Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Role Model kumparanWOMAN: Dian Siswarini, CEO XL Axiata
19 Februari 2021 14:19 WIB
·
waktu baca 8 menitDiperbarui 22 Juli 2022 14:00 WIB
ADVERTISEMENT
Bekerja di industri telekomunikasi adalah sebuah langkah pasti yang selalu diyakini oleh CEO XL Axiata, Dian Siswarini. Karena itulah, ketika lulus kuliah jurusan Teknik Elektronik di ITB pada 1991, ia mantap menapaki karier di industri telekomunikasi yang pada saat itu belum terlalu populer bagi perempuan.
ADVERTISEMENT
Namun meski bukanlah pilihan karier yang populer saat itu, Dian Siswarini, yakin akan pilihannya. Bekal keyakinan ini akhirnya mengantarkan ia bekerja di PT XL Axiata sejak 1996 lalu. Perjalanan Dian di XL Axiata dimulai sebagai network engineer yang bertugas untuk memeriksa cakupan jaringan di seluruh Indonesia. Ia kemudian menjadi Network Service Director pada 2007 hingga menjadi Chief Digital Services Officer pada 2011 hingga 2014. Barulah pada 2015 lalu, perempuan yang sempat menempuh pendidikan di Harvard Advanced Management Program, Harvard Business School AS, ini diangkat menjadi CEO XL Axiata.
Rupanya, jabatan CEO ini sudah ada dalam perencanaan kariernya sejak awal masuk XL. " Saat pertama kali wawancara di XL, saya ditanya ingin menjadi apa di perusahaan ini dalam 10 tahun ke depan. Saya bilang, mau jadi CEO. Bukan karena saya over confident, tapi saya merasa kalau saya tidak punya tujuan, sulit membuat perencanaan matang. Jadi harus punya tujuan dan aspirasi dalam hidup," cerita Dian Siswarini dalam wawancara eksklusif untuk rubrik Role Model kumparanWOMAN, beberapa waktu lalu.
Empat tahun menjabat sebagai CEO, pada 2019 lalu Dian Siswarini berhasil masuk ke dalam daftar Forbes Asia's Power Businesswomen. Namanya dipilih karena dianggap mewakili keberagaman bisnis di kawasan Asia.
ADVERTISEMENT
Di tengah kesibukannya bekerja dari rumah karena pandemi COVID-19, Dian Siswarini dengan senang hati meluangkan waktu berbincang dengan kumparanWOMAN dan menjawab pertanyaan kami lewat wawancara online. Simak perbincangan hangat kumparanWOMAN dengan Dian Siswarini berikut ini.
Anda telah bekerja lebih dari 20 tahun di XL. Apa yang membuat Anda bisa bertahan lama di satu perusahaan?
DS: Sebetulnya, sebelum saya memilih XL sebagai perusahaan tempat saya berkarier, saya sudah memilih industri telekomunikasi sebagai industri yang akan saya geluti. Saya pikir ini industri yang menarik, profitnya tinggi sehingga selalu menghasilkan sesuatu yang baru dan bisa mengubah gaya hidup kita.
Jadi ketika lulus kuliah pada 1991, saya langsung bekerja di bidang ini. Lalu saya melihat, ada perusahaan telekomunikasi yang lumayan modern, dulu awal berdiri namanya XL Com. Perusahaan ini polanya modern, edgy dan sangat terbuka. Akhirnya saya bergabung di XL tahun 1996 dan kebetulan XL juga baru mulai beroperasi.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, proses menaiki jenjang karier tidak mudah. Tapi saya sudah merencanakan karier saya dari awal dan memutuskan bekerja di industri telekomunikasi. Saya ingin berada di puncak karier, makanya saya buat perencanaan dengan segala macam konsekuensi yang harus diambil, no pain no gain.
Dari beberapa posisi yang pernah Anda jabat, adakah posisi yang dirasa paling menantang dalam karier Anda?
DS: Setiap fase ada tantangannya sendiri. Mungkin dulu awal saya menjadi engineer, teknologi belum sehebat sekarang. Dulu saya harus survei langsung ke lapangan, naik tower untuk periksa antena dan jarak. Harus bersusah-susah dulu sambil bawa alat berat.
