Role Model: Nia Dinata, Sutradara dan Pendiri Kalyana Shira Films & Foundation

16 November 2022 17:05 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Role Model: Sutradara dan Pendiri Kalyana Shira Films & Foundation Nia Dinata. Foto: Iqbal/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Role Model: Sutradara dan Pendiri Kalyana Shira Films & Foundation Nia Dinata. Foto: Iqbal/kumparan
ADVERTISEMENT
Meski industri perfilman Indonesia terus berkembang, namun representasi dan peran perempuan di industri ini tampaknya masih kurang. Kendati demikian, film-film yang mengangkat isu seputar perempuan dengan karakter utama yang dimainkan oleh perempuan juga semakin banyak diproduksi.
ADVERTISEMENT
Salah satu tokoh perfilman yang konsisten mengangkat isu perempuan dalam film adalah Nia Dinata. Nia jadi salah satu sutradara perempuan Tanah Air yang karya-karyanya terkenal hingga ke kancah internasional. Melalui production house bernama Kalyana Shira Films & Foundation, Nia Dinata telah memperjuangkan representasi perempuan melalui film-film besutannya.
Sebelum terjun ke dunia film, Nia memulai karier sebagai pembuat klip video dan iklan. Kemudian pada awal tahun 2000, Nia mendirikan perusahaan film independen Kalyana Shira Film. Ia pun dikenal dengan karyanya yang menceritakan kisah perempuan dan kaum-kaum yang termarjinalkan.
Beberapa waktu lalu, kumparanWOMAN mendapat kesempatan untuk bertemu langsung dengan Nia Dinata dalam acara diskusi perempuan dalam sinema yang diselenggarakan oleh Institut Prancis Indonesia. Kami melakukan sesi pemotretan dan wawancara khusus untuk program Role Model kumparanWOMAN. Simak obrolan singkat kami untuk tahu lebih lanjut mengenai sosok sutradara ternama Indonesia, Nia Dinata.
ADVERTISEMENT

Anda belajar di Sekolah Film Program NYU Tisch School of Art, Amerika Serikat, apa yang membuat Anda memilih sekolah film? Apakah memang minat dan bakat dalam membuat film sudah ada sejak dulu?

Nia Dinata Foto: Munady
Memang sudah passion saya sejak lulus sekolah, waktu itu di tahun 1988 saya dan Ibu saya mencari perguruan tinggi untuk belajar film. Pada masa itu di Indonesia baru ada Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Namun karena kurangnya representasi perempuan pada saat itu, ketika saya mau daftar, tidak ada murid perempuan dan semua laki-lakinya punya kebiasaan catcalling, membuat saya mengurungkan niat bersekolah di sana.
Untungnya saya punya pilihan lain, jadi langsung berangkat ke Amerika Serikat untuk mengenyam pendidikan film hingga akhirnya bisa kembali lagi ke Indonesia untuk membuat film dan berkarier di industri film Tanah Air.
ADVERTISEMENT

Film besutan Anda banyak mengangkat isu seputar perempuan, apa yang melatarbelakangi hal tersebut?

Film yang saya tulis atau sutradarai memang biasanya memiliki tokoh perempuan yang kuat walaupun hidupnya penuh tantangan, menghadapi kekerasan, trauma masa kecil, atau paksaan masyarakat untuk bertindak sesuatu. Akhirnya mereka punya cara untuk keluar dari masalah itu.
Nia Dinata Foto: Munady
Saya sendiri belajarnya dari pengalaman hidup, dari teman-teman aktivis, dari apa yang dilihat sehari-hari bahwa setiap masalah tidak mesti diselesaikan dengan apa yang dibuat oleh kelompok. Kita bisa punya individual choice.
Sebagai seorang sutradara perempuan, karya-karya Anda banyak mendapat penghargaan dari kancah internasional dan justru kontroversi di dalam negeri, bagaimana Anda menanggapinya?
Kontroversi mungkin karena masyarakatnya belum semuanya bisa paham, atau belum semuanya terbiasa dengan melihat perempuan yang mandiri, mencari jalan keluar sendiri. Seperti di film Berbagi Suami (2006), banyak yang protes karena tokoh yang dimainkan Shanty dan Rieke Diah Pitaloka, kenapa harus pacaran dan kemudian kabur berdua? Ya, cinta bisa datang kapan saja karena setiap hari bertemu, tapi aku tidak mencap mereka untuk memilih seksualitas tertentu.
ADVERTISEMENT
Selalu akhirnya harus kontroversi begitu. Walaupun demikian, saya tidak apa-apa kalau dibilang kontroversi. Saya tidak akan mau tenggelam dalam debat apakah film tersebut kontroversial atau tidak. Sebenarnya, film-film saya jadi tempat curhat di mana orang bisa menonton film dari kisah nyata yang jarang diangkat ke publik. Saya merasa justru lebih ada dampak positif untuk para penonton Indonesia.

