Pro dan Kontra Cuti Melahirkan 6 Bulan, Apa Kata Para Perempuan?

22 Juli 2022 19:00 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi cuti melahirkan bagi perempuan. Foto: R Image Factory/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cuti melahirkan bagi perempuan. Foto: R Image Factory/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pada bulan Juni lalu, Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) diperkenalkan oleh DPR RI. Dari berbagai pasal dan ayat yang difokuskan untuk membangun kesejahteraan ibu dan anak serta ketahanan keluarga, ada satu yang berhasil menarik perhatian: poin mengenai perpanjangan cuti melahirkan bagi karyawan perempuan.
ADVERTISEMENT
Ya, dalam pasal 4 ayat (2) huruf a, disebutkan bahwa karyawan perempuan berhak mengambil cuti enam bulan, dengan gaji dibayarkan penuh selama tiga bulan pertama dan 75 persen pada tiga bulan selanjutnya. Kemudian, dalam pasal 6 ayat (2) huruf a, cuti pendampingan untuk suami juga diberikan dengan waktu maksimal 40 hari.
Ketua DPR RI Puan Maharani menilai, pemberian cuti melahirkan enam bulan diharapkan mampu menurunkan tingkat stunting pada anak serta memberikan waktu bagi ibu untuk bonding dengan anaknya. Harapannya, kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia di masa depan akan unggul.
“Supaya kitanya sehat, bayinya juga sehat. Ini penting juga supaya Indonesia ke depan anak-anaknya itu anak-anak yang sehat dan bergizi dan tentu saja bisa membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik,” kata Puan dalam keterangan tertulis kepada Parlementeria, Juni lalu.
ADVERTISEMENT
Nah, aturan-aturan yang tercantum dalam Rancangan Undang-undang ini tentu mengundang pendapat yang berbeda dari para perempuan. Ada perempuan yang sangat setuju karena ini membuka kesempatan untuk memberikan ASI eksklusif secara langsung; ada juga perempuan yang kurang setuju karena kekhawatiran akan meluasnya diskriminasi gender di bidang kesempatan kerja.
Untuk mencari tahu lebih lanjut pandangan dari mereka, kumparanWOMAN mewawancarai delapan perempuan dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Lebih lengkapnya, seperti apa pendapat mereka mengenai poin cuti melahirkan enam bulan dalam RUU KIA ini? Simak penjelasan perempuan-perempuan di bawah ini, Ladies.

1. Diajeng Karunia Cinta: "Semoga ada win-win solution bagi perusahaan dan karyawan.”

Cinta Karunia. Foto: Dok. Pribadi/Cinta Karunia
Cinta adalah seorang Sales & Relationship Manager di sebuah perusahaan asing di Jakarta. Sudah menikah dan punya anak, pernah menjalani cuti melahirkan enam bulan saat bekerja di Kedutaan Besar Denmark.
ADVERTISEMENT

Bagaimana pendapat mengenai cuti melahirkan enam bulan?

Aku sangat-sangat pro dengan keputusan perpanjangan RUU ini karena kalau jadi ibu apalagi melahirkan pertama kali ya pasti masih belum mengetahui segala hal, meskipun sekarang ilmu banyak yang bisa didapat dari mana saja. Tapi kenyataannya sebagai ibu baru ada hal-hal yang kita skip, based on my experience.

Pro dan kontranya?

