Role Model: Co-Founder Populix Eileen Kamtawijoyo

2 November 2022 11:43 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Role Model: Co-Founder Populix Eileen Kamtawijoyo. Foto: Populix
zoom-in-whitePerbesar
Role Model: Co-Founder Populix Eileen Kamtawijoyo. Foto: Populix
Bagi sebagian orang, urusan soal riset dan data bisa jadi hal yang sangat membosankan dan rumit. Tapi tidak bagi Eileen Kamtawijoyo. Ia justru memiliki ketertarikan pada topik-topik seputar riset pasar dan data, pengembangan produk, dan bisnis-bisnis di negara berkembang.
Ia pun kemudian mendirikan Populix, perusahaan penyedia layanan consumer insights yang menghubungkan bisnis dengan kumpulan responden berkualitas dan tepat sasaran di seluruh Indonesia. Eileen tidak sendirian, ada Timothy Astandu yang menjadi co-founder dalam membangun Populix dari awal hingga sekarang.
Keberaniannya mengambil risiko dan kegigihannya membuat Eileen masuk dalam Forbes 30 Under 30 Asia pada 2020. Tapi bagi Elieen momen tersebut sama sekali bukan untuk dirinya pribadi. Ia merasa pencapaiannya ini murni untuk Populix agar kedepannya makin dikenal dan berkembang semakin jauh.
“Saya merasa sangat terhormat dan bersyukur. Namun pencapaian ini untuk Populix. Untuk meningkatkan mental kami. Supaya kami bisa bekerja lebih keras dan terus berimprovisasi sebagai individu yang nantinya bisa berkembang bersama,” ungkap Eileen dalam wawancara khusus bersama kumparanWOMAN untuk rubrik Role Model beberapa waktu lalu.
Jadi bagaimana perjuangan Eileen membangun Populix dari nol hingga kini banyak dikenal? Prinsip kepemimpinan seperti apa yang ia terapkan dan bagaimana caranya menghadapi tantangan berat? Simak wawancara selengkapnya di rubrik Role Model kumparanWOMAN berikut ini.

Dalam membangun bisnis, risiko terbesar apa yang pernah Anda ambil dan apa yang bikin selalu berani?

Risiko terbesar tentu saat memulai Populix. Waktu itu saya hanya berdua dengan Co-Founder dan CEO Populix, Timothy Astandu. Kami pakai tabungan sendiri dan dulu belum ada yang percaya dengan kami. Bahkan mau merekrut karyawan, tidak ada yang datang karena tidak tahu Populix itu apa.
Co-founder Populix. Foto: dok. Istimewa
Jadi menurut saya, momen memulai dari nol itu adalah risiko terbesarnya. Apalagi dulu saya masih bekerja full time. Hal yang bikin berani saat itu mungkin saya merasa kalau melakukan sesuatu dengan setengah-setengah, hasilnya kurang maksimal dan tidak fokus.
Itu yang saya pelajari sampai sekarang. Menurut saya, kalau memang ingin menjadi entrepreneur, saya harus fokus dan benar-benar nyemplung 100 persen.

Apa yang membuat Anda mantap dan tidak ragu untuk fokus berbisnis saja?

Ragu tentu saja pernah, tapi saya berpikir waktu itu, saat mau memulai berbisnis, saya masih muda. Jadi kalau gagal, saya masih bisa kembali bekerja di korporasi.
Jadi daripada saya merasa menyesal tidak pernah mencoba sama sekali, lebih baik saya gagal tapi sudah mencoba. Dan beruntungnya, saat itu masih muda dan single, jadi masih banyak waktu dan kesempatan. Mungkin kalau sekarang, ketika sudah berkeluarga, pasti akan lebih ragu lagi, galaunya lebih banyak.

Setelah melewati semuanya, apakah pernah ada penyesalan?

Di awal memulai, sempat punya banyak penyesalan. Saya dan Timothy benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Ada momen ketika kami merekrut engineer untuk bikin produk, ketika ada yang tidak sesuai, kami tidak tahu cara mengatasinya.
Fokus kami hanya ingin membuat produk sesuai bayangan kami. Saat pitching idea juga berkali-kali tapi tidak dapat juga.
Saya sempat bilang bahwa ini mungkin tidak akan berhasil, tapi Timothy bilang kami harus coba sekali lagi. Momen ini bikin saya belajar bahwa segala sesuatu tidak selalu berjalan sesuai rencana. Untuk itu, saya juga merasa kalau apa pun yang kita kerjakan selalu ada campur tangan faktor keberuntungan.
Eileen saat meeting bersama para co-founder Populix. Foto: dok. Istimewa

Sebagai pemimpin, prinsip apa yang Anda terapkan sehari-hari?