Bicara soal karya Anda, film apa yang paling berkesan hingga saat ini dan masih meninggalkan banyak kenangan atau mungkin kebanggaan tersendiri?

Bagi saya film itu seperti anak, karena proses membuatnya lebih dari sembilan bulan. Belum untuk editing yang memakan waktu cukup lama juga. Jadi saya tidak ada film favorit, semua film mengajarkan kepada saya hal yang berbeda-beda, ilmu tambahan. Kita belajar banyak untuk meng-handle masalah yang timbul setiap jamnya dengan ratusan kru. Semuanya berkesan, dari mulai film Ca-bau-kan (2002) film pertama saya sampai film A World Without (2021) di mana kita syuting akhir 2020 saat pandemi kemarin.
ADVERTISEMENT

Siapa role model Anda di dunia sinema?

Nia Dinata. Foto: kumparanWOMAN
Saya sangat mengagumi karya-karya Mira Nair. Dia adalah sutradara yang berasal dari India di mana film-filmnya juga sama yaitu kontroversi di negaranya. Filmnya banyak dikenal di luar negeri, kemudian Mira Nair menjadi dosen dan mengajar di Columbia University. Saya kagum dengan film-filmnya dan cara beliau bekerja dengan memutuskan untuk menjadi tenaga pendidik di puncak kariernya yang sudah mulai dikenal dunia.
Dari dalam negeri, saya sangat penasaran dan mengagumi sutradara pertama perempuan di Indonesia, Ratna Asmara. Film beliau ini tahun 1951 yang berjudul Sedap Malam. Dulu Nenek saya mengidolakan beliau sehingga semasa kecil saya selalu menonton karena ia juga merupakan seorang bintang film.

Apa saja tantangan yang dihadapi dalam menjalankan tugas sebagai seorang sutradara?

Saat saya baru menyelesaikan studi dari Amerika Serikat, saya menerima pelecehan verbal berupa catcalling ketika bekerja sebagai asisten sutradara dari pelaku sinema asing karena pada masa itu (era sebelum reformasi) belum banyak orang Indonesia yang bekerja sebagai pembuat film. Sutradara atau pemimpin film yang didominasi oleh laki-laki itu melecehkan saya secara verbal. Mereka membicarakan saya, melakukan pelecehan secara verbal, padahal saya bekerja sebagai asisten mereka untuk menyampaikan visi film dengan menerjemahkan juga pada kru Indonesia yang tidak bisa berbahasa Inggris.
ADVERTISEMENT

Apa saja prinsip-prinsip kerja Anda dalam membuat film?

Pertama harus tahu the soul of the work dari suatu karya. Kedua, harus tetap ada flavour bahwa film ini saya yang membuatnya. Orang tidak harus melihat kredit sampai selesai sudah tahu bahwa film ini adalah karya saya. Prinsip yang ketiga adalah kita harus menghormati dan menciptakan lingkungan kerja yang aman. Jika kita tidak menghormati, menghargai, dan menciptakan tempat yang aman, bagaimana pekerjaannya akan selesai? Itu adalah tiga hal yang menurut saya paling penting
Sebagai pekerja dan pemimpin di industri film, apakah Anda merasa kesulitan dengan minimnya peran perempuan di industri ini?
Kesulitan pastinya setiap hari selalu ada, dalam skala yang berbeda-beda. Tapi, kesulitan itu tidak pernah membuat saya merasa menyerah, lelah atau terbebani juga. Jadi, kesulitan itu akan selalu ada, misal dalam hal investasi, kita harus cari investasi dalam membuat film, seperti harus presentasi ke investor dan lainnya yang sangat sulit. Ada pula kesulitan untuk menemukan kru yang tepat pada waktu yang tepat. Di balik semua itu, saya tidak pernah merasa kesulitan yang membuat saya ingin berhenti, selalu ada saja jalannya.
ADVERTISEMENT