Aku sangat pro dengan aturan ini karena tadi ibu bekerja kebanyakan tidak memiliki support system yang baik ketika dia baru melahirkan. Di kasus aku, aku merasakan enam bulan sebenarnya lebih dari cukup dibandingkan cuti tiga bulan. Cuti enam bulan ini bisa membuat aku lebih mempersiapkan diri untuk transisi menjadi Ibu baru dan kembali bekerja.
Harusnya, keputusan ini disambut dengan baik, dengan segala macam tantangan. Semoga bisa ditemukan win-win solution yang bikin perusahaan juga tenang untuk memberikan cuti enam bulan; kitanya juga dituntut untuk lebih profesional. Ketika kita kembali kerja, kita sudah siap.
ADVERTISEMENT

2. Adel: "Berikan pilihan pada perempuan."

Adel, karyawan swasta di sebuah perusahaan di Jakarta. Foto. Dok. Pribadi
Adel adalah seorang karyawan swasta di Jakarta. Ia sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan. Adel pernah mengambil cuti melahirkan pada 2020 lalu, dengan durasi cuti selama tiga bulan.

Bagaimana pendapat mengenai cuti melahirkan enam bulan?

Inisiatif pemerintah bagus banget, berarti ibu-ibu pekerja sudah yang diperhatikan. Aku setuju banget ada cuti enam bulan ini karena membantu ibu yang mau kasih ASI eksklusif enam bulan dan bonding dengan anaknya. Ini juga memberikan waktu untuk ibu dan ayah untuk memilih pengasuhan buat anak pas ibu sudah bekerja: Apakah sama pengasuh, atau di daycare, atau sama kakek dan neneknya.

Pro dan kontranya?

Pendapatku tentang cuti enam bulan ini bagus banget, jadi ibu punya kesempatan untuk DBF (menyusui anak secara langsung) selama enam bulan tanpa harus mikirin “Aduh, belum pumping, nih.”
ADVERTISEMENT
Menurutku, sih, kontranya, mungkin penghasilan ibu berkurang 15 persen. Lalu misalnya kita selesai cuti enam bulan, pasti blank dan enggak tahu apa yang dikerjain. Setengah tahun enggak kerja sama sekali, pasti akan ada banyak rules baru dan target baru dari kantor, itu susah untuk kembali ke tracknya. Aku pun pengalaman setelah tiga bulan cuti lalu masuk kerja, memang benar-benar belajar lagi. Apalagi enam bulan.
Saranku, mungkin adakan pilihan untuk perempuan. Perusahaan wajib kasih cuti enam bulan, tetapi bisa dipilih. Misal, boleh ambil tiga bulan pertama pas anaknya newborn, lalu tiga bulan selanjutnya bisa dicicil. Lalu, mau ambil cuti lagi pas anaknya usia 6-9 bulan, jadinya kan tidak terlalu lama cuti.
ADVERTISEMENT

3. Melati: “ Kesejahteraan ibu dan anak sudah menjadi hak mereka.”

Ilustrasi cuti melahirkan. Foto: AlexSandraSml/Shutterstock
Melati adalah seorang mahasiswi pascasarjana di salah satu universitas negeri di Jakarta. Ia belum menikah dan memiliki anak, tetapi berencana untuk menjadi perempuan karier dan berkeluarga di waktu yang akan datang.

Bagaimana pendapat mengenai cuti melahirkan enam bulan?

Dengan adanya RUU KIA ini, menurut saya, itu dibuat melihat bagaimana pentingnya membangun kesejahteraan pada ibu dan anak. Kesejahteraan ibu dan anak sudah menjadi hak mereka. Anak berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang cepat, ibu mendapatkan jaminan kesehatan.

Pro dan kontranya?

Saya sebagai seorang perempuan yang nantinya akan berkarier dan ingin berkeluarga di masa depan, memandang bahwa sejak dalam kandungan saja, anak itu memang sudah seharusnya diperhatikan dan mendapatkan haknya. Dan seorang ibu sudah harus mempersiapkan apa-apa yang menjadi hak bagi anaknya sejak dalam kandungan.
ADVERTISEMENT
Kontranya, mungkin ada beberapa pihak yang merasa dirugikan. Bisa saja, perusahaan menjadi lebih pemilih dalam merekrut calon karyawan perempuan. Kemudian, rekan kerja ibu yang cuti itu bisa saja akan dapat tanggung jawab lebih akibatnya. Kemudian, untuk pekerja laki-laki yang beristri, kenapa enggak diadain juga cuti buat mereka? Karena yang bertanggung jawab urus anak itu bukan cuma istri.
Secara keseluruhan, mungkin [RUU ini] bisa direvisi lagi, ya? Mungkin beberapa poin ada yang perlu diperbaiki. Bisa ambil tanggapan masyarakat, dibuat konferensi atau diskusi bersama para pekerja perempuan dan laki-laki dan dari pihak perusahaan juga.

