Relasi Kuasa yang Timpang & Paham Patriarki Jadi Akar Masalah KDRT di Indonesia

7 Juni 2024 14:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).  Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
KDRT masih menjadi isu penting di Indonesia hingga saat ini, Ladies. Buktinya, akhir-akhir ini semakin santer terdengar berita soal kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa perempuan.
ADVERTISEMENT
Padahal, KDRT di Indonesia sudah memiliki dasar hukum sehingga pelakunya bisa ditindak pidana. KDRT diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Namun sayangnya, pelaku tindak kekerasan justru seperti tak gentar dengan adanya aturan tersebut. Yang membuat fenomena ini semakin miris adalah, pelaku kekerasan juga sering kali merupakan orang terdekat, mulai dari suami, istri, hingga orang tua.
Menurut Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA, Eni Widiyanti, relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang sering kali menjadi akar permasalahan dari KDRT.
“Akar permasalahannya itu relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, karena laki-laki merasa lebih tinggi dari perempuan jadi mereka berpikir bisa melakukan apa saja. Nanti pemicunya bisa macam-macam, bisa cemburu, ekonomi, dan hal lainnya,” ujar Eni dalam acara kumparan Hangout bertajuk “Lawan KDRT Jemput Indonesia Emas 2045” di kantor kumparan pada Selasa (28/5).
ADVERTISEMENT

Budaya patriarki bikin laki-laki dominan dari perempuan

Chief of kumparanWOMAN, Fitria Sofyani (kiri) dan Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA, Eni Widiyanti dalam acara kumparan Hangout bertajuk “Lawan KDRT Jemput Indonesia Emas 2045” di kantor kumparan pada Selasa (28/5). Foto: kumparan/Syawal Darisman
Relasi kuasa yang tidak seimbang juga sejalan dengan mengakarnya budaya patriarki di Indonesia. Chief of kumparanWOMAN, Fitria Sofyani, mengatakan bahwa nilai patriarki yang mengakat membuat kebanyakan masyarakat mengedepankan kekuatan dan dominasi laki-laki di atas perempuan. Padahal dalam suatu hubungan, seharusnya laki-laki dan perempuan itu saling melengkapi satu sama lain dengan peran masing-masing.
“Cara pandang patriarki itu menjadi dasar-dasar dari terjadinya KDRT, sehingga memicu tindak-tindak yang seakan-akan memperbolehkan laki-laki untuk melakukan kekerasan. Dan kita sebagai perempuan juga merasa bahwa kita mengizinkan laki-laki untuk melakukan itu,” imbuh Fitria.
Sementara itu, menurut Eni, budaya patriarki ini sebenarnya sudah ditanamkan oleh masyarakat bahkan sejak di masa kanak-kanak. Banyak orang tua yang berpendapat bahwa anak laki-laki itu lebih superior daripada perempuan. Karenanya, ia mengimbau agar budaya ini segera digantikan sedini mungkin dengan edukasi bahwa anak laki-laki dan perempuan itu setara.
ADVERTISEMENT

Pentingnya edukasi KDRT sejak dini

Pentingnya edukasi KDRT sejak dini. Foto: kumparan/Syawal Darisman
Pada kebanyakan kasus kekerasan pelakunya adalah orang terdekat, bahkan sosok yang amat kita cintai dan percayai tidak akan melakukan hal buruk pada diri kita. Karenanya, perlu dipahami bersama bahwa KDRT bisa terjadi pada siapa saja. Jadi, sangat penting bagi kita untuk mendapatkan edukasi soal bahaya dan risiko KDRT di masa depan, terutama ketika kita hendak menjalin hubungan atau bahkan memutuskan untuk menikah.
Bagi Fitria, ada dua hal yang menjadi fokusnya soal edukasi KDRT, yaitu menikah muda dan kemandirian secara finansial. Menikah lah saat kita sudah siap dan sudah merasa cukup dengan diri sendiri, sehingga pernikahan menjadi ajang pencarian pasangan hidup, bukan semata-mata sandaran ekonomi. Sebab, sering kali korban KDRT perempuan tidak bisa meninggalkan pasangannya karena ketergantungan ekonomi.
ADVERTISEMENT
“Tapi ketika perempuan sudah punya penghasilan sendiri, mandiri secara ekonomi, kita tidak akan membiarkan orang lain berlaku buruk kepada kita. Ketika kita dilukai oleh pasangan, kita bisa memutuskan untuk melawan –Oke, saya bisa hidup sendiri, saya bisa menghidupi anak saya,” pungkas Fitria.