Role Model: Novalia Pishesha PhD, Peneliti yang Peduli Perempuan dalam Sains

8 Maret 2023 12:04 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Novalia Pishesha, PhD, peneliti Indonesia dan Junior Fellow di Harvard University Society of Fellows. Foto: Dok. Novalia Pishesha
zoom-in-whitePerbesar
Novalia Pishesha, PhD, peneliti Indonesia dan Junior Fellow di Harvard University Society of Fellows. Foto: Dok. Novalia Pishesha
ADVERTISEMENT
Pengalaman Novalia Pishesha, PhD, menyaksikan orang-orang di sekitar menderita penyakit yang obatnya terbatas menjadi dorongan kuat untuk mengejar cita-cita sebagai peneliti. Didukung dengan semangat ingin belajar dan harapan untuk ikut membangun sains Indonesia, Novalia berhasil meraih pencapaian gemilang di Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Pendidikan orang tua yang hanya sebatas sekolah menengah tidak menjadi penghalang Novalia Pishesha untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Ia sukses menjadi seorang junior fellow atau penerima fellowship di Harvard University Society of Fellows, Massachusetts, Amerika Serikat.
Perempuan asal Malang, Jawa Timur, ini memulai kariernya sebagai ilmuwan sejak mengenyam pendidikan sarjana di University of California at Berkeley.
Tak berhenti di situ, Novalia—yang menyadari bahwa ia sangat menyukai penelitian—memutuskan untuk melanjutkan studi jenjang PhD di Massachusetts Institute of Technology (MIT), jurusan Teknik Biologi. Kariernya terus berprogres hingga ia berhasil menjadi salah satu awardee dalam program pendanaan oleh L’Oreal Group, yakni L’Oreal For Women in Science, pada 2022.
Novalia Pishesha, PhD, peneliti Indonesia dan Junior Fellow di Harvard University Society of Fellows. Foto: Dok. Novalia Pishesha
Namun, sains bukanlah satu-satunya perhatian Novalia. Sebagai seorang perempuan, ia juga memiliki perhatian tersendiri terhadap partisipasi perempuan dalam bidang sains; mengingat hingga saat ini, jumlah perempuan dalam sains masih tergolong rendah.
ADVERTISEMENT
Kepada kumparanWOMAN, Novalia bercerita soal perjalanannya sebagai seorang peneliti perempuan di Amerika Serikat, pandangan soal partisipasi perempuan di bidang sains, hingga harapannya soal women support women di momen International Women’s Day 2023 ini.

Q: Apa kegiatan Novalia Pishesha saat ini?

Novalia Pishesha (NP): Ketika saya memulai pendidikan post-doktoral, saya ingin mengembangkan terapi baru untuk perawatan penyakit autoimun. Penemuan tersebut menjadi terapi yang poten untuk penyakit autoimun dan menghasilkan data yang sangat baik.
Dengan itu, saya memutuskan untuk mengembangkan perusahaan lainnya bernama Cerberus Therapeutics, sebuah perusahaan Bioteknologi yang berbasis di daerah Cambridge/Boston. Saya merupakan penjabat CEO dari perusahaan tersebut dan saya mendirikan perusahaan ini bersama dua profesor saya di MIT dan Harvard yang juga merupakan pembimbing saya. Di perusahaan ini saya memimpin tim berisi 5-6 orang.
ADVERTISEMENT
Saya juga memimpin sebuah tim di Harvard Medical School dan Boston Children’s Hospital, jadi saya merupakan seorang instruktur. Saya memiliki sekitar lima murid atau trainee dalam lingkup akademi. Saya mengarahkan, berbicara dengan mereka, dan melatih mereka.
Novalia Pishesha, PhD, (tengah) peneliti Indonesia dan Junior Fellow di Harvard University Society of Fellows. Foto: Dok. Novalia Pishesha

Q: Apa yang menjadi dorongan untuk berkarier di bidang sains?

NP: Di Indonesia, jika Anda menderita penyakit autoimun seperti lupus atau multiple sclerosis, Anda tidak memiliki kemungkinan untuk hidup lebih lama layaknya para penderita yang tinggal di AS atau negara-negara yang lebih maju. Sebab, tidak banyak obat yang tersedia di Indonesia. Tumbuh besar di Indonesia, saya menyaksikan banyaknya penyakit parah seperti demam berdarah atau penyakit menular lainnya.
Dengan menyaksikan itu semua, hal tersebut menjadi motivasi saya untuk benar-benar mengejar bidang sains. Dan harapannya, saya bisa mengembangkan sesuatu yang bisa saya bawa kembali ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, orang tua saya tidak memiliki pendidikan tinggi. Ayah saya hanya lulusan SMP dan ibu saya SD. Namun, yang sangat saya syukuri dari mereka adalah mereka selalu suportif atas apa pun yang saya lakukan. Hal tersebut mendorong saya untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin.