4. Icha: “Kalau ada bantuan lebih dari pemerintah, bisa meringankan perusahaan.”

Icha adalah seorang asisten direktur yang bekerja di perusahaan furnitur di Cirebon. Ia belum menikah dan memiliki anak, tetapi berpengalaman dalam membantu mengasuh keponakan-keponakan dari kakak-kakaknya.
ADVERTISEMENT

Bagaimana pendapat mengenai cuti melahirkan enam bulan?

Sebagai perempuan, meskipun saya belum menikah dan belum pernah melahirkan, tetapi saya punya tiga keponakan. Saya melihatnya, seorang ibu baru memang sangat butuh waktu penyesuaian. Dan ASI eksklusif itu perlu banget waktunya. Cuma, kalau pemenuhan hak pekerja yang cuti tiga bulan dibayarkan 100 persen dan 75 persen tiga bulan selanjutnya, itu akan cenderung berat untuk perusahaan, sih, sepertinya.

Pro dan kontranya?

Mungkin karena saya sering lihat kakak-kakak saya yang sudah punya anak, saya melihatnya, butuh lebih banyak waktu untuk adaptasi antara ibu dan anaknya. Jadi, menurut saya, sebagai perempuan, cuti enam bulan akan sangat menguntungkan.
Namun kontranya, ada cost ekstra bagi perusahaan. Sama saja dengan ada kerjaan yang belum diselesaikan tapi kita bayarnya tetap, cost-nya tetap. Kita harus tetap bayar ekstra.
ADVERTISEMENT
Mungkin, kalau misalkan ada bantuan lebih dari pemerintah, ini bisa meringankan pihak perusahaan. Jadi, sisi karyawan terbantu dan perusahaan tidak akan keberatan. Jadi bisa sama-sama jalan dan enggak semuanya dibebankan ke perusahaan.

5. Retyan: “Jangan sampai RUU KIA mengesankan pengasuhan anak hanya dibebankan kepada ibu.”

Retyan, wartawan yang bekerja di media online di Jakarta. Foto: Dok. Pribadi
Retyan adalah seorang wartawan yang bekerja di sebuah media online yang berbasis di Jakarta. Ia belum pernah menikah dan belum memiliki anak, tetapi memiliki kepedulian mendalam mengenai hak-hak perempuan.

Bagaimana pendapat mengenai cuti melahirkan enam bulan?

Kalau menurut saya, ini adalah starter yang baik, karena negara punya inisiatif untuk mementingkan dan mempedulikan ibu dan anak. Penambahan tiga bulan menjadi enam bulan itu hal yang baik, mengingat stunting di Indonesia cukup tinggi dan angkanya meningkat lebih dari standar WHO. Dan kita lihat banyak banget kasus keguguran. Banyak faktor penyebab, salah satunya adalah pekerja perempuan tidak diberikan cuti yang memadai. So for a start, it's good.
ADVERTISEMENT
Negara harus memastikan penerapannya bisa diimplementasikan secara adil ke semuanya, mengingat UU mengikat seluruh elemen. Belum tentu semua usaha bisa kasih upah enam bulan full. Jadi, negara harus mau juga untuk intervensi, berkontribusi, menyiapkan anggaran untuk membantu subsidi ibu-ibu hamil yang tidak bisa dapat upah full karena perusahaannya tidak mampu.
Kemudian, RUU KIA ini harus melibatkan peran ayah. Jadi, ayah full ikut mengasuh anak ketika cuti itu berlaku. Karena ayah juga dapat tambahan cuti, seperti 40 hari, itu harus dimaksimalkan. Jangan sampai peran laki-laki itu kemudian tidak ditegaskan di RUU, jangan sampai RUU ini mengesankan bahwa pengasuhan anak itu hanya dibebankan kepada ibu.

