Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Role Model: Hadriani Uli Silalahi, Chairwoman of W20 Indonesia
12 Juli 2022 11:33 WIB
·
waktu baca 10 menitDiperbarui 22 Juli 2022 11:59 WIB
ADVERTISEMENT
Tahun ini, Indonesia memperoleh kesempatan besar yang berharga di kancah internasional. Ya, pada 2022, Indonesia mengetuai forum ekonomi besar tahunan di dunia, yaitu Group 20 atau G20 . Forum yang berdiri sejak 1999 silam ini beranggotakan 19 negara perekonomian besar dunia—seperti Amerika Serikat, Italia, hingga Jepang—dan Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
Forum G20 ini tidak eksklusif berfokus pada keuangan dan perekonomian dunia saja. Ada dua jalur kerja, yakni Finance Track, yang fokus pada isu-isu ekonomi global; dan Sherpa Track, jalur yang membahas berbagai topik dan isu yang menjadi perhatian dunia, mulai dari bisnis UMKM, kepemudaan, antikorupsi, hingga isu-isu perempuan.
Topik-topik Sherpa Track tersebut dibahas di dalam dua payung besar, yakni Working Groups (berjumlah 11 Working Group) dan Engagement Groups (10 Engagement Groups). Jika Working Group berisi ahli-ahli dan kementerian yang relevan dengan topik yang diangkat, Engagement Group diisi oleh ahli, lembaga, serta think tank yang berkumpul untuk membahas isu-isu tertentu serta merumuskan solusi dari permasalahan tersebut.
Nah, Women 20, atau yang lebih dikenal sebagai W20, merupakan salah satu Engagement Group pada Sherpa Track G20. Sama seperti namanya, tentu saja, W20 berfokus pada isu-isu perempuan. Di tahun ini, Indonesia sebagai pemegang keketuaan W20 memiliki empat isu prioritas: diskriminasi, inklusi ekonomi, kesehatan, serta isu perempuan perdesaan dan disabilitas.
Selama satu tahun ini, di balik kesibukan W20 Indonesia sebagai tuan rumah, ada seorang perempuan tangguh yang mengomandoi kapal ini.
ADVERTISEMENT
Ia adalah Hadriani Uli Silalahi, Chairwoman of W20 Indonesia dan Ketua Bidang Ekonomi dan Hubungan Luar Negeri Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).
Sebelum menjadi ‘Ibunya’ W20 Indonesia 2022, perempuan keturunan Batak ini sudah lebih awal dikenal sebagai penyelenggara pameran buku terbesar di dunia, Big Bad Wolf (BBW). Perempuan yang akrab disapa Uli ini memang memiliki perhatian mendalam terhadap pendidikan dan minat baca masyarakat Indonesia, terutama anak dan perempuan.
Sosok yang juga merupakan Presiden Direktur PT Jaya Ritel ini memang sudah tidak asing dengan dunia organisasi dan kepemimpinan. Sejak akhir 1980-an, Uli telah bergabung dengan sebuah organisasi bernama Forum Komunikasi Putra Putri TNI dan Polri (FKPPI) generasi muda. Ia duduk di bagian pemberdayaan perempuan di Generasi Muda FKPPI tingkat DKI. Kala itu, Uli yang berusia 23 tahun masih menimba ilmu di Universitas Trisakti, Jakarta.
ADVERTISEMENT
Selain aktif di bidang organisasi, Uli juga malang melintang di dunia bisnis. Mulai dari mengurus perusahaan sang suami di bidang Event Organizer, hingga mendirikan usahanya sendiri di bidang agensi marketing—Tyo First Edition. Jadi, kemampuan Uli dalam kepemimpinan memang tak perlu dipertanyakan lagi.
Maka, ia mempertemukan kemampuan kepemimpinannya tersebut dengan concern yang mendalam terhadap isu-isu perempuan di Indonesia.
Menyoal kepemimpinan dan aktivisme yang lebih profesional dalam isu-isu perempuan, Uli go international dengan menjadi perwakilan Indonesia di International Council of Women (ICW). Sekitar 20 tahun lalu, Uli ditunjuk oleh Linda Agum Gumelar—yang saat itu menjabat sebagai Ketua KOWANI—untuk mewakili Indonesia di International Council of Women (ICW) yang bermarkas di Paris, Prancis. Saat itu, ia menjadi Adviser for Youth (Penasihat untuk Kaum Muda).
ADVERTISEMENT
Sejak itu, karier Uli kian melambung. Rentetan prestasi dan jabatan ia duduki, mulai dari Ketua Bidang Ekonomi dan Hubungan Luar Negeri KOWANI, pengurus ICW Sustainable Coordinator untuk Status of Women, hingga kini sebagai Chairwoman of W20 Indonesia. Semua ini ia lakukan bersamaan dengan peran utamanya di keluarga, yakni seorang Ibu dari dua anak.