Q: Apakah Anda menghadapi tantangan tertentu dalam menimba ilmu dan menjalani karier di bidang sains?

NP: Dulu, keuangan menjadi masalah saya. Saya sangat beruntung karena di momen-momen terakhir, saya mendapatkan beasiswa untuk berkuliah S1 di University of California at Berkeley. Tanpa beasiswa tersebut, saya tidak akan bisa melanjutkan pendidikan saya di sana. Jadi, saya sangat beruntung.
Lalu, ketika saya masih menjadi mahasiswa baru S1, ada aspek-aspek finansial yang cukup berat. Saya harus menyeimbangkan pendidikan saya sembari bekerja paruh waktu, juga melakukan kegiatan-kegiatan relawan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, tantangan lainnya menurut saya adalah budaya di universitas, bagaimana berinteraksi dengan profesor-profesor, bagaimana membangun relasi, banyak sekali aspek budaya selain keuangan yang harus saya selesaikan sendiri. Yah, banyak tantangan yang dijalani, tetapi seiring berjalannya waktu, semuanya menjadi lebih baik.
Novalia Pishesha, PhD (kanan), peneliti Indonesia dan Junior Fellow di Harvard University Society of Fellows. Foto: Dok. Novalia Pishesha

Q: Bagaimana Anda menghadapi dan menyelesaikan masalah tersebut?

NP: Menurut saya, lewat kerja keras. Kemudian, berteman dengan banyak orang. Mencoba dan bekerja sekeras mungkin, tetapi harus tahu juga kapan membutuhkan bantuan dan bantuan seperti apa yang dibutuhkan.
Di saat yang sama, selalu tawarkan bantuan kepada orang lain. Banyak aspek membangun komunitas dalam hal ini. Dan ketika kesulitan, orang-orang akan mau membantu, mengingat Anda selalu membantu mereka.
Bekerja dengan keras, menjadi orang yang rendah hati, belajar hal-hal baru setiap harinya, dan tidak pernah menyerah. Dan menurut saya, saya melakukan apa yang saya sukai. Banyak proses belajar yang memakan waktu lama. Penelitian memakan waktu lama dan banyak kegagalan yang dihadapi, dan saya terus belajar seiring dengan hal itu.
ADVERTISEMENT

Q: Anda merupakan seorang penerima pendanaan oleh L’Oreal For Women in Science 2022. Bisa diceritakan bagaimana cerita di baliknya?

NP: Beberapa teman saya yang juga menjalani program Women in Science di Indonesia, memberitahu saya bahwa program L’Oreal ini adalah program yang sangat baik.
Program ini tidak hanya soal mendapatkan pendanaan, tetapi kembali lagi ke poin soal komunitas: Ini adalah komunitas perempuan dalam sains, mereka yang bersemangat dalam menjalani apa yang mereka lakukan. Saya ingin menjadi bagian dari hal tersebut. Itulah bagaimana semuanya dimulai. Kebetulan saya juga memiliki proyek yang sangat menarik yang sesuai dengan ketentuan proposal.
Novalia Pishesha, PhD (kiri atas) saat konferensi pers L'Oreal For Women in Science 2022. Foto: Dok. L'Oreal

Q: Saat ini, kurangnya jumlah peneliti perempuan di bidang sains–baik Indonesia maupun dunia—menjadi perhatian. Menurut Anda, apa penyebab di balik hal ini?

NP: Menurut saya, secara umum Indonesia tidak memiliki cukup peneliti dan ilmuwan, tidak cuma perempuan. Sampai sekarang masih banyak tuntutan budaya yang disematkan terhadap perempuan soal apa yang harus mereka lakukan.
Jika ingin menjadi seorang pimpinan dalam bidang sains, menentukan proyek apa yang ingin dikerjakan dan dipimpin, Anda harus memiliki gelar PhD atau lebih tinggi. Dan itu adalah proses yang lama, bisa memakan waktu hingga 15 tahun. Jadi saya pikir, bagi banyak perempuan di Indonesia, hal tersebut tidak terlalu menarik karena Anda masih akan bersekolah di usia 30 tahunan atau hampir pertengahan 30-an.
ADVERTISEMENT
Kemudian, ada aspek keluarga, seperti ekspektasi masyarakat bahwa Anda harus menikah dan punya anak. Menurut saya, hal tersebut lebih berdampak pada perempuan ketimbang laki-laki.
Menurut saya, aspek budaya dan biologis—karena perempuan-lah yang mengandung anak—memiliki peran atas mengapa lebih sedikit perempuan dalam sains. Ketika hamil, tubuh Anda berubah, banyak aspek biologis yang tidak bisa dihindari.
Saya pernah melihat meme yang bertuliskan, “Menjadi seorang perempuan, kamu dituntut untuk menjadi seorang ibu layaknya kamu tidak memiliki pekerjaan. Dan kamu juga harus bekerja seakan kamu tidak memiliki anak.” Jadi, ekspektasinya adalah perempuan harus melakukan semua hal dengan sempurna.
Jadi, lamanya waktu dalam berkarier di bidang penelitian dan banyaknya tuntutan terhadap perempuan menurut saya menjadi alasan mengapa lebih sedikit perempuan dalam bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik, Matematika).
ADVERTISEMENT

Q: Menurut Anda, apakah perempuan mendapatkan kesempatan yang sama di bidang sains?