Pro dan kontranya?

Kelebihan cuti melahirkan ini, pertama, memberikan kesempatan dan kesetaraan kepada perempuan. Kedua, menjamin perempuan yang melahirkan mendapatkan waktu istirahat cukup, recovery yang cukup. Lalu ada transisi juga saat tubuh kita, secara biologis dan psikologis, kembali ke pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Kontranya, ini bisa memberikan potensi hambatan kepada perempuan mendapatkan akses pekerjaan yang sama dengan laki-laki. Bagaimana kalau misalnya perusahaan enggak mau merekrut perempuan?

6. Devita: “Semoga cuti melahirkan enam bulan ini terjadi.”

Devita, seorang Social Media Strategist, narasumber Money Diary kumparanWOMAN. Foto: kumparan
Devita merupakan seorang perempuan yang berprofesi sebagai social media strategist di sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Ia sudah menikah sejak 2020 lalu, tetapi masih menunda memiliki anak.

Bagaimana pendapat mengenai cuti melahirkan enam bulan?

Kalau dapat kesempatan nanti dapat cuti melahirkan enam bulan, kayaknya enak banget. Saya jadi bisa lebih fokus kasih ASI ke anak, lebih lama. Dan bisa sedikit-sedikit bisa bikin MPASI (makanan pendamping ASI) buat anak, karena sudah masuk usia enam bulan itu sudah mulai MPASI. Jadi kalau menurut saya, sebenarnya bagus, ya, untuk si ibu ini sendiri.
ADVERTISEMENT

Pro dan kontranya?

Kalau kontranya, memang mungkin untuk perusahaan agak berat sih, kayak, “Yah, gue nge-hire, terus hamil dan cuti enam bulan.” Kalau ada perjanjian bisa mengerjakan pekerjaan di rumah, kenapa enggak? Sekarang sudah ada teknologi, jadi kerjaan bisa dikerjakan dari rumah.
Mudah-mudahan cuti melahirkan enam bulan ini terjadi dan perusahan bisa memaklumi gimana caranya win-win solution antara perusahaan dengan karyawan. Ini harusnya bisa diatur secara internal, kalau menurut saya.
Kemudian, saya punya harapan untuk ke depannya, mau di kantor swasta atau negeri, mungkin bisa disediakan daycare. Anak dititipin sekitar kantor ibunya, jadi jam makan siang ibu bisa bertemu dengan anak. Jadi mudah-mudahan, dengan adanya RUU KIA ini ada enam bulan cuti hamil, terus juga fasilitas daycare untuk nitipin anaknya.
ADVERTISEMENT

7. Ratna: “Mungkin work from home (WFH) bisa menjadi solusi.”

Iustrasi cuti melahirkan. Foto: New Africa/Shutterstock
Ratna adalah seorang pengusaha, dengan jabatan sebagai direktur perusahaan furnitur yang berlokasi di Cirebon. Ratna sudah menikah dan memiliki dua anak, pernah cuti melahirkan selama tiga bulan sebanyak dua kali. Namun, di masa cutinya, ia tetap fleksibel dan tetap catch up dengan pekerjaan.
ADVERTISEMENT

Bagaimana pendapat mengenai cuti melahirkan enam bulan?

Pendapat saya sebagai seorang perempuan ya, wow, angin lega. Karena memang yang kita tahu, perempuan habis melahirkan itu butuh penyesuaian ekstra juga. Banyak penyesuaiannya. Tapi, untuk dari kami pengusaha untuk cuti yang tadinya tiga bulan menjadi enam bulan, itu cost extra buat kita.