Dengan deretan prestasi ini, Uli membuktikan bahwa dirinya adalah seorang perempuan berdaya yang tidak hanya gemilang di kariernya, tetapi juga sebagai Role Model dalam mendidik anak-anaknya. Nilai yang ia anut? “Perempuan adalah Ibu Bangsa.”
Nah, Ladies, penasaran dengan kisah inspiratif seorang Hadriani Uli Silalahi? Simak perbincangan hangat antara Hadriani Uli Silalahi dengan kumparanWOMAN, mengenai keketuaan di W20, tantangan sebagai pemimpin perempuan, hingga tips agar perempuan Indonesia lebih berdaya:
Karier Anda sekarang sebagai Chairwoman di W20. Mungkin bisa dijelaskan bagaimana bisa menjadi Chairwoman di W20 Indonesia ini?
ADVERTISEMENT
U: Ya, jadi pada prinsipnya kita KOWANI—Kongres Wanita Indonesia—ditunjuk untuk menjadi Chairwoman. Dan kebetulan saya merupakan Ketua untuk Bidang Ekonomi dan Bidang Luar Negeri [di KOWANI]. Jadi, memang pas banget untuk G20, kan, karena membahas mengenai ekonomi dan juga mengenai hubungan luar negeri. Jadi, dari awal saya sudah memang aktif dalam organisasi, dan hampir setiap tahun sebelum pandemi kita datang ke PBB.
Sebagai Chairwoman of W20 dan pengurus KOWANI, Anda juga sedari lama menunjukkan perhatian terhadap isu-isu perempuan di Indonesia. Apa yang melatarbelakangi semangat Anda untuk membahas, mendalami, serta memperjuangkan isu-isu tersebut?
U: Begini. Mungkin, sadar atau tidak sadar, sebagai perempuan, kita banyak melewati masalah-masalah yang hanya dihadapi oleh perempuan saja. Misalnya, dari hal kecil seperti di kantor; mungkin ada kesenjangan gender di sana. Dari dulu, ketika menyaksikan isu-isu seperti ini, saya maunya membantu dan menyelesaikan isu tersebut. “Kenapa, sih? Kok bisa? Ini perempuannya yang salah atau ada sistemnya yang salah? Atau di mana, nih, yang kita mesti benerin?” Pertanyaan saya ini sudah ada dari dulu, dari saya aktif sejak 30 tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Kalau di organisasi dulu, kan, ada ‘Bidang Perempuan’. Pasti, ditaruhlah kita-kita yang perempuan [di bidang tersebut], yang lain-lain enggak boleh duduk di sana [bidang lainnya]. Padahal masalah perempuan masuk di semua [bidang], cross-cutting. Jadi, ya sudah, akhirnya kita [perempuan] terpentung sendiri di situ. Tapi di situ kita semakin menyadari bahwa masalah perempuan ini besar sekali, kompleks, dan cross-cutting-nya ke semua. Jadi, ya, itulah yang saya mau, kepengin bahwa perempuan itu… mulailah bertemu dengan dunia.
Kita [W20] punya empat prioritas yang akan kita usung di G20. Yang 70 persen itu masalah lama. Diskriminasi, inklusi ekonomi, masalah kesehatan, itu masalah lama yang belum terselesaikan. Kemudian, dengan keketuaan Indonesia di G20 ini, kita mendapatkan kesempatan untuk memasukkan isu prioritas baru yang kami jadikan sebagai legacy Indonesia, yaitu mengenai perempuan perdesaan dan disabilitas. Itu belum pernah disinggung.
Perempuan Perdesaan dan Disabilitas dipilih oleh W20 Indonesia sebagai isu prioritas. Kapan pertama kali Anda melihat ada masalah itu, dan apa yang menggerakkan Anda untuk memasukkan ini ke W20 Indonesia?
ADVERTISEMENT
U: Kalau yang tiga problem [Diskriminasi, Kesehatan, Inklusi Ekonomi] itu kan sudah pasti sama, ya. Kita sudah tahu apa yang harus dilakukan soal diskriminasi. Inklusi ekonomi dan kesehatan, di negara lain sudah dibahas. Tetapi negara-negara yang membawa tiga isu tersebut—negara maju seperti Jerman, Jepang, Saudi Arabia… mereka tidak memikirkan persoalan [perempuan] perdesaan.