Prinsip saya harus punya keinginan untuk belajar. Dengan perubahan dunia yang begitu cepat, kita bisa belajar dari siapa saja. Biasanya kalau bertemu dengan tim, saya juga berusaha untuk belajar dari mereka.
Kemudian saya juga menerapkan prinsip untuk bisa mendelegasikan sesuatu ke orang lain. Apalagi dengan pertumbuhan yang ingin kita raih saat ini, tentu akan semakin banyak tantangan. Jadi untuk bisa membangun kepercayaan dan mendelegasikan sesuatu itu penting.

Apakah pernah mengalami kesulitan mendelegasikan tugas ke tim?

Tentu saja pernah, dulu bahkan selalu kesulitan. Tapi saya mengatakan pada diri sendiri bahwa mendelegasikan sesuatu ini sebuah kemampuan yang bisa dilatih. Terlebih kalau kita ingin berkembang lebih baik.
Saya pun belajar untuk perlahan melepaskan dan percaya dengan yang lain. Tapi saya akui, itu bukan hal yang mudah dan butuh proses panjang.
Tapi proses ini membuat saya belajar mengetahui mana yang memang bisa didelegasikan. Meski hasilnya tidak 100 persen sesuai keinginan saya, tapi seringnya hasilnya lebih bagus. Saya merasa beruntung punya tim seperti tim saya sekarang.

Lalu bagaimana dengan gaya kepemimpinan Anda?

Saya adalah tipe leader yang output-oriented atau mengutamakan hasil. Saat berkomunikasi dengan tim, saya berusaha terbuka jadi komunikasinya tidak up to down saja. Tapi menurut saya bottom to up itu juga penting.
Karena setiap hari tim kami yang selalu berhadapan langsung dengan klien. Jadi saya yakin mereka lebih tahu mengenai yang terjadi di lapangan daripada saya. Dan setiap orang bisa berpendapat dan memberikan masukan.

Bagi Anda pribadi, apa tantangan terbesar dalam hidup yang pernah dihadapi?

Definitely mengatur waktu saya di tengah berbagai tanggung jawab. Ini menjadi tantangan terbesar saya sehari-hari.
Pertama, sebagai seorang ibu, saya harus bisa menjalankan peran dengan baik. Setelah itu, saya juga harus me-manage Populix.
Tapi dari tantangan ini, ada hal yang saya pelajari, yaitu multitasking dan menentukan prioritas. Dan tentu yang sudah saya jelaskan tadi, belajar mendelegasikan sesuatu pada tim. Ini jadi kunci saya menghadapi tantangan mengatur waktu sehari-hari.

Menjadi pebisnis katanya adalah perjalanan panjang dan sepi. Bagaimana pendapat Anda dan apakah Anda merasakannya?

Tentu pernah merasakan, terutama saat masih berdua dengan rekan saya mendirikan Populix. Saya merasa beban kami berat sekali, tapi waktu itu mental kami kuat.
Menurut saya memang for sure it’s a lonely battle, tapi saya bersyukur karena punya co-founder dan tim untuk bisa menjalaninya bersama.

Terakhir, pesan apa yang ingin disampaikan untuk perempuan yang ingin menjadi pebisnis seperti Anda?

Saya rasa saat ini pemimpin perempuan sudah banyak dilihat dan saya beruntung, bersyukur bisa menjadi salah satu woman leader.
Saya ingat Kamala Harris, Wakil Presiden Amerika Serikat pernah mengatakan apa yang dia lakukan mungkin bukan untuk kejayaan dirinya sendiri. Tapi untuk membuka jalan untuk generasi masa depan, terutama perempuan.
Jadi buat para perempuan, jangan berkecil hati. Saat ini sudah banyak kesempatan, anggap itu sebagai keuntungan dan raihlah karena dibanding dulu, sekarang sudah banyak program atau kegiatan yang membantu, memberikan jalan bagi para perempuan untuk maju.