Pro dan kontranya?

Kelebihannya, cuti enam bulan itu pasti berangkat dari kondisi sekarang. Kualitas kesehatan anak-anak, bonding anak dengan ortunya sekarang rendah. Mungkin cuti enam bulan jadi solusinya. Mungkin ibu-ibu yang cutinya lebih lama, kerjanya akan lebih fokus nantinya.
ADVERTISEMENT
Untuk kontranya, yang jelas, ada yang harus pegang tanggung jawab si ibu karena dia cuti dan tidak bisa dialihtugaskan ke anak buahnya, karena cutinya lama. Jadi, kalau misalkan dibayarkan full begitu juga jadi sungguh berat, ya, karena kita perusahaan harus bayar orang lagi.
Kemudian, sebenarnya perusahaan paham kebutuhan karyawan yang difasilitasi, nantinya akan berdampak pada kinerja yang lebih maksimal. Hanya, tidak semua pribadi punya loyalitas dan integritas yang sama. Ada karyawan yang sudah lewat jam kantor meskipun 5 menit, tidak mau balas WhatsApp atau telepon. Nah, dengan adanya aturan ini, nantinya menjadi saklek gitu ya. Kalau cuti sampai enam bulan, kemungkinan orang-orang yang merasa “gue lagi cuti,” ini jadi “menutup” dan tidak mau kerja.
ADVERTISEMENT
Mungkin work from home (WFH) bisa menjadi solusi. Jadi, si karyawan yang cuti ini tidak lepas sama sekali tentang update di perusahaannya. Kalau mereka bisa bekerja sambil di rumah, mungkin keduanya bisa difasilitasi—anak dan pekerjaan.

8. Tsamara Amany: “Yang lebih penting dibandingkan cuti enam bulan: perpanjangan cuti ayah dan investasi ruang laktasi.”

Tsamara Amany Foto: Cornelius Bintang/kumparan
Tsamara Amany merupakan seorang aktivis perempuan yang juga mantan politikus dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Tsamara sendiri telah menikah dan saat ini tengah menempuh studi di New York University.

Bagaimana pendapat mengenai cuti melahirkan enam bulan?

Aku melihatnya, pembuat kebijakan ini sebenarnya niatnya baik, mau memberikan waktu lebih banyak untuk ibu dan anak. Tapi masalahnya yang lebih penting dibandingkan cuti enam bulan adalah perpanjangan cuti ayah. Aku lebih cocok cuti ibu dan ayah sama, misalnya sama-sama 3 bulan. Dan, memperbanyak ruang laktasi. Menurutku investasi ruang laktasi lebih penting.
ADVERTISEMENT

Pro dan kontranya?

Yang aku takutkan adalah efek buruk yang terjadi. Misalnya, perusahaan jadi merasa, “Sudahlah kita enggak usah hire pekerja perempuan, karena rugi, nih, kita hire pekerja perempuan. Kesempatan untuk perempuan menjadi tertutup karena kalau hamil, “Kita rugi, harus menggaji orang yang enggak kerja.” Itu efek buruk yang bisa dihasilkan [dari cuti melahirkan enam bulan].
Yang lebih penting itu ruang laktasi. Ketimbang memperpanjang cuti, lebih baik menciptakan environment kerja yang sangat friendly kepada ibu yang baru melahirkan, sehingga kita tidak menghasilkan efek buruk.
Kemudian, lebih baik proses administratif seperti urus akta itu disimplifikasi, sehingga tidak memakan waktu ibu dan ayah. Selain itu, kantor bisa menyediakan ruang main anak, kayak daycare. Atau misal, berikan subsidi daycare atau daycare yang bisa dihasilkan pemerintah untuk ibu yang bekerja tapi kurang mampu.
ADVERTISEMENT