Permasalahan perempuan kota dan desa itu berbeda. Diskriminasi terhadap perempuan di kota itu berbeda sekali dengan yang dialami perempuan perdesaan. Isu kesehatan di kota dan perdesaan itu beda; kalau di perdesaan ada stunting, di kota tidak ada. Perbedaan teknologi antara kota dan desa juga ada. Perbedaan itu kan banyak, jadi bagaimana perempuan perdesaan bisa maju kalau isu mereka tidak diangkat?
ADVERTISEMENT
Begitu pun dengan isu disabilitas: Ada isu kesehatan dan teknologi dalam konteks disabilitas. Kita harus melakukan pendampingan karena para penyandang disabilitas juga harus maju. Hampir ada 40 juta penyandang disabilitas, ya, dan hampir 14,3 persen kalau tidak salah itu adalah perempuan.
Lewat G20, Indonesia membawa isu penting mengenai peran perempuan dalam berbagai krisis. Bisa dijelaskan, menurut Anda, seperti apa peran penting perempuan dan apa yang bisa dilakukan sebagai pembawa perubahan?
U: Motto saya sama dengan Ibu Menteri juga, ya. Perempuan berdaya, Indonesia Maju. Perempuan itu ada di lini mana? Di lini keluarga. Jadi dari keluarga inilah diciptakan cara mendidik. Oleh karenanya, kalau kita di KOWANI itu kita selalu ada “Salam Ibu Bangsa.” Salam Ibu Bangsa itu adalah kita, sebagai Ibu, yang menyampaikan bahwa perempuan itu adalah nomor satu di keluarga, lingkungan, dan juga negara.
Jadi, perempuan itu harus bisa dari lini terkecil. Peran perempuannya itulah, dari keluarga dulu, dari kecil, bagaimana dia sebagai Ibu, sebagai Ibu dari keluarga, bisa membuat, menjaga menciptakan anak tersebut menjadi anak yang peka, baik dalam keluarga, lingkungan, maupun negara.
Anda memiliki julukan ‘Ibu Buku’ berkat pameran Big Bad Wolf (BBW). Bisa diceritakan apa yang mendasari pendirian BBW di Indonesia, dan apakah ada sangkut pautnya dengan kepedulian Anda terhadap isu perempuan?
ADVERTISEMENT
U: Tentunya seperti itu. Misi dari Big Bad Wolf itu adalah penyebaran buku ke seluruh dunia. Pusatnya kan di Kuala Lumpur, ya. Waktu mengajak partnering dengan saya, ‘Kok, pas dengan bisnis saya?’ Jadi ini memberikan pendidikan, edukasi, yang betul-betul berbeda. Jadi kebayang saya mendatangkan buku dengan harga terjangkau dan ragamnya banyak sekali. Dan itulah misi kita.
Indonesia itu, menurut data UNESCO tahun 2014, minat bacanya rendah. Itu yang membuat saya [jadi bertanya] “Kok bisa, sih?” 10-15 tahun ke depan keadaannya seperti apa, kalau kita tidak memberikan pendidikan paling mendasar, yaitu membaca. Nanti akhirnya tergerus dengan teknologi. Kita membutuhkan teknologi, betul, tetapi beda. Kita tanya sama Mbah Gugel atau apa, teknologi betul ada semua di sini, tetapi itu hanya semata, hanya sekilas informasi. Untuk mendalam, kan, kita harus membaca.
ADVERTISEMENT
Sebagai Chairwoman of W20 sambil juga mengetuai Big Bad Wolf Indonesia, bagaimana Anda memaknai posisi Anda sebagai seorang pemimpin perempuan?
U: Saya bersyukur bisa menjadi bagian dari gerakan yang berfokus pada kesejahteraan perempuan. Bagaimana kita bisa memanfaatkan daya pikiran kita, bahkan waktu, ya. Saya buka-bukaan saja. Umur saya sekarang 56 tahun, dan saya sudah berkomitmen dari dulu: Semakin banyak umur saya, semakin waktunya saya berikan untuk kepentingan perempuan. Jadi, kalau sekarang sudah usia 56, it means saya harus lebih banyak memberikan waktu saya untuk perempuan. Semakin umur bertambah, artinya, kita bisa lebih banyak memberikan ke sesama kita, ke perempuan dan anak, untuk lebih menyelesaikan persoalan-persoalan.
Berbicara soal tantangan, apa saja rintangan yang Anda hadapi dalam karier Anda sebagai seorang pemimpin perempuan?
U: Begini. Kalau tantangan itu memang berat. Secara budaya saja, negara kita ini, kan, mengikuti garis bapak, ya. Itu saja dulu. Apalagi saya perempuan Batak, itu sudah garis itu sudah jelas. Itu sudah tantangan bagi saya.
