewi Sartika dalam sebuah tulisan yang dipublikasikan di media cetak saat itu.
Pada 16 Januari 1904, keinginan dan perjuangan Dewi Sartika terwujud di usianya yang masih sangat muda, sekitar 20 tahun. Ketika Sakola Istri yang didirikannya menuai kecurigaan Pemerintah Kolonial Belanda, Dewi Sartika berhasil meyakinkan C. Den Hammer dan H.O.S Cokroaminoto berbalik haluan mendukung kiprah putri pemberontak itu.
Pada tahun 1905, sekolahnya dipindahkan ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Tempat ini dibelinya sendiri dari hasil tabungannya.
ADVERTISEMENT

Sakola Istri tersebar ke berbagai kota

Pada tahun 1910, Sakola Istri berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri. Jumlah murid semakin banyak dan cabang-cabang sekolah dibuka di Bogor, Serang, Ciamis, hingga Sumatera. Setahun kemudian, jumlah muridnya mencapai 210 orang dan guru yang mengajar sebanyak lima orang.
Pada tahun 1910, Sakola Kautamaan Istri berganti nama menjadi Sakola Raden Dewi dan berganti kembali menjadi Sakola Kautamaan Istri pada tahun 1914. Dikutip dari buku Raden Dewi Sartika: Pendidik Bangsa dari Pasundan karya E. Rokajat Saruya, Sakola Kautamaan Istri mengusung konsep cageur (sehat), bageur (baik) bener (benar), pinter (pintar), dan wanter (percaya diri).

Akhir hayat

Pada tahun 1942, sekolah Dewi Sartika dibubarkan oleh Jepang dan berganti nama menjadi Sekolah Gadis. Pada tahun 1946, gedung sekolah itu pun ikut terbakar seiring peristiwa Bandung Lautan Api. Dewi beserta keluarganya pun meninggalkan Bandung untuk mengungsi ke Ciparay, sempat berpindah ke Garut, lalu berpindah lagi ke Cineam.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, kondisi kesehatan Dewi Sartika semakin lemah. Dewi Sartika meninggal dunia pada Kamis, 11 September 1947 dan dimakamkan di Pemakaman Umum Desa Cineam. Pada tahun 1951, jasadnya dipindahkan ke makam para Bupati Bandung di Kepatihan.
Atas jasanya dalam memperjuangkan pendidikan, Dewi Sartika dianugerahi gelar Orde van Oranje-Nassau pada ulang tahun ke-35 Sekolah Kautamaan Istri. Namanya pun dijadikan sebagai nama jalan di tempat sekolahnya. Pada 1 Desember 1966, Dewi Sartika diakui sebagai Pahlawan Nasional.
Dewi Sartika melakukan perjuangan untuk bangsanya melalui perang frontal. Tidak dengan angkat senjata, tetapi dengan mengobarkan semangat meraih kemenangan melalui pendidikan bersenjatakan kapur dan papan tulis. Di tengah kesulitan ekonomi dan politik, kegundahan hatinya dijawab dengan pengabdian sebagai guru.
ADVERTISEMENT
Selamat Hari Guru Nasional 2022, Ladies!