Apa yang membuat Anda yakin menggarap film seputar perempuan dan orang-orang yang termarjinalkan di masyarakat?

Sutradara dan Pendiri Kalyana Shira Films & Foundation Nia Dinata. Foto: Iqbal/kumparan
Ya karena saya tumbuh dengan orang-orang yang seperti itu, mulai dari om yang gay, nenek yang merupakan seorang ibu rumah tangga tapi sangat outspoken, loving, compassionate. Jadi saya merasa bahwa cerita-cerita yang simpel dengan menceritakan keseharian itu justru yang saya sukai kalau menonton film atau membaca buku. Saya senang mengangkat cerita dari sudut pandang minoritas, sudut pandang yang termarjinalkan.

Apa gaya Anda dalam memimpin saat memproduksi sebuah karya?

ADVERTISEMENT
Menurut saya, we just have to be comfortable with our own skin, kita harus nyaman menjadi diri sendiri. Jangan berpura-pura jadi orang lain. Saya tidak berpura-pura galak dan outspoken ya, memang saya begini. Jika ada seseorang yang melakukan catcall, saya tidak akan segan untuk menegurnya secara spontan agar orang tersebut meminta maaf pada korban. Jadi siap-siap kalau mau menjadi kru atau pemain saya, memang saya seperti itu. Saya tidak bisa menjadi orang lain. Sama juga untuk sutradara-sutradara lain. Just be yourself, trust your instinct, dan trust your judgment untuk menciptakan tim yang aman. Tim yang juga mengerti diri kalian, sama-sama saling respect.
ADVERTISEMENT

Adakah pesan yang ingin disampaikan untuk perempuan yang ingin terjun dan sukses di industri film?

Nia Dinata. Foto: kumparanWOMAN
Bagi perempuan yang ingin terjun di dunia film, baik di depan maupun di balik layar, jangan takut untuk mengambil kesempatan. Dunia perfilman itu sangat berbeda sekali teorinya dengan yang kamu alami ketika terjun langsung. Jadi, ambil kesempatan kamu untuk menambah pengalaman di industri film supaya ke depannya makin banyak lagi representasi perempuan dalam sinema.
Selain itu, jangan takut juga untuk selalu meminta kontrak atau surat penunjukan kerja. Dalam kontrak itu biasanya tertulis mengenai apa saja hak yang kamu terima serta kewajiban sebagai pekerja di industri film. Bila di dalam kontrak kerja tidak ada Code of Conduct saat bekerja atau biasa juga disebut kontrak kesantunan, kamu bisa memintanya langsung agar tidak terjadi kesalahpahaman saat bekerja.
ADVERTISEMENT
Kontrak kesantunan atau Code of Conduct adalah perlindungan untuk kalian. Ada baiknya sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, perhatikan kontrak yang mengatur kesantunan saat sedang bekerja.

Rekomendasi film tentang perempuan yang wajib ditonton oleh perempuan?

Sutradara dan Pendiri Kalyana Shira Films & Foundation Nia Dinata. Foto: Iqbal/kumparan
Saya suka film karya Deepa Mehta yang berjudul Water (2005), dia seorang sutradara Kanada yang lahir di India. Kemudian film Mira Nair, Monsoon Wedding (2001). Lalu ada film yang saya juga suka dari Iran, judulnya The Apple (1998) karya Samira Makhmalbaf. Kalau untuk film Indonesia saya merekomendasikan film besutan Teguh Karya, tentang perempuan yang berjudul Ibunda, film drama Indonesia yang rilis pada 1986.