Respons Aktivis dan Komnas Perempuan soal Larangan dan Paksaan Pemakaian Hijab

3 September 2024 21:12 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anggota Paskibraka bersiap mengikuti upacara HUT ke-79 RI di Istana Negara IKN, Kalimantan Timur, Sabtu (17/8/2024). Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Anggota Paskibraka bersiap mengikuti upacara HUT ke-79 RI di Istana Negara IKN, Kalimantan Timur, Sabtu (17/8/2024). Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
Aturan berbusana yang diskriminatif seringkali diarahkan pada perempuan dengan tujuan untuk mengontrol penampilan dan ekspresi diri. Diskriminasi itu biasanya ditemukan dalam aturan yang mewajibkan atau melarang perempuan untuk memakai hijab.
ADVERTISEMENT
Hal ini diamini oleh Komisioner Komnas Perempuan Dewi Kanti yang menegaskan bahwa aturan mewajibkan atau melarang perempuan untuk memakai hijab adalah bentuk kebijakan yang diskriminatif.
Menurut Dewi, kebijakan diskriminatif yang mengatur busana atas nama agama dan keyakinan tertentu ini, akan berdampak pada kriminalisasi terhadap perempuan dan pembatasan kebebasan perempuan untuk berekspresi. Lebih jauh, kebijakan diskriminatif itu juga akan berdampak pada lunturnya kebangsaan dan keindonesiaan.
Selain merupakan bentuk diskriminasi, Dewi menegaskan bahwa pemaksaan dan pelarangan pemakaian hijab merupakan bentuk diskriminasi yang nyata terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan seperti yang tertuang dalam pasal 28E UUD 1945 Ayat 1 yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
Pasal 28E ayat 2 juga menegaskan bahwa menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya adalah bagian dari hak asasi manusia.
“Dengan demikian melarang penggunaan jilbab oleh kekuasaan dan sebaliknya melakukan pemaksaan penggunaan jilbab adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia,” tegas Dewi.
Dari deretan kasus pemaksaan dan pelarangan hijab yang belakangan terjadi di Indonesia, beberapa di antaranya berdalih bahwa aturan tersebut hanya sebatas imbauan. Tidak ada yang mewajibkan harus memakai atau melepas hijab.
Namun menurut Dewi kebanyakan dalih ‘hanya anjuran’ itu dibarengi dengan adanya relasi kuasa yang menimbulkan pemaksaan dan pada akhirnya berdampak adanya pembatasan, bullying, bahkan hilangnya rasa aman. Hal ini jelas bentuk pelanggaran hak asasi.
Ilustrasi beragam wanita kuat cantik yang berjuang untuk kesetaraan dan hak. Foto: KatePilko/Shutterstock
“Namun ketika dorongan itu menjadi pemaksaan karena ada relasi kuasa maka bukan lagi menjadi ajang dakwah, melainkan pemaksaan yang melanggar hak asasi manusia. Seperti yang umum terjadi di lembaga pendidikan, perusahaan, maupun ruang publik lainnya,” tegas Dewi.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi kasus-kasus serupa, Dewi mengatakan Komnas Perempuan telah membangun mekanisme bersama Kemenkumham, KPPA dan juga Kemendagri untuk melakukan pencegahan dan penanganan kebijakan diskriminatif. Dalam konteks pencegahan, Kemendagri telah memiliki E-Perda.
E-Perda ini merupakan alat untuk menganalisis dan mencermati apakah suatu kebijakan yang diajukan oleh pemerintah daerah sudah kondusif atau justru diskriminatif. Selain itu, Komnas Perempuan juga kerap melakukan kampanye-kampanye untuk pencegahan lahirnya kebijakan diskriminatif.
Dalam konteks penanganan, Komnas Perempuan telah memiliki mekanisme analisis kebijakan dalam bentuk “pokja” pencegahan dan penanganan kebijakan diskriminatif. “Dan hasil analisis itu kemudian direkomendasikan pada Kemendagri untuk melakukan penyikapan. Kemendagri melakukan pembinaan, dan memerintahkan agar kebijakan kebijakan diskriminatif itu direview atau bahkan dicabut,” ujarnya.

Hijab adalah bentuk ibadah yang tak boleh dipaksakan

My Mom My Inspiration 2021, Alissa Wahid. Foto: Lili Aini
Senada, Aktivis dan Penggerak Gusdurian Alissa Wahid juga menyatakan bahwa memakai ataupun melepas hijab adalah hak asasi perempuan. Sehingga ketika seorang perempuan memakai atau melepas hijab karena ada pihak yang memaksa, itu artinya sudah terjadi pelanggaran hak asasi.
ADVERTISEMENT
Alissa menyoroti soal pelarangan berhijab yang sempat menimpa belasan perempuan anggota Paskibraka 2024. Menurutnya itu adalah salah satu bentuk hukum positif yang manipulatif dan sarat dengan intimidasi. Meskipun bentuknya bukan intimidasi fisik, namun hal tersebut tetap sebuah pelanggaran hak asasi.
Sebab para siswi anggota paskibraka ini diminta untuk menandatangani surat pernyataan namun dalam waktu yang sama mereka dihadapkan pada pilihan dilematis: kalau terpilih jadi paskibraka, maka bersedia melepas hijab.
Lebih lanjut, Alissa menegaskan bahwa hijab adalah bagian dari bentuk ibadah seorang perempuan. Itu artinya tidak boleh ada yang melarang maupun memaksa seseorang dalam menjalankan ibadah. Apabila seorang perempuan muslim meyakini bahwa hijab adalah sesuatu yang wajib, maka itu menjadi hak konstitusionalnya. Begitupun sebaliknya.
ADVERTISEMENT
“Sehingga ketika ada situasi seperti itu, tetap dalam kategorinya pelanggaran terhadap hak konstitusi, tidak selayaknya terjadi. Karena menjadi diskriminasi,” ujarnya.
Seperti diketahui, diskriminasi terhadap perempuan di balik aturan berbusana lagi-lagi terjadi. Baru-baru ini RS Medistra, rumah sakit internasional yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan itu viral akibat kebijakan yang membatasi para dokter dan perawat untuk memakai hijab.
Diskriminasi dalam aturan busana ini menjadi penghalang bagi perempuan untuk mencapai kesetaraan dan mewujudkan potensinya secara utuh. Sebab seringkali aturan ini menempatkan perempuan dalam pilihan-pilihan dilematis yaitu antara mematuhi norma yang berlaku atau mempertahankan identitas serta martabatnya.