Profil RA Kartini, Pelopor Kesetaraan untuk Perempuan Indonesia

20 April 2021 17:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
R.A Kartini. Foto: Dok. Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
R.A Kartini. Foto: Dok. Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini di Indonesia. Hal ini adalah bentuk penghormatan untuk RA KArtini, seorang perempuan yang menjadi pahlawan nasional bagi Indonesia atas perjuangannya mencapai emansipasi perempuan.
ADVERTISEMENT
Bisa dibilang, RA Kartini dikenal karena usaha kerasnya dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Ia mendedikasikan hidupnya untuk melawan diskriminasi terhadap perempuan sekaligus memajukan pemikiran perempuan abad ke-19 saat itu.
Perempuan dengan pemilik nama lengkap Raden Adjeng Kartini ini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Kabarnya, keluarganya masih keturunan bangsawan. Ia adalah putri dari Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ibunya adalah M.A. Ngasirah yang merupakan seorang guru agama di sekolah.
Hidup sebagai seorang kaum priyayi, Kartini kecil berhak menempuh pendidikan. Ia menuntut ilmu di Europese Lagere School (ELS) dan sempat belajar bahasa Belanda.
Namun sayang, saat usianya 12 tahun ia justru dilarang sekolah oleh sang ayah. Karena sesuai dengan kebiasaan atau budaya yang berlaku pada zaman Hindia Belanda, perempuan yang berusia 12 tahun harus 'dipingit' alias tidak boleh kemana-mana selain di rumah saja.
ADVERTISEMENT
Kartini kecil pun frustrasi dan tak mau tinggal diam. Berbekal kemampuannya berbahasa Belanda, Kartini memiliki ide membuat iklan di majalah Belanda, De Hollandsche Lelie. Dalam iklannya itu, Kartini menyebutkan bahwa ia adalah anak perempuan dari Bupati Jepara yang mencari sosok teman perempuan untuk dapat saling bertukar surat.
Teman yang dicarinya harus berasal dari Belanda dan sebaya dengannya. Selain itu, sosok yang ia cari juga harus mempunyai kepedulian terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di Eropa. Iklannya tersebut kemudian mendapatkan respon dari perempuan Belanda bernama Estella Zeehandelaar.

Sahabat pena yang mengubah nasib Kartini

Dalam buku biografi Kartini yang berjudul ‘Kartini Sebuah Biografi’ tulisan Sitisoemandari Soeroto (1979), dijelaskan bahwa Estella adalah seorang pejuang feminisme di Eropa yang sering terjun langsung memperjuangkan hak perempuan. Ia mengenyam pendidikan di Hogere Burgerschool (HBS) dan pernah bekerja di Kantor Pos, Telepon, dan Telegram di Amsterdam.
ADVERTISEMENT
Perkenalan Kartini dan Estella terjadi pada 1988, saat Kartini masih berusia 20 tahun. Di usia tersebut, Kartini yang tengah beranjak dewasa mulai penasaran tentang pergerakan perempuan, sikap dan gagasan perempuan negara lain setelah berbincang dengan Estella yang rajin mengemukakan pemikirannya.
Konten SPESIAL: Support System #UntukPerempuan Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan
Bisa dibilang, semenjak rajin bertukar surat dengan Estella, Kartini mulai memiliki pemikiran yang lebih terbuka dan semakin peduli kepada isu perempuan. Sejak saat itu, keduanya sering berkirim surat dan saling bertukar pikiran hingga akhir hayat Kartini.
Salah satu isi surat Kartini kepada Stella yang paling populer adalah:
“Saya ingin berkenalan dengan seorang gadis modern, yang berani, yang dapat berdiri sendiri... yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan dirinya sendiri saja, tetapi juga berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan banyak sesama manusia.” (Surat Kartini kepada Stella H. Zeehandelaar, 25 Mei 1899).
ADVERTISEMENT
Selain Estella, Kartini juga memiliki teman lain yang dikenalnya pada 1900. Mereka adalah pasangan suami istri Jacques Henrij Abendanon dan Rosa Manuela Abendanon. Pria yang lebih dikenal dengan J. H. Abendanon adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda (Indonesia) yang menjabat sampai tahun 1905.
R.A Kartini (kiri). Foto: Dok. Wikimedia Commons
Bisa dibilang, kehadiran pasangan suami istri ini mempunyai andil yang cukup besar dalam kehidupan Kartini. Awalnya, Abendanon ditugaskan Kerajaan Belanda dengan berbagai misi, salah satu fokusnya saat itu adalah pendidikan perempuan. Sesuai saran seorang teman, Abendanon akhirnya berkenalan dengan anak-anak Bupati Jepara, yakni Kartini dan kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah.
Saat berbincang, Kartini membeberkan apa yang ada dalam pikiran perempuan Jawa pada saat itu. Mereka hanya tahu bahwa tujuan hidup mereka hanyalah menikah dan melayani suami, tak peduli dia adalah istri kedua, ketiga atau keempat. Dari situlah, Abendanon yakin bahwa Kartini adalah perempuan dengan pemikiran hebat.
ADVERTISEMENT
Kartini pun rajin bersurat dengan istri Abendanon, Rosa Manuela, untuk menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya serta pendapat-pendapatnya mengenai perempuan di Tanah Jawa. Kartini bersama adik-adiknya juga rajin mengikuti bimbingan mengenai gagasan etis yang diberikan oleh Rosa Abendanon di rumahnya.
Melalui Rosa, Kartini mulai sering membaca buku, koran, dan majalah Eropa. Bahkan, ia sudah membaca berbagai buku seperti De Stille Kraacht tulisan Louis Coperus, Roman Feminis karangan Nyonya Goekoop de Jong Van Beek, hingga Surat Cinta karya Multatuli. Bacaan tersebut membangkitkan semangat api dalam diri Kartini untuk memajukan derajat wanita pribumi.

