Poligami di Zaman Dinasti Korea, Setiap Selir Punya Pangkat Tersendiri

3 April 2020 22:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pernikahan tradisional Dinasti Joseon Korea Foto: dok. Korean Culture and Information Service
zoom-in-whitePerbesar
Pernikahan tradisional Dinasti Joseon Korea Foto: dok. Korean Culture and Information Service
ADVERTISEMENT
Sejak dahulu, ada banyak negara dan kerajaan yang membolehkan pemimpinnya melakukan poligami. Ya, mulai dari dari berbagai kerajaan di Eropa, Afrika hingga Asia, masing-masing memiliki sejarah poligami dengan raja yang mempunyai beberapa istri dan selir.
ADVERTISEMENT
Di Korea Selatan misalnya, sejak zaman dinasti Joseon (1392-1910), raja yang memimpin diketahui memiliki istri dan delapan selir. Para wanita di kerajaan ini disebut dengan Naemyeongbu yang terdiri dari ratu, selir dan perempuan istana.
Mengapa raja memiliki selir dalam jumlah banyak? Dalam berbagai literatur sejarah, disebutkan bahwa salah satu alasan raja memiliki banyak istri dan selir adalah soal faktor keturunan. Misalnya, jika sang ratu sebagai istri resmi tidak bisa punya anak (mandul) atau tidak mau melahirkan, maka raja bisa mendapatkan anak dari seorang selir.
Hanbok, pakaian tradisional dari Korea. Foto: Shutterstock
Anak yang lahir dari seorang selir bisa menjadi seorang ahli waris dan penerus kerajaan. Terlebih lagi, bila sang selir yang melahirkan anak raja adalah pelayan sang ratu, artinya anak tersebut akan menjadi milik ratu dan selir tidak ada hak untuk merawatnya.
ADVERTISEMENT
Dalam dinasti Joseon pula, selir dan perempuan istana terbagi ke dalam delapan pangkat berbeda. Ke delapan peringkat itu adalah Bin (peringkat 1 senior), Kwi-in (peringkat 1 junior), So-ui (peringkat 2 senior), Suk-ui (peringkat 2 junior), So-yong (peringkat 3 senior), Suk-yong (peringkat 3 junior), So-won (peringkat 4 senior) dan Suk-won (peringkat 4 junior). Mereka semua bisa dipanggil Yang Mulia.
Peringkat dan tugas para selir ini biasanya diatur oleh Ratu sebagai istri sah raja. Ratu yang nantinya akan mengatur kehidupan dan peran mereka di istana. Mulai dari tempat tinggal, makanan apa yang boleh dimakan, hak-haknya dalam mendapatkan perawatan kecantikan, hingga jenis dan warna baju apa yang boleh dikenakan.
Pakaian yang dikenakan oleh perempuan zaman dinasti Joseon Foto: dok. Wikimedia Commons/M Louis
Peringkat seorang selir paling terlihat dalam jenis pakaian bernama wonsam yang biasa dipakai untuk berbagai upacara kerajaan. Warna, pola dan ukuran gaun pun dibedakan sesuai dengan peringkat mereka. Seorang selir dan putri mahkota akan mengenakan pakaian berwarna merah keunguan, sedangkan ratu biasanya tampil dengan busana serba merah.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pakaian formal sehari-hari juga dibedakan menurut peringkatnya. Pakaian yang disebut Dangui ini memiliki pola busana berlapis emas bila dikenakan oleh sang ratu. Tetapi, para selir dan perempuan istana tidak diizinkan mengenakan busana yang mirip dengan busana ratu.
Kabarnya, kehidupan selir saat dinasti Joseon pun cukup berat. Mereka dijaga dan diawasi sangat ketat oleh para pengawal kerajaan agar tidak berhubungan dengan pria lain selain raja. Karena sebagai selir, mereka harus siap kapan pun raja meminta dilayani. Bahkan, bila ada pria yang kedapatan berhubungan intim dengan selir-selir ini, mereka akan mendapatkan hukuman cambuk 100 kali.
Pakaian yang dikenakan oleh Ratu zaman dinasti Joseon Foto: dok. Korea KOCIS
Sesama selir pun kerap terjadi perselisihan demi bisa mendapatkan perhatian raja. Mereka bahkan tak segan berbuat hal keji demi bisa naik peringkat dan dipandang terhormat.
ADVERTISEMENT
Salah satu selir paling populer pada zaman Joseon adalah Jang Hee-bin yang merupakan selir favorit Raja Sukjong. Ia dijatuhi hukuman mati dengan cara diracuni setelah dinyatakan bersalah karena menyewa dukun untuk mengutuk Ratu Inhyeon (istri sah Raja Sukjong) agar putranya, Gyeongjong, bisa naik tahta menjadi raja.

Poligami di masa modern Korea Selatan

Profesor Andrei Lankov yang berprofesi sebagai dosen di Kookmin University, Seoul, Korea Selatan, dalam jurnalnya di Korean Times mengatakan bahwa sejak abad ke-15, hukum Korea dengan jelas menetapkan bahwa setia pria hanya boleh memiliki satu istri. Ia bisa menikah kembali bila sudah bercerai atau sang istri telah meninggal.
Song Joong Ki (kiri) dan Song Hye Kyo (kanan) dalam pernikahan mereka. Foto: Instagram/@kyo1122
Namun dalam kebanyakan kasus, yang berlaku justru sebaliknya. Laki-laki dengan kedudukan sosial dan pendapatan yang jauh di atas rata-rata yang bisa memiliki wanita simpanan. Sehingga, terdapat perbedaan yang jelas antara istri sah dan seorang selir (atau istilahnya perempuan simpanan).
ADVERTISEMENT
Tak jarang, istri sah pun mengetahui bila laki-laki tersebut memiliki perempuan simpanan. Maka dari itu, wanita simpanan akan berada sepenuhnya di bawah kendali istri sah.
Karena hal inilah, selama berabad-abad tidak ada perempuan terpelajar dan berpendidikan yang rela menjadi seorang selir. Biasanya, yang akan mempertimbangkan diri untuk menjadi selir adalah gisaeng (pelacur) yang ingin berhenti dari profesinya, atau gadis dari keluarga yang sangat miskin. Karena dalam bahasa Korea, selir biasa disebut dengan 'cheop' yang memiliki konotasi negatif serta memalukan.
Pernikahan Massal di Korea Selatan Foto: REUTERS/Kim Hong-Ji
Pada 1920-an, jenis baru pernikahan poligami pun muncul. Ini adalah pernikahan antara laki-laki dan perempuan modern yang berasal dari latar belakang keluarga terpandang. Keduanya menikah karena dijodohkan sejak usia remaja. Maka tak heran, setelah menikah pun, laki-laki akan tetap menjalin hubungan dengan perempuan yang benar-benar dicintainya namun tak bisa dinikahi lantaran perbedaan status sosial.
ADVERTISEMENT
Banyak laki-laki yang justru menceraikan istri pertama mereka dan menikahi perempuan yang dicintainya meskipun hal ini sangat ditentang oleh orang tuanya. Namun, beberapa laki-laki mencoba untuk menikahi perempuan simpanannya dengan tetap mempertahankan istri pertama sebagai pasangan resmi.
Mirisnya, bila seorang perempuan diketahui sebagai istri kedua, ia akan dianggap rendah serta status sosialnya menurun. Ini juga berlaku untuk anak yang lahir dari istri kedua, ia akan dicap anak yang tidak diakui secara hukum sehingga menyulitkannya untuk bersekolah hingga mendapat pekerjaan.