Potret Beratnya Kehidupan Perempuan Masa Lalu dalam Surat-surat Kartini

22 April 2025 18:19 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi RA Kartini. Foto: Ledi Senja/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi RA Kartini. Foto: Ledi Senja/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Saat ini, perempuan Indonesia sudah bisa menikmati kebebasan di berbagai aspek kehidupan. Bisa bebas berpendapat, menimba ilmu setinggi-tingginya, bekerja sesuai keinginan, sampai mengambil keputusan sendiri menjadi hal yang sudah biasa. Namun, itu semua adalah privilese yang sulit dinikmati perempuan masa lalu, termasuk di era Kartini.
ADVERTISEMENT
Raden Ajeng Kartini hidup di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Selama 25 tahun hidupnya, Kartini mengabadikan beratnya kehidupan perempuan Tanah Jawa kala itu lewat surat-surat yang ia tulis. Sejak 1899 hingga 1904, Kartini aktif berkorespondensi dengan sahabat pena dari Eropa dan Belanda.
Surat-surat Kartini—yang kini terdaftar sebagai warisan dokumenter Ingatan Kolektif Dunia UNESCO—merupakan rintihan hati seorang perempuan yang merindukan perubahan di masyarakat. Goresan pena Kartini telah diterbitkan ke dalam buku bertajuk Habis Gelap Terbitlah Terang dan masih dirayakan hingga kini.
Pengunjung melintasi foto RA Kartini yang ditampilkan di Museum RA Kartini, Rembang, Jawa Tengah, Senin (21/4/2025). Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
Sebagai surat pembuka, Kartini mencurahkan keinginannya untuk berjumpa dengan “gadis modern”, sosok perempuan yang baginya adalah bebas dan terus berjuang.
“Ingin benar hati saya berkenalan dengan seorang anak gadis modern, gadis yang berani, yang sanggup tegak sendiri, gadis yang saya sukai dengan hati jantung saya, anak gadis yang melalui jalan hidupnya dengan langkah yang tangkas, dengan riang suka hati, tetap gembira dan asyik, yang berdaya upaya bukan hanya untuk keselamatan bahagia dirinya sendiri saja, melainkan juga untuk masyarakat yang luas besar itu, yang ikhtiarnya pun akan membawakan bahagia kepada banyak sesamanya manusia,” tulis Kartini dalam surat kepada Nona Zeehandelaar, tertanggal 25 Mei 1899.
ADVERTISEMENT
Namun sial, tatkala itu banyak perempuan terkurung di antara empat tembok tebal lewat tradisi pingitan yang masih lumrah dilakukan keluarga Jawa. Kartini mengatakan, adat kebiasaan saat itu membelenggu perempuan, membatasi mereka akan kebebasan dalam memilih jalan hidup.

Sulitnya mengenyam pendidikan

Ilustrasi RA Kartini. Foto: Hanifah Hafasya/Shutterstock
Kartini mengungkap, keluar rumah setiap hari dan pergi belajar ke sekolah disebut pelanggaran terhadap adat. Ketika telah mencapai usia 12 tahun, dipingit menjadi satu-satunya opsi yang terbuka untuk perempuan.
“Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajuan pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, keluar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat. Ketahuilah, bahwa adat negeri kami melarang keras gadis keluar rumah.”
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan pendidikan bagi perempuan, terlebih pendidikan berbahasa asing? Kartini mengungkap, adat Tanah Jawa tak mengizinkan perempuan untuk mempelajari terlalu banyak bahasa asing, seperti Prancis, Inggris, dan Jerman.
Kartini merupakan salah satu di antara yang beruntung bisa mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Belanda (Europeesche Lagere School, ELS). Ia bisa mengenyam pendidikan di sana dan belajar bahasa Belanda berkat privilese sebagai anak keturunan ningrat. Nasib tersebut nyatanya sulit dinikmati oleh para perempuan seusianya.
“Tiada akan berguna kitab Hilda van Suylenburg diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Siapa yang membaca bahasa itu, kecuali orang laki-laki? Masih sedikit sekali perempuan Jawa yang pandai membaca bahasa Melayu,” tulis Kartini pada surat tertanggal 6 November 1899.
ADVERTISEMENT