NP: Menurut saya, saat ini, antara ya dan tidak. Ya dalam artian saat ini perempuan bisa berkuliah. Ini berbeda dengan dulu ketika sekolah bahkan tidak ingin menerima murid perempuan. Namun, ada bias tertentu terhadap perempuan dalam karier STEM, baik bias akibat ekspektasi dan budaya, maupun bias dari orang-orang sekitar.
Menurut saya, masih banyak bias karena selama bertahun-tahun lamanya, perempuan tidak diizinkan untuk menjalani karier tertentu dan banyak tuntutan perempuan untuk menjadi ibu rumah tangga. Dan posisi kepemimpinan dalam bidang sains masih dipegang oleh laki-laki.
Terkadang, sebagai perempuan, Anda harus membuktikan diri sendiri sebelum akhirnya diakui. Sedangkan jika Anda laki-laki, sepertinya natural saja untuk langsung diterima dan diakui. Saya tidak suka dengan bias tersebut, tetapi memang begitu faktanya.
Novalia Pishesha, PhD, peneliti Indonesia dan Junior Fellow di Harvard University Society of Fellows. Foto: Dok. Novalia Pishesha

Q: Apakah Anda sendiri pernah mengalami bias tersebut?

ADVERTISEMENT
NP: Ada momen ketika saya memenangi sebuah penghargaan. Beberapa laki-laki di lab mengatakan bahwa saya hanya memperoleh penghargaan tersebut karena saya perempuan.
Lalu, contohnya lagi, ketika seorang profesor dan pembimbing saya—dua-duanya adalah laki-laki kulit putih—dan mereka menominasikan saya untuk fellowship yang bergengsi. Beberapa orang di lab mengatakan, profesor saya menominasikan saya karena mereka menyukai saya, kepribadian saya, karena saya perempuan; dan bukan karena kemampuan saya.
Harus saya akui, tidak hanya laki-laki yang bereaksi seperti itu; perempuan pun juga. Itulah yang sangat menyedihkan bagi saya, bahwa tidak semua perempuan saling mendukung perempuan.

Q: Dalam momen peringatan International Women’s Day, apakah ada isu perempuan tertentu yang menjadi perhatian Anda?

NP: Secara umum, meningkatkan jumlah partisipasi perempuan dalam sains merupakan hal besar yang ingin saya dorong di Indonesia.
Secara pribadi, saya tidak akan mengadvokasi seluruh perempuan agar harus menimba pendidikan doktor. Namun, yang saya inginkan adalah agar perempuan bisa memiliki kesempatan untuk menjalani pendidikan, memiliki kebebasan finansial, dan mengambil keputusan cerdas soal apa yang mereka inginkan.
ADVERTISEMENT
Jadi, menurut saya yang penting adalah bagaimana caranya agar setiap perempuan memiliki suara dan pilihan—a voice and a choice—soal apa yang mereka inginkan atau lakukan. Jika seorang perempuan yang banyak uang ingin menjadi ibu rumah tangga, silakan. Namun, saya ingin hal tersebut merupakan pilihan yang dia ambil, bukannya sekadar hal yang harus dilakukan karena dia merasa itu adalah opsi satu-satunya.
Novalia Pishesha, PhD, peneliti Indonesia dan Junior Fellow di Harvard University Society of Fellows. Foto: Dok. Novalia Pishesha

Q: Dengan seluruh pencapaian tersebut, Anda bisa menjadi role model untuk banyak perempuan di luar sana. Bagaimana Anda memaknai hal ini?

ADVERTISEMENT
NP: Saya tidak pernah memikirkan soal hal tersebut. Saya tidak pernah menganggap diri saya sebagai seorang role model, karena setiap harinya saya masih membuat kesalahan dan saya melakukan hal-hal kecil lainnya seperti orang lain.
Saya lebih berfokus pada melakukan ini semua untuk diri saya sendiri; saya ingin belajar agar menjadi lebih baik dan membangun karier yang membuat saya bangga, dan harapannya, saya bisa membangun bidang sains dan bioteknologi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Alasan mengapa saya masih di sini—di Amerika Serikat—adalah karena saya tahu saya masih harus banyak belajar. Namun, saya ingin kembali ke Indonesia dan membangun bidang riset sains dan Bioteknologi. Itulah tujuan saya.