ADVERTISEMENT
Contoh, saya mau berangkat ke Eropa karena kita harus bertemu dengan pemimpin di beberapa negara di Eropa. Jadi kita ada meeting dan itu sudah direncanakan dari dua atau tiga bulan yang lalu. Pada waktu itu anak saya harus berangkat tugas ke Yogya karena dia dokter, jadi dia punya tugas di sana hingga satu tahun ke depan.
Dan pada waktu itu saya ditelepon [oleh seorang anggota keluarga], “Oh, ya, saya mau berangkat ke Eropa.”
Orang tersebut merespons, “Lho! Bukannya anakmu mau berangkat ke Yogya? Aturannya anak duluan, dong, diginiin [diutamakan].” Saya langsung, deg, merasa bersalah.
Dua minggu sebelum saya berangkat ke Eropa, anak saya sudah kasih tahu bahwa lokasi untuk bertugasnya adalah di Yogya. Saya pun langsung terbang pergi dengan anak saya, saya cari tempat kost-nya. Anak saya enggak ada masalah [dengan saya pergi ke Eropa]. Tetapi, pertanyaan itu tetap membuat saya merasa bersalah.
ADVERTISEMENT
Itulah tantangan yang pertama: Stigma [terhadap] perempuan.
Tapi, itu jangan dijadikan tantangan. Itu sesuatu yang harus dilalui. Bagi saya tantangan kita adalah bagaimana kita menciptakan bahwa stigma-stigma itu bisa hilang, dimulai dari kita sendiri.
Selanjutnya, perempuan seringkali sudah jiper duluan kalau pergi kemana. Kalau [dalam ruangan] laki-laki semua, sudah deg-degan duluan. Terutama di dalam bisnis. Kalau saya lihat dalam pembicaraan, negosiasi di organisasi, misal masalahnya perempuan dan anak otomatis orangnya perempuan. Tapi kalau dalam pertemuan bisnis? Itu enggak gampang di dalam ruangan itu, terkadang saya sendiri.
Tapi, bagi saya justru menjadi kesempatan yang akan kita lewati. Jadi, kita juga sebagai perempuan, jangan melihat itu sebagai perbedaan [atau] tantangan.
Apa value atau nilai-nilai yang Anda pegang sebagai pemimpin perempuan?
U: Yang pertama, sebagai perempuan kita sudah diciptakan dari awal itu punya tugas dalam melahirkan. Itu sudah kodrat kita. Tetapi tentunya, soal Ibu Bangsa, nilai-nilai dari seorang ibu itu harus ditonjolkan. Bagaimana seorang Ibu merawat seorang anak dalam menjadi seseorang yang kita katakan ‘Ibu Bangsa’ yang peduli terhadap anaknya, dalam menciptakan kesejahteraan dalam keluarga, lingkungan, dan negara.
Apa harapan Anda dalam kesejahteraan dan pemberdayaan perempuan ke depannya?
ADVERTISEMENT
U: Kalau itu sudah terjadi, harapan kita adalah perempuan berdaya, Indonesia maju. Kalau sudah sampai titik itu, bersama-sama, pasti Indonesia maju. Caranya banyak, enggak hanya lewat W20. Banyak perempuan-perempuan kita yang melakukan berbagai kegiatan.
Banyak perempuan yang berkata bahwa tantangan mereka adalah keraguan terhadap diri dan kemampuannya. Ada pesan agar perempuan tidak lagi meragukan diri sendiri?
U: Makanya itu, kita harus selalu membaca. Diisi dengan kemampuan. kumparan selalu memberikan [informasi], lalu [bisa] Googling dan semuanya. Jangan malu, apa saja kita baca sehingga membuat kita confident. Lalu kedua, hadiri atau datangi seminar online. Jangan berkata, “Ah, sudah pernah dengar!”
Apa tips dan trik dari Anda untuk para perempuan Indonesia, supaya bisa menjadi perempuan berdaya?
U: Yang satu, kita harus bisa bergaul dengan siapa pun. Saya menerapkan [pelajaran] ke anak saya: Akses itu adalah aset. Aset bukan nomor satu. Aset itu bisa habis, kalau akses itu tidak. Akses itu penting. Akses itu akan menyambungkan kita ke sana dan ke sini. Jadi bagi saya, akses itu adalah nomor satu.
ADVERTISEMENT
Lalu, jangan pernah menyerah. Tantangan itu apa saja, hidup itu banyak tantangan. Saya mengajari anak saya begini. Ada tembok besar, ini bagaimana caranya melewati ini? Ini temboknya besar banget. Dibor pelan-pelan, atau kita memanjat lalu akhirnya lompat? Atau mau dipukul keras-keras, nanti hancur? Tantangan itu, tembok sebesar dan sekeras apa pun, pasti kita bisa hadapi. Itu kepercayaan saya.