Ingin bebas, harus bersuami

Ilustrasi RA Kartini. Foto: Hanifah Hafasya/Shutterstock
Jika perempuan ingin menikmati secuil kebebasan di dunia luar, maka ia harus bersuami, meski masih belia umurnya. Kartini sendiri harus menjalani empat tahun pingitan, dari usia 12 hingga 16 tahun, setelah lulus dari ELS. Beruntung, ia diperbolehkan untuk melihat dunia luar setelah bertahun-tahun terbelenggu dalam rumahnya. Namun, ia tidak sepenuhnya merayakan kebebasan itu.
“Akan tetapi, hati saya belum puas, sekali-sekali belum lagi. Jauh, tetap lebih jauh lagi dari itu yang saya kehendaki. Bukan, bukan keramaian, bukan bersuka-suka hati yang saya ingini, tiada pernah yang demikian itu terkandung dalam cita-cita hati saya akan kebebasan. Saya berkehendak bebas supaya saya boleh dapat berdiri sendiri, jangan bergantung kepada orang lain, supaya jangan … jangan sekali-sekali dipaksa kawin.”
ADVERTISEMENT
Kartini mengungkap, perempuan di masa itu haruslah menikah. Adat yang diyakini kala itu adalah perempuan harus menikah. Jika tidak bersuami, maka besarlah dosa dia, maka malulah dia dan keluarganya.
“Dan kawin di sini, aduh, dinamakan azab sengsara masih terlalu halus! Betapa nikah itu tiada akan sengsara, kalau hak semuanya bagi keperluan laki-laki saja dan tiada jua pun bagi perempuan? Kalau hak dan pengajaran kedua-duanya bagi laki-laki semata-mata kalau semua-muanya dibolehkan dia perbuat?”

Perempuan haruslah lemah lembut

Ilustrasi RA Kartini. Foto: Handmadefrennie/Shutterstock
Kartini acap kali mengeluhkan beratnya adat sopan santun orang Jawa, terutama yang disubjekkan kepada perempuan. Contohnya, seorang perempuan tak bisa bergerak cepat, segalanya harus lemah lembut.
“Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput layaknya. Bila agak cepat, dicaci orang, disebut ‘kuda liar’. Kepada kakakku laki-laki maupun perempuan, kuturuti semua adat itu dengan tertibnya, tetapi mulai dari aku ke bawah, kami langgar seluruhnya adat itu,” ungkap Kartini dalam surat tertanggal 18 Agustus 1899.
ADVERTISEMENT
Ia melontarkan kritik keras terhadap perlakuan bangsawan yang baginya tak menunjukkan keadilan. Kartini menilai, seorang bangsawan hanya akan tampak mulia jika sifatnya menunjukkan kerendahan hati.
“Sesungguhnyalah adat sopan santun kami orang Jawa amat sukar. Adikku harus merangkak, bila hendak lalu di mukaku. Kalau ada adikku duduk di kursi, apabila aku lalu, haruslah dengan segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tiada kelihatan lagi. Tiada boleh adik-adikku berkamu dan berengkau kepadaku, hanya dengan bahasa kromo boleh dia menegurku; tiap-tiap kalimat yang disebutnya, haruslah dihabisinya dengan sembah.”

Langgengnya poligami

Pengunjung memerhatikan barang-barang bersejarah peninggalan RA Kartini yang ditampilkan di Museum RA Kartini, Rembang, Jawa Tengah, Senin (21/4/2025). Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
Kartini mengungkapkan amarahnya akan kekerasan dalam pernikahan dan poligami yang dialami para perempuan. Kala itu, seorang laki-laki boleh beristri empat—Kartini sendiri berakhir sebagai istri keempat dari Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat pada 1903.
ADVERTISEMENT
“Meskipun seribu kali orang mengatakan, beristri empat itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetapi aku, tetap selama-lamanya aku mengatakan itu dosa. Segala perbuatan yang menyakitkan sesamanya, dosalah pada mataku. Betapakah azab sengsara yang harus diderita seorang perempuan, bila lakinya pulang ke rumah membawa perempuan lain, dan perempuan itu harus diakuinya sebagai perempuan lakinya yang sah, harus diterimanya jadi saingannya?”
Bahkan, Kartini berargumen, ketika seorang istri disakiti oleh suaminya, dibuatnya menangis meminta hak, ia tetap tak akan bisa mendapatkan haknya.
“Mengertikah engkau sekarang apakah sebabnya maka sesangat itu benar benciku akan perkawinan? Kerja yang serendah-rendahnya maulah aku mengerjakannya dengan berbesar hati dan dengan sungguh-sungguh, asalkan aku tiada kawin, dan aku bebas,” tulis Kartini.
RA Kartini. Foto: Shutterstock
Sekarang, melangkah satu abad selepas kepergian Kartini, seluruh yang ia harapkan untuk para perempuan perlahan tercapai. Perempuan masa kini sudah memiliki opsi mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, mengambil keputusan atas pernikahan, serta bekerja dan keluar rumah kapan saja.
ADVERTISEMENT
Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) 2024, jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi mencapai 14,08 persen. Ini lebih tinggi dibandingkan laki-laki dengan persentase 12,69 persen. Jumlah anak muda Indonesia yang belum menikah pun mencapai 65,75 persen pada 2024 menurut data BPS, mengisyaratkan bahwa pernikahan tak lagi menjadi sesuatu yang harus dikejar di usia muda.
Pemikiran Kartini lebih dari 120 tahun lalu tetap relevan hingga saat ini. Yang bisa dilakukan perempuan masa kini adalah tak hanya merayakan kebebasan tersebut, tetapi juga melanjutkan perjuangan Kartini demi hidup perempuan yang selalu merdeka.