Setelah jadi pemimpin dan menjabat sebagai Vice President Network Operation Center, saya harus standby 24 jam, 7 hari seminggu dan 365 hari setahun. Saya harus bisa dihubungi kapan saja di mana saja, terutama kalau ada masalah jaringan. Selain itu, saya juga harus menyeimbangkan karier dan keluarga, karena saat itu masih ada anak kecil yang harus diurus. Ada waktu-waktu dimana saat saya sedang bersama anak-anak, tapi harus memenuhi panggilan situasi darurat.
ADVERTISEMENT
Tantangan lain yang berkesan, ketika saya diminta membangun bisnis baru di XL pada 2012. Di sinilah tantangannya, memiliki cara berpikir baru di luar cara berpikir seorang engineer yang sudah bertahun-tahun terbentuk di kepala saya. Jadi saya melupakan hal yang saya pelajari sebagai engineer dan melatih diri untuk berpikir dari sisi bisnis.
Banyak survei menunjukkan, perempuan seringkali merasa ragu ketika ditawarkan posisi yang lebih tinggi. Bagaimana dengan Anda? Adakah keraguan saat ditawarkan posisi CEO ?
DS: Saya lihat, ada semacam stigma atau persepsi yang kurang tepat di masyarakat mengenai perempuan. Kalau laki-laki punya ambisi, dibilangnya bagus sebagai motivasi untuk maju. Tetapi bila perempuan punya ambisi, dibilangnya ambisius dalam konteks negatif. Sehingga perempuan akhirnya jadi ragu melakukannya karena takut gagal dan mengambil risiko. Ini yang menurut saya harus diperbaiki di society kita.
ADVERTISEMENT
Tapi untuk pengalaman saya sendiri agak berbeda. Saya tumbuh dalam keluarga yang berprinsip perempuan juga harus kuat. Saat wawancara pertama kali di XL, saya ditanya mau jadi apa 10 tahun ke depan. Saya bilang ingin jadi CEO. Bukan karena over confident, tapi saya rasa kalau saya tidak punya tujuan, sulit membuat perencanan hidup. Jika kita punya tujuan, maka kita akan punya aspirasi. Kalau tidak sesuai, kita sesuaikan dengan konteks yang ada. Menurut saya, tidak ada salahnya punya ambisi, tetapi di mata masyarakat hal nyatanya berbeda dan ini yang harus diubah.
Menjadi pemimpin tertinggi di XL selama hampir 6 tahun, adakah masa-masa sulit yang pernah dialami dan bagaimana cara mengatasinya?
DS: Sebagai CEO, saya punya tanggung jawab kepada stakeholders yang menurut saya ada tiga. Pertama, pemilik XL. Kedua, kepada employee dan ketiga kepada customer. Yang paling sulit, bila saya tidak bisa memberikan kepuasan bagi ketiga stakeholders ini.
ADVERTISEMENT
Problem lain yang menurut saya menantang untuk diperbaiki adalah menjaga engagement dan membuka komunikasi dengan karyawan. Terlebih di masa pandemi, ini menjadi problem yang luar biasa menantang. Dulu sebelum pandemi kita biasa bertemu setiap hari di kantor, bonding bisa terjadi secara natural. Tetapi pada saat WFH, engagement itu bila tidak diciptakan, lama-lama memudar dan motivasi karyawan jadi menurun.
Jadi tantangannya adalah bagaimana membuat karyawan tetap punya motivasi tinggi, tetap produktif dan tetap sehat. Karena kalau karyawan ini tidak sehat, tidak produktif, dan tidak happy, akan sulit bagi mereka untuk membuat pelanggan happy.
Apa prinsip Anda dalam memimpin?
DS: Untuk saya, integritas itu yang paling utama. Itu juga masuk ke dalam value-nya XL.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, kita harus punya keyakinan agar kerja sama yang baik bisa terjalin. Saya harus punya keyakinan dengan atasan, manajemen dan anak buah. Trust atau rasa yakin itu diterjemahkan ke dalam empowerment, jadi saya empower tim untuk mengerjakan yang seharusnya mereka kerjakan. Tentu, empowerment itu datang karena tanggung jawab. Jadi, saya juga harus bertanggung jawab dengan memonitor apakah empowerment itu digunakan sebaik-baiknya.