Dipaksa menikah hingga perjuangan mendirikan sekolah perempuan sebelum wafat

Saat usianya 24 tahun, Kartini dipaksa menikah dengan seorang Bupati Rembang yang bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada 12 November 1903. Suaminya Kartini menikahinya atas permintaan mendiang sang istri, Sukarmilah, sebelum meninggal. Kabarnya, Sukarmilah mengagumi Kartini dan pemikiran-pemikirannya sehingga meminta Ario Singgih menikahinya agar anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang baik.
ADVERTISEMENT
Beruntung, Kartini yang masih semangat menggagas perubahan pada perempuan saat itu sangat didukung oleh sang suami. Ia diperbolehkan mendirikan sekolah perempuan di Kabupaten Rembang yang saat ini masih berdiri dan dikenal sebagai SMA Kartini Rembang.
Perjuangan Kartini mendirikan sekolah tidaklah mudah. Ia sempat menulis surat kepada Meneer Belanda, Henri Van Kol yang berbunyi:
“Permohonan saya ialah, sudilah pemerintah memberi saya pertolongan akan cita-cita yang tersebut di atas; sekarang akan memikul ongkos belajar itu semuanya dan kemudian sehabisnya saya belajar memberi saya kesempatan mengadakan internaat (Sekolah Asrama) untuk anak-anak gadis orang bumiputra yang berpangkat. Dengan penuh kepercayaan kami serahkan perkara kami kepada tuan. Kami tahu, kami rasai, bahwa Tuan ada menjadi pembantu besar dan pembela yang gembira bagi perkara kami," tulis Kartini kala itu seperti yang tertulis pada buku Habis Gelap Terbirtlah Terang.
Sekolah R.A Kartini. Foto: Dok. Wikimedia Commons
Sayangnya, keinginan Kartini belum terwujud sampai ia wafat di usia 25 tahun pada 17 September 1904, beberapa hari setelah ia melahirkan anak pertamanya. Barulah pada 1912, sekolah ini dibangun atas inisiasi Van Deventer yang sebelumnya telah menggalang dana untuk membangun sekolah keputrian lewat pembentukan Yayasan Kartini di Hindia-Belanda.
ADVERTISEMENT

Gagasan dan pemikiran Kartini dijadikan sebuah buku

Kepergian Kartini tidak mengakhiri perjuangannya untuk memajukan perempuan. Setelah Kartini wafat, salah satu temannya J.H. Abendanon mengumpulkan surat yang pernah dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Eropa.
Surat itu kemudian dibukukan dan diberikan nama "Door Duisternis tot Licht" yang artinya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Pada 1922, Balai Pustaka menerjemahkan buku tersebut dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Kabarnya, ada lebih dari 150 surat yang ditulis Kartini. Namun tidak semuanya ditampilkan pada buku karena ada beberapa surat yang sifatnya sangat sensitif. Hingga akhirnya, buku tersebut menampilkan 100 surat, 53 surat di antaranya ditujukan untuk J.H. Abendanon dan Rosa Manuela.
Bagaimana Ladies, kamu siap melanjutkan semangat perjuangan Kartini di era modern ini?
ADVERTISEMENT