Q: Apakah ada hal-hal tertentu yang ingin Anda lakukan untuk ikut memberdayakan perempuan di luar sana?

NP: Yang selalu saya lakukan adalah mulai dari hal kecil. Menurut saya, yang paling penting adalah apa yang saya lakukan setiap hari. Sebagian besar dari tim saya, terutama dalam lingkup akademik, adalah perempuan.
Saya memiliki empat mahasiswi magister dan saya selalu mendukung mereka, membantu mereka lewat cara-cara yang bisa saya lakukan, seperti mendorong karier mereka, menginspirasi mereka, dan menyemangati mereka untuk mencapai hal-hal yang lebih tinggi dari sebelumnya. Itulah yang dilakukan oleh seorang mentor.
Saya juga menjadi relawan dalam beberapa acara yang khusus mendukung perempuan muda, saya menjadi pembicara soal karier STEM di sekolah-sekolah di perdesaan Amerika. Itulah yang saya lakukan dan harapannya, dari apa yang telah saya ajarkan kepada mereka, hal tersebut bisa mendorong mereka untuk terus maju.
Novalia Pishesha, PhD, peneliti Indonesia dan Junior Fellow di Harvard University Society of Fellows. Foto: Dok. Novalia Pishesha

Q: Sains dianggap sebagai bidang yang didominasi laki-laki. Mungkin karenanya, banyak perempuan yang menjadi ragu untuk berkarier di bidang tersebut. Adakah tips bagi perempuan yang ingin berkarier di STEM?

ADVERTISEMENT
NP: Lakukan saja, Anda tidak akan pernah tahu jika Anda tidak pernah mencoba. Mulai dari kecil, lakukan apa yang Anda senangi, percaya dengan prosesnya, jangan menyerah, dan bekerjalah sekeras yang Anda bisa. Carilah kesempatan yang datang dan ambillah. Tetap membina kemampuan, tim, komunitas Anda, dan suatu hari nanti, Anda akan melihat bahwa sains tidak sesulit dan semengerikan yang Anda pikirkan sebelumnya.
Yang perlu diingat adalah tidak ada hal yang mudah. Sepanjang prosesnya Anda akan bertemu dengan orang-orang yang tidak menyukai Anda, tidak peduli dengan Anda, dan itu adalah bagian dari proses belajar. Anda juga mungkin akan mengalami kegagalan di awal-awal mencoba, tetapi itu adalah hal normal.

Q: Bagaimana Anda memaknai International Women’s Day ini?

NP: Anda bisa menyebut saya agak bimbang soal ini. Bagi saya, setiap hari seharusnya adalah Hari Perempuan Internasional. Anda melakukan hal-hal setiap harinya yang merepresentasikan nilai-nilai yang Anda junjung. Menurut saya, setiap hari seharusnya menjadi hari perempuan, dan setiap harinya perempuan harus saling mendukung sesama perempuan.
Novalia Pishesha, PhD, peneliti Indonesia dan Junior Fellow di Harvard University Society of Fellows. Foto: Dok. Novalia Pishesha

Q: Tema IWD 2023 adalah Embrace Equity. Menurut Anda, apakah perempuan saat ini sudah memperoleh equity atau keadilan di masyarakat?

ADVERTISEMENT
NP: Menurut saya, ini adalah hal yang berproses. Perempuan memiliki lebih banyak kesempatan saat ini. Perempuan berpendidikan tinggi lebih diterima, karier menjadi sama pentingnya dengan aspek lainnya dalam hidup, dan itu luar biasa.
Ini bukanlah proses yang hasilnya terlihat hanya dalam satu malam, tetapi kita sudah berada di jalan yang tepat. Dan saya berharap bisa melihat lebih banyak perempuan pada posisi kepemimpinan di berbagai aspek, bahkan dalam sains.
Pada akhirnya, setiap perempuan tidak harus selalu menjadi seorang pemimpin atau memiliki karier yang sangat sukses. Namun, setiap perempuan—terutama di Indonesia—harus memiliki pilihan dan suara untuk menentukan apa yang mereka inginkan dalam hidup mereka. Dan saya pikir, hal tersebut lebih penting ketimbang berfokus pada satu karier spesifik.
Novalia Pishesha, PhD, peneliti Indonesia dan Junior Fellow di Harvard University Society of Fellowship. Foto: Dok. Novalia Pishesha

Q: Untuk IWD 2023, apa harapan dari Anda untuk para perempuan?

ADVERTISEMENT
NP: Sebelum kita meminta pihak lain untuk mendukung kita, bagi saya cukup penting untuk perempuan meminta dukungan ke sesama perempuan lebih dulu. Jadi, saya harap, lebih banyak perempuan yang saling mendukung sesama perempuan, dan itu adalah awalan yang baik.