Masih berkaitan dengan keyakinan, bagi saya menjadi pemimpin yang baik itu ketika kita bisa menganalisis potensi setiap karyawan. Masing-masing orang kan punya potensi dan kapasitas masing-masing yang mungkin kita tidak punya. Jadi, penting bagi karyawan untuk mengeluarkan potensi secara optimal. Bagi saya, tidak ada orang yang bodoh atau orang yang pintar. Yang ada apakah dia bisa menggunakan kemampuannya secara maksimal atau tidak.
ADVERTISEMENT
Industri teknologi dan telekomunikasi seringkali disebut sebagai industri yang didominasi oleh laki-laki. Bagaimana pendapat Anda terkait hal ini?
DS: Ya, saya memang sering dengar bahwa industri teknologi itu adalah dunia laki-laki. Namun menurut saya, dunia teknologi itu bukanlah dunia laki-laki. Dunia laki-laki itu suatu pekerjaan atau bidang yang membutuhkan kekhususan atau kapasitas keterampilan yang hanya dimiliki laki-laki. Sedangkan dunia teknologi ini punya karakteristik tertentu untuk orang yang ingin belajar dan berkembang, terlepas dari gendernya.
Tapi memang persepsi dunia teknologi yang didominasi dengan laki-laki masih kental sekali di masyarakat. Sejak zaman dulu saya masuk industri ini sampai sekarang, perempuan yang ada di jajaran direksi telekomunikasi mungkin di bawah 5%. Tetapi di XL, rasio perempuan sebagai pemimpin jauh lebih bagus di atas rata-rata industri. Dari jajaran BOD, kami punya enam orang member dan dua di antaranya perempuan, termasuk saya. Di level group head, 30 persen di antaranya adalah perempuan. Bagi kami angka ini sudah tinggi untuk manajemen level perempuan. Saya tidak memberikan privilege untuk mereka, saya hanya membuka kesempatan untuk berkarier dan saya dukung.
Banyak perempuan yang bercita-cita ingin bekerja di perusahaan telekomunikasi sebesar XL Axiata . Apakah yang harus mereka lakukan untuk dapat bekerja di perusahaan ini?
ADVERTISEMENT
DS: Bila ingin masuk ke perusahaan telekomunikasi, kuncinya tetap belajar dan terus belajar. Industri telekomunikasi itu berubah sangat cepat dan dinamis. Mungkin setiap minggu atau setiap bulan, ada produk baru. Jadi kalau kita tidak mengeluarkan produk seminggu saja, sudah ketinggalan.
Dalam suatu perusahaan, terutama perusahaan telekomunikasi, kita mengoperasikan berbagai macam fungsi. Ada fungsi teknologi yang core-nya memang teknologi, jadi harus ada bekal di bidang teknik. Tetapi fungsi besar lainnya juga mencakup bisnis dan komersial, ada sales dan marketing. Ini lebih general sehingga mereka bisa masuk ke sini. Memang, bisnis telekomunikasi itu kompleks. Mungkin kita harus mengerti produknya, cara distribusinya, mengerti pelanggan dan sebagainya.
Dengan tanggung jawab yang demikian besar, tentu Anda sering merasakan stres atau tekanan. Bagaimana cara Anda mengelola strea dan apa yang sering Anda lakukan saat me time?
ADVERTISEMENT
DS: Untuk saya me time penting sekali agar bisa refleksi diri sekaligus relaksasi. Dulu saya suka spa, tapi karena pandemi jadi tidak melakukan lagi. Jadi sekarang lebih banyak di rumah, nonton film, membaca buku dan melakukan kegiatan agama.
Saya juga punya cara untuk mengatasi stres kalau ada masalah di perusahaan. Biasanya saya berpikir skenario terburuk beserta risikonya. Setelah itu, saya jadi lebih tenang. Selain itu, kita juga harus punya sumber pelepas stres. Dulu saya suka main golf, bowling, atau sepedahan. Tapi sekarang terbatas, ya. Jadi saya lebih pilih menonton film saja.